Dalam Diam Ku Mengaguminya
Karya : Shella Amalia ( 27 )
Ketika semua orang bisa mengungkapkan
isi hatinya kepadamu, tetapi tidak dengan aku. Ketika semua orang bisa
mengungkapkan rasa kagumnya kepadamu, tetapi tidak dengan aku. Ya anggap saja
aku cupu, ya aku memang penakut, dan ya aku adalah si gadis kaku. Tetapi asal
kalian tahu, aku sangat mengaguminya. Dia yang selalu menjadi pusat perhatian
di kelas, ya dia yang pintar, dan ya dia yang memiliki sejuta pesona yang
sangat tidak pantas untuk dilewatkan. Aku memang sangat kaku, berbanding
terbalik dengan dia. Dia yang ramah, dia yang baik hati, dan ya dia yang
perhatian ke semua orang. Ya dia adalah teman sekelasku.
Aku sangat mengaguminya, bahkan hanya
dengan mendengar tawanya aku bisa tersenyum sepanjang hari. Aku selalu
memperhatikannya, hingga suatu ketika ia menyapaku,
“ Hai “, sapanya.
“Hai juga, ada apa?”, jawabku.
“Pinjam catatanmu dong, boleh ya?”, tanyanya
“Bagaimana kau ini, kau pintar tetapi masih meminjam catatan
orang lain?”, ucapku datar.
“Boleh ya?”, ucapnya dengan nada yang menggemaskan menurutku.
“Ya”, jawabku
“Kau memang baik, tidak seperti perkiraanku”, ucapnya
“Memangnya aku terlihat jahat heh?”, ucapku ketus.
“Tidak, tapi kau lucu”, ucapnya enteng dengan senyum manis di
bibirnya.
“kau lucu” hanya dengan dua kata
darinya dapat membuatku menahan nafas dan jantungku berdetak cepat. Jika ada
yang bertanya bagaimana perasaanku, aku akan menjawab nano nano rasanya. Bahkan
aku tidak bisa bergerak sedikitpun dari tempatku semula.
Rasa sukaku kepadanya semakin tinggi,
bahkan aku sering tersenyum sendiri saat mengingat bagaimana ia mengatakan
bahwa aku lucu. Apalagi setelah itu ia selalu tersenyum manis dan menyapaku
saat berpapasan denganku. Akupun semakin merasa spesial, apalagi sikapnya yang
sangat ramah kepadaku. Tak sedikit cewek yang dengan terang terangan
menungkapkan perasaannya kepada dia, tetapi apalah aku dibandingkan mereka. Aku
bahkan tidak berani menatap matanya apalagi mengungkapkan perasaanku. Hingga
suatu ketika aku melihat ia berbicara dengan sahabatnya, akupun tak sengaja
mendengar percakapan mereka.
“Apakah
harus selalu bersikap ramah ke semua orang?” tanya sahabatnya
“kita sesama
manusia kan diharuskan bersikap baik ke orang lain” jawabnya.
“Kalo ada
yang salah paham sama sikap lo gimana? Misal ada yang suka gitu” tanya
sahabatnya lagi
“Suka itu
wajar, perasaan ga bisa dipaksa” jawabnya enteng
“Tapi banyak
yang suka sama lo, kenapa nggak dijadiin pacar aja sih salah satunya?” tanya
sahabatnya
“Gini ya, misalnya
aku pacaran sekarang, tapi belum tentu berjodoh kan? Dalam agama juga dilarang
pacaran kan?” ucapnya
“Iya juga
sih”, jawab sahabatnya.
Yayaya aku telah melupakan satu fakta
tentang dia, dia merupakan orang yang taat beragama menurutku. Aku semakin
mengaguminya setelah mendengar jawabannya itu. Biarlah kalian anggap aku
berlebihan, tapi siapa yang tidak menyukai orang yang seperti itu.
Hari demi hari ku lewati dengan
selalu memperhatikannya. Aku memang
bukan orang yang pandai dalam bidang agama, tetapi aku tahu bahwa dalam agamaku
menyukai lawan jenis yang bukan muhrim itu dosa. Namun, apalah aku yang tidak
bisa menahan perasaan yang terus tumbuh ini. Hingga pada suatu ketika aku satu
kelompok dengan dia, rasanya senang sekali.
“Kau bagian yang ini ya, nanti langsung kirim ke aku”
ungkapnya ramah.
“Siap bos” jawabku dengan ceria.
“Aneh, tapi kau lucu” ujarnya seperti biasa dengan senyum
manis di bibirnya.
Aku semakin suka kepadanya, aku tidak
tahu bagaimana bisa begini. Bahkan setiap hari aku selalu semangat untuk
berangkat sekolah agar bisa bertemu dengannya. Apalagi saat pentas seni, ia
memainkan gitarnya dengan sangat bagus. Siapapun pasti suka dengan dia.
Suatu hari aku mendengar kabar bahwa
ia telah berpacaran dengan teman dekatku. Aku merasa senang sekaligus kecewa
disaat yang bersamaan. Aku tidak percaya bahwa dulu ia mengatakan tidak ingin
berpacaran telah mengingkari kata-katanya itu. Aku kecewa tetapi tetap saja
rasa sukaku padanya masih ada. Aku sadar bahwa hanya akulah yang terbawa
perasaan, ya akulah yang mengaguminya, dan ya akulah gadis kaku yang
mengaguminya dalam diam. Bagiku, melihat tawa dan senyumnya saja sudah cukup.
Aku memang iri pada teman-temanku yang bisa akrab dengan dia tetapi aku sadar
diri apalah aku yang bukan siapa siapa ini. Ya apalah aku ini, seorang gadis
kaku yang sangat mengaguminya. Dia yang tak seindah berlian, tak berkilau
hingga membutakan. Dia yang tak semerdu burung kutilang. Dia yang indah
sebagaimana mestinya. Ya inilah kisahku dimana dalam diam ku mengaguminya.
PENYESALAN
Oleh : Suci Istighfarin M ( 28 )
Waktu menunjukkan pukul 11.45 ini
berarti saatnya jam istirahat. “Ran, ayo ke kantin laper banget nih aku” kata
Wuwul. Wuwul adalah salah satu sahabatku. Sebenarnya namanya adalah Nurul tapi
teman teman yang lain lebih suka memanggilnya Wuwul, katanya biar mudah saat
memanggilnya. Dan namaku adalah Rani, aku salah satu siswa di sekolah negeri.
Kita sudah bersahabat lumayan lama, sekitar 2 tahun. Dimana ada aku di situ pun
pasti ada Wuwul begitu juga sebaliknya. “Ayo Wul, aku juga lapar banget nih,
pasti ini gara gara ulangan harian tadi” kataku. “Iya mana soalnya susah banget
lagi, haduh pusing deh jadinya” kata Wuwul. “Sudah lah lagipula ulangannya juga
sudah selesai, tinggal berdoa saja semoga nilainya bagus. Ayo ke kantin keburu masuk nih” kataku. “Oke ayo”
kata Wuwul.
Saat di kantin, kita pun membeli
makan. Setelah selesai, kita kembali ke kelas. “Wul, ayo sholat dhuhur dulu,
kita kan tadi belum sholat” ajakku. “Ayo Ran” jawab Wuwul. Tetapi baru saja
setelah Wuwul berbicara, bel masuk berbunyi. “Yah, sudah bel masuk. Gimana
nih?” tanyaku. “Wah udah masuk ya, gimana kalau kita tunggu Bu Puji aja dulu
lalu kita minta izin untuk sholat” kata Wuwul. Pelajaran selanjutnya adalah
Ilmu Pengetahuan Sosial dan yang mengajar adalah Ibu Puji Setyowati yang biasa
kita panggil Bu Puji. Bu Puji merupakan salah satu guru yang paling ditakuti
siswa karena ketegasannya. Apabila ada yang melanggar peraturan, beliau tidak
segan akan memarahinya atau bahkan menghukumnya. Maka dari itu kita sangat
takut apabila melanggar aturan saat mata pelajaran beliau.
30 menit telah berlalu, tetapi Bu
Puji belum datang juga. “Wul, gimana nih sudah jam segini tapi Bu Puji kok
belum datang” kataku. “Iya ya, kita tunggu saja 10 menit lagi siapa tahu beliau
datang” kata Wuwul. Setelah 10 menit Bu Puji masih belum datang juga. “Nis, Bu
Puji ada tidak sih kok jam segini belum datang?” tanyaku kepada Nisa sang ketua
kelas. “Wah aku tidak tau, biasanya Bu Puji tidak pernah terlambat kan? Kemungkina
besar beliau tidak masuk” kata Nisa. “Wul kata Nisa kemungkinan besar Bu Puji
tidak masuk soalnya tidak biasanya kan jam segini beliau belum datang” kataku.
“Kalau dipikir pikir iya juga sih, secara ini kan sudah siang banget.
sepertinya beliau memang tidak masuk. Kalau begitu kita sholat saja sekarang”
ajak Wuwul. “Tapi kalau tiba tiba Bu Puji datang gimana?” kataku. “Sudahlah
kita sholat saja, semoga tidak apa apa” kata Wuwul. “Oke deh” jawabku.
Setelah 20 menit kemudian aku dan
Wuwul telah selesai sholat. Kami berjalan menuju kelas sambil berbincang
bincang. Setelah sampai di depan kelas kami pun bingung. “Eh Wul kelasnya sepi,
jangan jangan di dalam ada Bu Puji” kataku. “Iya nih, gimana dong aku takut
juga kalau masuk kelas. Gimana kalau kita bolos saja?” tanya Wuwul. “Boleh juga
sih, tapi kalau kita bolos hukumannya bakalan berat” kataku. “Iya ya kemarin
waktu Dony bolos dan ketahuan Bu Puji dia disuruh berdiri di lapangan selama 2
jam. Capeknya sih nggak seberapa, tapi malunya itu loh. Apalagi biasanya
dilihatin anak anak yang lain” kata Wuwul. “Aduh gimana nih, maunya sih masuk
kelas tapi takut banget dimarahin” kataku. “Oke, kita fikirkan dulu deh 5
menit” kata Wuwul. Selama 5 menit aku terus berfikir masuk kelas atau bolos.
Kalau aku masuk pasti aku dimarahin habis habisan sama Bu Puji tapi kalau aku
bolos aku pasti akan dijemur dilapangan dalam keadaan panas dan pastinya
menahan malu karena banyak guru dan siswa yang melihat. Dan akhirnya kuputuskan
untuk masuk ke dalam kelas. “Wul, ayo kita masuk saja lagian ini kan juga salah
kita, jadi kita juga harus mempertanggung jawabkannya” kataku.
Setelah sedikit mengintip ke dalam
kelas terlihat teman teman yang sedang mempresentasikan tugas di depan kelas,
dan salah satu dari mereka kebetulan melihat kami. “Hey, kalian tadi dicari Bu
Puji. Darimana? Kenapa baru datang?” katanya dengan sedikit berbisik. Dan aku
mengisyaratkan dengan gerakan badan bahwa aku tadi sholat. Terlihat dia sedang
mengangguk kemudian dia berkata “Cepetan masuk, nanti keburu Bu Puji makin
marah.” Aku dan Wuwul saling memandang dengan maksud meyakinkan diri kita
sebelum memasuki kelas. Setelah aku mengangguk, kita pun memasuki kelas.
Dengan langkah lambat kita memasuki
kelas. Bu Puji duduk di pojok kelas terlihat tengah memperhatikan presentasi.
Setelah menaruh mukena di bangku, kita menghampiri Bu Puji berniat untuk
meminta maaf atas keterlambatannya. Namun belum sampai salah satu dari kita
berbicara, Bu Puji menyelat dengan berkata “Dari mana saja kalian, jam segini
baru datang.” Kita pun menjawab “Kita tadi sholat Bu.” “Kenapa tidak izin dulu
tadi sebelum sholat?” tanya Bu Puji kembali. “Kita tadi mau izin ke ibu tapi Bu
Puji belum datang, kita tadi sudah menunggu juga tapi Bu Puji belum datang
juga. Jadi kita langsung sholat tadi” kataku. Saat itu suasana kelas menjadi
hening dan sedikit mencekam. Perhatian semua penghuni kelas tertuju kepada
kami.
“Jangan mentang mentang kalian
anggota kedisiplinan kalian jadi seenaknya keluar kelas saat jam pelajaran”
ujar Bu Puji dengan lantang. Mendengar suara Bu Puji yang agak tinggi dari
biasanya suasana kelas semakin hening dan saat kulihat anak anak sedang
menunduk takut melihat kemarahan Bu Puji. Aku pun semakin menundukkan kepala
karena takut dan terkejut. Ya, aku dan Wuwul adalah anggota kedisiplinan
sekolah, yang dipercaya bisa mendisiplinkan teman teman yang melanggar dengan
syarat kita harus disiplin terlebih dahulu. “Tidak Bu, saya tidak bermaksud
seperti itu. Saya memang anggota kedisiplinan tapi saya benar benar tidak
memiliki maksud seperti itu” kataku. “Yasudah kalian duduk sana” kata Bu Puji.
“Saya minta maaf Bu telah melakukan kesalahan” kataku. “Iya Bu, saya juga minta
maaf atas kesalahan saya” kata Wuwul. “Kita tidak akan mengulanginya lagi Bu”
kata kami berdua.
“Yasudah kalian kembali ke tempat
duduk kalian” kata Bu Puji dengan wajah yang sedikit masam. Kulihat ekspresi
dari teman teman yang kelihatan iba kepada kami. Mereka terlihat mengeluarkan
kata “sabar” meski tanpa suara. Kami pun hanya bisa mengangguk dan sedikit tersenyum
untuk mengisyaratkan bahwa kami baik baik saja. Kami hanya bisa berjalan pasrah
menuju meja kami masing masing. “Sudahlah tidak apa apa yang terpenting jangan
diulangi lagi ya” kata teman sebangkuku Nanda. “Tapi Bu Puji tadi keliahatan
sangat marah sekali, aku jadi takut” kataku. “Tapi tadi kamu kan juga sudah
berusaha menunggu Bu Puji sebelum kamu sholat. Jadi tidak sepenuhnya ini
salahmu” kata Nanda. Sepanjang pelajaran dia mencoba menenangkanku yang memang
tampak gelisah dengan kejadian tersebut. Kulihat saat itu Wuwul juga tampak
menyesal dengan apa yang telah kami lakukan.
Kita sangat menyesal dengan apa yang
terjadi, seharusnya apabila keluar kelas kita harus meminta izin kepada guru
terlebih dahulu baik itu Bu Puji atau bapak ibu guru yang lainnya. Kita harus
menghormati guru, karena guru adalah orang tua kita saat di sekolah. Guru juga
orang yang telah mendidik kita dari kita tidak bisa menjadi bisa. Aku berjanji
aku tidak akan mengulanginya lagi, aku tidak akan mengecewakan bapak dan ibu
guru lagi. Karena penyesalan memang datang terlambat.
BAYANGAN SEMU
Oleh : Tiara Ayu K. ( 29 )
Senja mulai menyapa. Suasana kedai
kopi di pinggir jalan itu cukup ramai dengan berpasang-pasang mata yang
bergerak naik turun menatap layar ponsel. Beberapa siswa berseragam putih biru
terlihat sesekali menyeruput secangkir kopi pesanan mereka yang berjajar rapi
di salah satu meja panjang di sudut ruangan. Asap rokok mengepul keluar dari
bibir mereka dengan begitu lihainya, kemudian membumbung memenuhi ruangan.
Dialah Arkan, satu di antara sekian siswa itu
yang hanya berdiam diri dengan segelas es susu di hadapannya.
“Mana rokokmu, dasar payah!” ucap salah satu siswa dengan
nada mencibir.
“Bukankah aku kemari hanya untuk membantumu mengerjakan
tugas?” jawab Arkan ringan.
Kalimat sederhana Arkan tersebut
lantas mengundang gelak tawa dari seluruh siswa di kedai kopi itu. Naufal,
seorang siswa yang dikenal sebagai salah satu anggota pengurus OSIS kembali
menyulut sebatang rokok dan menyodorkannya pada Arkan. Sembari tersenyum
miring, ia berkata, “Jangan naif, Ar. Tidak perlu menahan diri seperti
itu.” Arkan
menggeleng pelan. “Tidakkah kalian semua berpikir bagaimana masa depan kalian
jika saat ini saja sudah berbungkus-bungkus rokok yang kalian habiskan?”
tuturnya.
“Oh, lihatlah. Arkan kita sudah menemukan bakat
berdakwahnya.” Naufal terbahak, sementara beberapa siswa yang lain hanya
memperhatikan. Tak juga berhenti, Naufal justru semakin terbahak setelah
memperhatikan Arkan dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. “Oh astaga, apa kau seperti ini karena
larangan dari pacar barumu? Cih,
kalau sudah rusak ya rusak saja, Ar.” cibirnya lagi.
Arkan menghela napas. Ia tidak menyangka teman-temannya sejak
SD akan berubah secepat ini, terlebih perubahan itu adalah ke arah yang tidak
baik. Arkan adalah seseorang yang peduli dan setia kawan. Namun, ia masih tau
mana yang benar dan mana yang salah.
“Aku pulang.” putusnya. Arkan bangkit dari kursi panjang yang
tadi didudukinya dan mulai melangkah santai. Spontan saja hal itu membuat
teman-temannya menatap tidak percaya.
“Seorang pengurus OSIS, mencatat berbagai pelanggaran yang
dilakukan siswa adalah tugasmu, bukan? Tetapi itu semua hanya sebuah
pencitraan.” ucap Arkan tanpa membalikkan badannya ke belakang. Tentu saja
perkataan itu sangat menyinggung Naufal, sehingga ia melemparkan putung rokok
yang masih menyala hingga tersangkut di bagian belakang kepala Arkan. Namun,
Arkan benar-benar tidak peduli. Ia hanya mengambil putung rokok tersebut dan
kembali melangkah keluar dari kedai kopi itu.
Bersamaan
dengan itu, segerombol pengurus OSIS yang kebetulan baru selesai bertugas
berhamburan keluar dari gerbang sekolah. Mereka melihat Arkan, tentu saja
dengan sebuah putung rokok di tangannya. Arkan tahu apa yang akan ia dengar,
sungguh-sungguh tahu.
“Kegiatan harian ya, hm?” Dana, Si Ketua OSIS tersenyum
meledek.
“Apa maksudmu?” tanya Arkan dengan nada datar.
Salah seorang pengurus OSIS lain menyahut, “Seorang siswa SMP
berseragam lengkap baru saja keluar dari kedai kopi dengan putung rokok di
tangannya. Menurutmu, apa yang ada di pikiran kami?”
Arkan tertawa sekilas. “Aku tidak merasakan sebatang rokok,
bahkan tidak seteguk kopi sekalipun.”
“Tidak perlu mengelak, Arkan. Kami pengurus OSIS sudah hafal
bahwa kelompok kalian adalah kelompok pembolos, pelanggar peraturan, dan
pengacau. Masihkah kau mempunyai muka untuk membela diri?” ucap Dana seakan
mengintimidasi. Namun, lagi-lagi Arkan hanya tersenyum.
“Memang, setangkai mawar yang hidup di dalam kawanan bunga
bangkai akan dianggap sama saja seperti mereka. Sehingga begitupun sebaliknya,
sebuah bunga bangkai yang terselip rapi di kawanan mawar akan tersamarkan.”
ujar Arkan, kemudian ia melangkah pergi meninggalkan para pengurus OSIS yang
terdiam mencerna ucapannya.
Beberapa
saat kemudian, keluarlah segerombolan siswa yang telah menghabiskan hampir
separuh harinya di kedai kopi tersebut. Beragam ekspresi menghiasi wajah-wajah
siswa SMP yang tertangkap basah itu. Secepatnya, Dana mengambil foto
siswa-siswa tersebut sebagai bukti untuk menindaklanjuti perbuatan mereka.
Namun, betapa terkejutnya mereka semua saat mendapati seorang Naufal yang
merupakan bagian dari mereka sedang menghisap rokok dengan mata kemerahan yang
hampir terpejam. Detik itu juga, Dana dan pengurus OSIS yang lain dapat
menangkap makna dari kalimat Arkan, sang bayangan semu dari teman
sepergaulannya.
Persahabatan
bagaikan tali
Oleh
: Toafan S.M ( 30 )
Pada suatu
hari sabtu di tempat les, kami berempat(aku, ikhsan, fani, dan ryan) berencana
bersepeda santai ke masjid agung surabaya. Kami ingin sekali menyegarkan
pikiriran sejenak dari aktivitas sekolah yang sangat sibuk. Alasan kami memilih
masjid agung ialah karena hawa yang sejuk dan santai serta banyak pedagang kaki
lima yang menjajakan dagangannya dengan harga yang murah.
Hari itu
pun dimulai, aku pun dijemput oleh kawan-kawanku. Namun, selepas dari rumahku,
tiba-tiba ryan berubah pikiran. Ia ingin bersepeda ke taman bungkul. Tetapi, kami
sedikit menyanggah pikirannya. Setelah agak lama berdebat, kami pun memutuskan
mengalah dan mau untuk mengikuti permintaan ryan agar bersepeda ke taman
bungkul. Namun, aku mempunyai firasat buruk yang akan terjadi kepadaku maupun
teman-temanku, tetapi aku menghiraukannya. Akhirnya, kita pun berangkat
mengayuh sepeda ke bungkul jam 06.00.
Kami
bersepeda mulai dari driyorejo sampai taman bungkul. Kami mengayuh dengan penuh
semangat dan canda tawa. Kami bersyukur bisa menghirup hawa-hawa segar sebelum
UN dimulai. Di jalan kami juga bertemu dengan penggowes lainnya. Kami pun
saling bertegur sapa. Rata-rata penggowes yang kami temui sudah berusia lanjut
usia namun semangat mereka tak kan pernah lelah untuk menggowes.
Akhirnya,
kami pun sampai di taman bungkul. Tujuan kami pertama ialah sarapan pagi. Kami
sangat lapar dan lelah setelah mengayuh hampir sejauh 20 km. Kami pun memilih
menu soto ayam lamongan dan teh anget sebagai menu sarapan kami pun segera
melahap soto yang masih hangat. Setelah perut terisi, kami pun memutuskan untuk
berjalan-jalan di sekitar kawasan taman bungkul. Kami melihat banyak event di
sana seperti senam bersama, musik jalanan, dan lain-lain. Setelah kami berjalan
mengitari taman bungkul, akhirnya kami pun duduk disalah satu sudut taman
bungkul. Memang, yang ku rasakan di sini ialah sejuk dan segar. Kami saling
bercanda tawa agar pikiran kami rileks.
Jam pun
sudah menunjuk pukul 10.00 wib. Kami pun mengambil sepeda di parkiran untuk
kembali pulang. Namun apa yang terjadi, saat aku mengayuh sepedaku pertama kali
rantainya langsung los. Aku pun berpikir sejenak "mungkin ini adalah
firasat buruk ku tadi." Rantai pun sudah ku benarkan, namun setelah aku
mengayuhnya lagi rantai nya los kembali. Akhirnya, kawan-kawanku memutuskan untuk
mendorongku dari belakang sembari bersepeda. Aku sangat bersyukur memiliki
mereka karena selalu ada diaat aku susah maupun senang.
Setelah
bersepeda sekian lama, akhirnya kami menemukan sebuah bengkel sepeda di
jambangan. Aku berharap sepeda ku bisa lebih baik setelah diservis. Kami pun
menunggu agak lama hampir setengah jam. Akhirnya servis pun selesai, namun si
pemilik bengkel mengatakan bahwa ada salah satu baut yang hilang dari rantai
ku. Kami pun kembali menggowes sepeda untuk kembali pulang.
Namun di
tengah-tengah perjalanan, rantai ku kembali los. Tidak berpikir panjang, kami
pun menemukan sebuah tali di pinggir jalan. Mereka pun langsung mengikatkan
tali pada setir sepeda ku dan menghubungkannya disalah satu sadel sepeda
temanku. Kami pun bergantian menarik sepeda.
Sampai
suatu saat dimana terik menyinari kami, akhirnya kami pun beruntung. Kami
menjumpai warung mie ayam yang jaraknya agak dekat dari rumah ku. Itu pertanda
bahwa kami sudah dekat dengan rumah. Namun, perut rasanya keroncongan, kami pun
memutukan untuk makan siang di warung mie ayam tersebut sambil beristirahat
sejenak. Mie ayam pun siap, kami segera melahapnya tanpa ampun. Setelah
kenyang, kami melanjutkan perjalanan pulang dan menemukan sebuah masjid.
Akhirnya, kami pun melaksanakan sholat dhuhur berjamaah. Setelah sholat, kami
pun melanjutkan perjalanan pulang. Dan tidak lupa, aku meminta maaf kepada
kawan-kawanku karena sudah merepotkan tenaga dan waktunya hanya untuk
membantuku. Akhirnya, aku tiba di rumah pukul 13.30 wib.
Perjalanan
ini tidak akan terlupakan dalam hidupku. Persahabatan memang bagaikan tali,
jika ada salah satu yang tidak bisa bergerak, tali pun dapat menariknya. Itu
juga seperti teman-temanku yang dapat menarikku dimana aku tidak bisa bergerak.
Percayalah, sahabat memang selalu ada baik disaat susah maupun senang.
BANGKIT DARI KETERPURUKAN
Oleh
: Wildan T H ( 31 )
Pernahkah engkau
kehilangan sosok seorang yang engkau cintai dalam kehidupan ini. Inilah yang
aku rasakan dalam kehidupan ini. Kehidupan yang berisikan kekosongan dalam
kasih sayang. Akan tetapi inilah skenario yang diberikan Sang Kuasa kepada
hambanya. Tidak ada yang tahu dalam menjalankan kehidupan. Pasti ada sedikit
rasa kecewa pada diriku sembari selalu memanjatkan do’a kepada Sang Ilahi agar
selalu ada pelindung kepada sosok yang aku sayang di dunia ini.
Sosok itu adalah ibuku.
Semasa kecilku hari-hari aku jalani bersamanya. Detik, menit, jam, hari, tahun
terus berjalan bersamanya. Kasih sayang beliau tidak ada hentinya kapadaku.
Beliau dengan susah payah mendidikku sampai saat ini. Yang penuh kejutan aku
berikan kepadanya meskipun jauh di sana.
Sosok kasih sayang itu
dapat aku rasakan beberapa tahun ke belakang. Semasa beliau masih hidup, banyak
kenangan yang aku dapatkan dari beliau, nilai-nilai kehidupan mulai aku
dapatkan perlahan-lahan dari ajaran beliau. Beliau adalah sosok yang sangat
sabar, terlihat saat beliau mendidikku, karena dulu aku pernah merasakan
masa-masa yang kurang baik. Karena dulu aku pernah merasakan menjadi anak yang
dalam kategori nakal semasa aku kecil. Namun berkat didikkan beliaulah pada
masa jenjang sekolah dasar, perlahan-lahan sifat tersebut mulai luntur dan
hilang, bergantikan kesucian yang ada pada diriku.
Kehidupan mulai aku
jalani dengan baik. Sampai aku mendapatkan kategori pelajar terbaik di sekolah.
Namun kebahagiaan-kebahagiaan itu mulai hilang dan bahkan tidak ada pada
diriku. Semasa ibuku mulai berbaring di atas kasur yang diberikan Tuhan untuk
terakhir kalinya menikmati kehidupan di dunia. Kasur itu ada dalam kehidupan
alam barzah yaitu liang lahat. Memang, ibuku telah diambil oleh Sang Kuasa
untuk mendapatkan kebahagiaan yang berbeda.
Semasa hidupnya aku
selalu mandampingi beliau sebelum meninggal. Tepatnya pagi hari setelah aku
menikuti kegiatan LDKS (Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa) yang diadakan pihak
sekolah. Pagi itu aku menyempatkan menengok ibu di sebuah rumah sakit di wilayah
Sidoarjo yang tak asing bagi keluargaku. Saat itu rumah sakit tersebut tidak
jauh jarak tempuhnya dari jenjang sekolah yang aku tempuh. Dengan senang aku
bertemu beliau, karena tiga hari aku tidak bertemu beliau. Sesuap bubur aku
berikan ke beliau sampai semangkuk bubur habis beliau makan. Aku sangat senang
karena kesehatan ibuku mulai pulih dan membaik.
Fajar mulai melihatkan
sosoknya dari tempat peristirahatannya. Aku pun bergegas meninggalkan beliau
untuk mengemban tugasku sebagai seorang pelajar. Tak lupa aku mencium tangan
beliau tanda kasih sayangku kepadanya. Dengan bersemangat akau menungangi
sebuah kendaraan yang dibilang cukup baik bagiku, karena telah menemaniku
semasa sekolah menegah pertama (SMP). Pelajaran-pelajaran di sekolah aku ikuti
dengan baik. Canda tawa dari teman-temanku membuat rasa kawatirku kepada ibuku
mulai hilang.
Suara yang ditunggu
teman-temanku mulai berbunyi, jam mulai menunjukkan pukul tiga sore, tandanya
waktu pulang telah tiba. Saat itu, hatiku mulai tidak tenang kembali, rasa
was-wasku kepada ibuku mulai muncul kembali. Aku pun memutuskan menengok
kembali ibuku. Sampai di halaman rumah sakit, sosok kakak dari ayahku
menghampiriku. Beliau berkata “ Sabar yo
le, ibu sak iki kritis “ logat beliau yang kental dengan bahasa jawa. Rasa
khawatirku sejak aku di sekolah tadi memang benar. Kemudian beliau membawaku ke
ruang ibuku dirawat. Langkah
kaki mulai bergemetar, karena membayangkan kondisi ibuku saat ini. Aku sangat
kaget, karena banyak peralatan kesehatan menempel ditubuh ibuku. Yang tadi pagi
terlihat mengalami peningkatan kesehatan, namun bertolak belakang dengan
kondisi saat ini.
Tim medis pun mulai
bergerak, sembari aku mendampingi beliau. Do’a dan sholawat terus aku panjatkan
kepada sang ilahi, semoga nasib baik menghampiri ibuku. Kurang lebih satu jam
aku menemani ibuku bersama kakak dan ayahku. Mesin pendeteksi detak jantung
mulai menunjukan penurunan kinerja jantung ibuku. Tepatnya pukul 16.13 ibuku
menghembuskan nafas terakhir. Tangis mulai pecah dalam ruangan itu. Tak
disangka secepat ini tuhan mengambil nyawa ibuku. Kakakku pun mulai
menenangkanku dengan merangkul tubuhku, “
Sabar yo le, iki wes jalanne ibu, sabar le…..sabar….” kata kakakku.
Peralatan kesehatan pun
mulai dilepas dari tubuh ibuku. Ambulan mulai melihatkan suaranya, ibuku pun
dibawa ke rumah melalui kendaraan itu. Aku ingin mendampingi ibuku di ambulan,
tetapi kakakku melarang. “ ndak usah le ben room ae sama mbah sing di dalam
ambulan “ katanya. Aku pun mengikuti ambulan itu bersama kakakku mengendarai
mobil milik ayah. Sanak saudara mulai banyak yang berdatangan ke rumahku.
Banyak orang yang tidak menyangka bahwa secepat ini ibuku diambil sang kuasa. Karena
menurut warga sekitar, ibuku adalah sosok yang baik. Para warga pun menyiapkan
untuk melakukan perawatan jenazah ibuku mulai dari menyucikan sampai
penguburan. Pukul 19.00 ibuku telah disemayamkan di tempat peristirahatan yang
terakhir.
Aku masih belum bisa
merelakan ibuku diambil sang kuasa. Sosok kakakkulah yang selalu membangkitkan
semangatku dalam menjalani kehiduapan ini. Beliau selalu berkata
“ inilah jalan tuhan yang diberikan ke ibu,
tidak perlu sedih kan masih ada kakak sama ayah“. Beliau terus mengobarkan
semangatnya agar aku tetap tegar dan tidak terus meratapi kesediahan akan
meninggalnya ibuku. Cukup lama aku dalam kesedihan. Akan tetapi aku berpikir
kembali jika aku terus seperti ini. Bagaimana dengan janjiku kepada ibuku jika aku
terus bersemangat dalam menjalani lika-liku kehidupan dunia ini.
Kehidupan tanpa ibu aku
jalani setahun silam. Hari-hari kehidupanku berbeda dengan dulu. Jika dulu ada
ibu, aku bisa menceritakan keluh kesahku dalam menempuh jenjang pendidikan.
Beliau juga yang selalu menemaniku ketika aku belajar sampai larut malam.
Peristiwa inilah yang aku rindukan sampai saat ini. Tak masalah jika tidak ada
yang masak, membersihkan rumah, mencucui baju. Itu semua dapat aku atasi
sendiri.
Selain kakakku yang
selalu membangkitkan semangat, ada sosok lain yang juga membuatku tak henti
dalam mengobarkan semangat. Sosok itu muncul ketika aku ditinggalkan ibuku. Dia
yang sering memberikan dorongan kepadaku agar terus bersemangat. Dia juga yang
mengingatkanku agar selalu tabah, jika aku dalam dualisme masalah yang sulit,
dialah yang memecahkan masalah yang sulit itu. Dia adalah sosok cewek yang
sangat baik. Dulu aku mengira jika dia sama saja halnya dengan teman-teman yang
aku kenal. Tapi dia berbeda, berbeda dari yang lain. Sekalipun dia agak cuek,
tapi dia sangatlah baik.
Aku tak meyangka jika aku
dapat mengenal dia, karena aku terbilang orang yang kurang pergaulan. Kata
“kurang pergaulan” ini selalu aku ingat selama-lamanya, karena dengan kata
tersebut aku bisa lebih maju. Kata itu juga yang dulu ibu ucapkan kepadaku.
Entah beberapa lama aku
dapat mengenal dia. Yang jelas aku harus bisa hidup lebih kedepan lagi dan
merelakan apa yang sudah diberikan Tuhan kepadaku dan merai cita-cita
setinggi-tingginya. “Aku harus bisa,…..harus bisa” ucapku dalam benak yang
paling dalam.
Kartu ATM
Oleh
: Yovan Febriawan ( 32 )
Ulangan
adalah kata yang sedikit menjengkelkan bagi Nando. Karena dia merasa bahwa hal
tersebut hanya membuat dia sengsara dan membuang buang waktu. Hari ini ada ulangan
agama. Karena Nando lupa dan malas, ia tidak belajar kemarin malam. Nando
berangkat sekolah dengan mengendarai sepeda, meskipun jarak rumah dan sekolah
tidak terlalu jauh. Bel masuk telah menyambut Nando saat melangkahkan kakinya
melalui gerbang sekolah. Tanpa ada pikiran hari ini ada ulangan, ia tak merasa
tergesa gesa ataupun stres.
Berbeda
dengan Doni,teman seangkatan Nando. Dia begitu rajin dan teliti akan apa yang
ia kerjakan. Sehingga Doni selalu dimintai tolong oleh teman temannya termasuk
Nando. Dia selalu diantar oleh ayahnya setiap hari, tetapi saat pulang ia
bersama Nando. Mereka memasuki kelas dan pelajaran pertama dimulai. Pada saat
sebelum pelajaran agama, Nando baru ingat bahwa hari ini ada ulangan agama.
Jadi, ia bergegas untuk mengambil buku dan mempelajarinya.
Akan tetapi
itu sudah terlambat, bel sudah bebunyi dan menandakan dimulainya pelajaran
selanjutnya. Tiba tiba terdengar suara salam dari Pak Shoddiq dan beliau
berkata “Sekarang pakai kartu ATM kalian!”, seraya berjalan jalan membagikan
kertas ulangan. ATM itu singkatan dari Aku Tidak Menyontek. Untuk mendapat
kartu itu kita harus mematuhi sebuah peraturan, yaitu tidak menyontek. Kartu
ATM dipakai saat ulangan dan saat latihan. Tapi, Nando tidak mempunyai kartu
ATM, karena dia tidak pintar dan malas belajar.
Akhirnya,ulangan
pun dimulai. Nando mengerjakan soal-soal itu. Satu jam telah berlalu, tapi nomor 23,29,36,40 dan 43, belum ia kerjakan
karena terlalu sulit baginya. Dia mulai melihat ke arah samping untuk bertanya dan
beharap agar mendapat contekan. Sayangnya ia memakai kartu ATM. Ia mulai
melihat lagi ke arah lain. Akan tetapi mereka juga memakai kartu ATM. Pak
Shoddiq tersenyum melihatku. Akhirnya, Nando pun bertanya ke Doni dengan
mengancam kalau tidak menjawab, ia tidak akan boleh pulang denganku. Tapi, ia
menunjukkan kartu ATMnya. Nando mulai merasa kesal. Akhirnya , Nando menjawab
soal itu dengan asal-asal.
Bel
berdering, ini saaatnya untuk mengakhiri ulangan dan pulang. Saat pulang, Nando
pun langsung berlari ke parkiran sepeda,meninggalkan Doni di kelas. “Biarkan
saja dia mencariku,siapa suruh ia tidak memberiku jawaban” kata Nando. Nando
pun mulai menyalakan sepedanya.
Ia melihat
Doni yang datang dengan muka pucat dan penuh dengan keringat. “Kamu kenapa
tinggalin aku, Ndo?”, tanya Doni. “Siapa suruh tadi kamu begitu”, ucap Nando
dengan suara sedikit kasar. “Ku minta maaf ndo,sebenarnya ku mau membantumu.
Tapi Pak
Shoddiq melihat ke arahku” kata Doni.Nando menyesal karena malas belajar,ia
tidak bisa mengerjakan ulangan dengan benar. “Seharusnya aku belajar dengan
giat,agar mendapat nilai yang bagus. Dan setelah aku pikirkan Don,kamu harus
membantuku agar mendapat kartu ATM itu. Mau membantuku tidak?” kata Nando. “Baiklah, aku akan membantumu. Lebih enak
juga kan kalau kita mengerjakannya dengan jujur dan dengan hasil usaha kita
sendiri?” ucap Doni. “Yah begitulah.
Terima kasih ya Don,sudah membantuku. Ayo cepat naik,kita belajar bersama-sama
di rumahku” kata Nando. “Ok ok” kata Doni sambil tersenyum. Sesampainya di
rumah Nando, Doni mengajar dan memberitahu trik trik untuk belajar yang tidak
membosankan dan mudah dipahami. Sehingga, Nando memiliki kemauan untuk selalu
belajar meskipun tidak ada ulangan.
My Hobi Batminton
Oleh: Achmad diky muchafi
Nama saya Achmad diky muchafi biasa
dipanggil diky. Saya mempunyai hobi berolahraga,olahraga yang saya sukai yaitu
bermain batminton,olahraga itu terkadang membuat saya merasa senang dengan
bermain batminton.saya belajar bermain batminton dari teman saya.saya ingin
bermain batminton karena nasehat untuk menggeluti olahraga itu. Semenjak saya memulai
untuk bermain batminton saya merasa senang sekali, bukan hanya saja bisa untuk
bermain batminton, tetapi saya juga bisa berteman dengan orang yang juga senang
dengan olahraga batminton.
Teman saya yang bernama surya maulana
malik ibrahim dia sangat pintar bermain batminton. Kami tiap habis sholat isya
selalu bermain di GOR (gedung olahraga) batminton di desa plaosan,kami selalu
berlatih dan mengajak tanding kampung sebelah, kami selalu tidak bisa
dikalahkan, anak kampung sebelah selalu bermusuhan dengan kami walupun mereka
bermusuhan dengan kami,kami tetap berteman.dan saya ingin sekali ingin masuk
club batminton saat itu dan akhirnya saya mempunyai club,club saya yang bernama
PB.TUNAS SIKATAN.
Ketika hari pertandingan batminton,
disana banyak sekali pemain batminton dari seluruh club di kabupaten
sidoarjo.untuk pertama kali saya disebut untuk bermain batminton melawan club
surya naga yaitu club yang mempunyai kualitas pemain yang bagus-bagus.saya
merasa takut melawan dia karena kemampuan saya bermain batminton pada saat itu
masih sangat rendah.saya bertanding kemudian kalah,tetapi skornya hanya beda
tipis dan saya merasa kecewa karena sudah mengecewakan pelatih dan ayah saya
tetapi kata ayah saya tidak apa-apanamnya aja perdana atau pertama kali
mengikuti pertandingan,walaupun saya kalah tetapi saya tetap suka bermain
batminton dan terus berlatih agar bisa menjadi lebih baik lagi.
Tetapi saat ini saya jarang mengikuti
latihan lagi karena terganggu dengan jam sekolah,waktu saya sekolah beradu
dengan jam latihan,tetapi meskipun sekarang saya hanya bisa duduk dan
menyaksikan pertandingan batminton di
televisi saja, saya masih bersyukur karena telah diberikan kesempatan untuk
merasakan bagaimana menjadi seorang atlet batminton.
Inilah cerita singkat ku,sekian dari
saya dan kurang lebihnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya,dan
mudah-mudahan dari ceritaku ini dapat bermanfaat bagi orang yang
membacanya.wassalamualaikum wr.wb

Komentar
Posting Komentar