Kumpulan Cerpen (Part 5)


Dalam Diam Ku Mengaguminya

Karya : Shella Amalia ( 27 )

Ketika semua orang bisa mengungkapkan isi hatinya kepadamu, tetapi tidak dengan aku. Ketika semua orang bisa mengungkapkan rasa kagumnya kepadamu, tetapi tidak dengan aku. Ya anggap saja aku cupu, ya aku memang penakut, dan ya aku adalah si gadis kaku. Tetapi asal kalian tahu, aku sangat mengaguminya. Dia yang selalu menjadi pusat perhatian di kelas, ya dia yang pintar, dan ya dia yang memiliki sejuta pesona yang sangat tidak pantas untuk dilewatkan. Aku memang sangat kaku, berbanding terbalik dengan dia. Dia yang ramah, dia yang baik hati, dan ya dia yang perhatian ke semua orang. Ya dia adalah teman sekelasku.
Aku sangat mengaguminya, bahkan hanya dengan mendengar tawanya aku bisa tersenyum sepanjang hari. Aku selalu memperhatikannya, hingga suatu ketika ia menyapaku,
“ Hai “, sapanya.
“Hai juga, ada apa?”, jawabku.
“Pinjam catatanmu dong, boleh ya?”, tanyanya
“Bagaimana kau ini, kau pintar tetapi masih meminjam catatan orang lain?”, ucapku datar.
“Boleh ya?”, ucapnya dengan nada yang menggemaskan menurutku.
“Ya”, jawabku
“Kau memang baik, tidak seperti perkiraanku”, ucapnya
“Memangnya aku terlihat jahat heh?”, ucapku ketus.
“Tidak, tapi kau lucu”, ucapnya enteng dengan senyum manis di bibirnya.
“kau lucu” hanya dengan dua kata darinya dapat membuatku menahan nafas dan jantungku berdetak cepat. Jika ada yang bertanya bagaimana perasaanku, aku akan menjawab nano nano rasanya. Bahkan aku tidak bisa bergerak sedikitpun dari tempatku semula.
Rasa sukaku kepadanya semakin tinggi, bahkan aku sering tersenyum sendiri saat mengingat bagaimana ia mengatakan bahwa aku lucu. Apalagi setelah itu ia selalu tersenyum manis dan menyapaku saat berpapasan denganku. Akupun semakin merasa spesial, apalagi sikapnya yang sangat ramah kepadaku. Tak sedikit cewek yang dengan terang terangan menungkapkan perasaannya kepada dia, tetapi apalah aku dibandingkan mereka. Aku bahkan tidak berani menatap matanya apalagi mengungkapkan perasaanku. Hingga suatu ketika aku melihat ia berbicara dengan sahabatnya, akupun tak sengaja mendengar percakapan mereka.
“Apakah harus selalu bersikap ramah ke semua orang?” tanya sahabatnya
“kita sesama manusia kan diharuskan bersikap baik ke orang lain” jawabnya.
“Kalo ada yang salah paham sama sikap lo gimana? Misal ada yang suka gitu” tanya sahabatnya lagi
“Suka itu wajar, perasaan ga bisa dipaksa” jawabnya enteng
“Tapi banyak yang suka sama lo, kenapa nggak dijadiin pacar aja sih salah satunya?” tanya sahabatnya
“Gini ya, misalnya aku pacaran sekarang, tapi belum tentu berjodoh kan? Dalam agama juga dilarang pacaran kan?” ucapnya
“Iya juga sih”, jawab sahabatnya.
Yayaya aku telah melupakan satu fakta tentang dia, dia merupakan orang yang taat beragama menurutku. Aku semakin mengaguminya setelah mendengar jawabannya itu. Biarlah kalian anggap aku berlebihan, tapi siapa yang tidak menyukai orang yang seperti itu.
Hari demi hari ku lewati dengan selalu memperhatikannya.  Aku memang bukan orang yang pandai dalam bidang agama, tetapi aku tahu bahwa dalam agamaku menyukai lawan jenis yang bukan muhrim itu dosa. Namun, apalah aku yang tidak bisa menahan perasaan yang terus tumbuh ini. Hingga pada suatu ketika aku satu kelompok dengan dia, rasanya senang sekali.
“Kau bagian yang ini ya, nanti langsung kirim ke aku” ungkapnya ramah.
“Siap bos” jawabku dengan ceria.
“Aneh, tapi kau lucu” ujarnya seperti biasa dengan senyum manis di bibirnya.
Aku semakin suka kepadanya, aku tidak tahu bagaimana bisa begini. Bahkan setiap hari aku selalu semangat untuk berangkat sekolah agar bisa bertemu dengannya. Apalagi saat pentas seni, ia memainkan gitarnya dengan sangat bagus. Siapapun pasti suka dengan dia.
Suatu hari aku mendengar kabar bahwa ia telah berpacaran dengan teman dekatku. Aku merasa senang sekaligus kecewa disaat yang bersamaan. Aku tidak percaya bahwa dulu ia mengatakan tidak ingin berpacaran telah mengingkari kata-katanya itu. Aku kecewa tetapi tetap saja rasa sukaku padanya masih ada. Aku sadar bahwa hanya akulah yang terbawa perasaan, ya akulah yang mengaguminya, dan ya akulah gadis kaku yang mengaguminya dalam diam. Bagiku, melihat tawa dan senyumnya saja sudah cukup. Aku memang iri pada teman-temanku yang bisa akrab dengan dia tetapi aku sadar diri apalah aku yang bukan siapa siapa ini. Ya apalah aku ini, seorang gadis kaku yang sangat mengaguminya. Dia yang tak seindah berlian, tak berkilau hingga membutakan. Dia yang tak semerdu burung kutilang. Dia yang indah sebagaimana mestinya. Ya inilah kisahku dimana dalam diam ku mengaguminya.



PENYESALAN

Oleh : Suci Istighfarin M ( 28 )

Waktu menunjukkan pukul 11.45 ini berarti saatnya jam istirahat. “Ran, ayo ke kantin laper banget nih aku” kata Wuwul. Wuwul adalah salah satu sahabatku. Sebenarnya namanya adalah Nurul tapi teman teman yang lain lebih suka memanggilnya Wuwul, katanya biar mudah saat memanggilnya. Dan namaku adalah Rani, aku salah satu siswa di sekolah negeri. Kita sudah bersahabat lumayan lama, sekitar 2 tahun. Dimana ada aku di situ pun pasti ada Wuwul begitu juga sebaliknya. “Ayo Wul, aku juga lapar banget nih, pasti ini gara gara ulangan harian tadi” kataku. “Iya mana soalnya susah banget lagi, haduh pusing deh jadinya” kata Wuwul. “Sudah lah lagipula ulangannya juga sudah selesai, tinggal berdoa saja semoga nilainya bagus. Ayo ke  kantin keburu masuk nih” kataku. “Oke ayo” kata Wuwul.
Saat di kantin, kita pun membeli makan. Setelah selesai, kita kembali ke kelas. “Wul, ayo sholat dhuhur dulu, kita kan tadi belum sholat” ajakku. “Ayo Ran” jawab Wuwul. Tetapi baru saja setelah Wuwul berbicara, bel masuk berbunyi. “Yah, sudah bel masuk. Gimana nih?” tanyaku. “Wah udah masuk ya, gimana kalau kita tunggu Bu Puji aja dulu lalu kita minta izin untuk sholat” kata Wuwul. Pelajaran selanjutnya adalah Ilmu Pengetahuan Sosial dan yang mengajar adalah Ibu Puji Setyowati yang biasa kita panggil Bu Puji. Bu Puji merupakan salah satu guru yang paling ditakuti siswa karena ketegasannya. Apabila ada yang melanggar peraturan, beliau tidak segan akan memarahinya atau bahkan menghukumnya. Maka dari itu kita sangat takut apabila melanggar aturan saat mata pelajaran beliau.
30 menit telah berlalu, tetapi Bu Puji belum datang juga. “Wul, gimana nih sudah jam segini tapi Bu Puji kok belum datang” kataku. “Iya ya, kita tunggu saja 10 menit lagi siapa tahu beliau datang” kata Wuwul. Setelah 10 menit Bu Puji masih belum datang juga. “Nis, Bu Puji ada tidak sih kok jam segini belum datang?” tanyaku kepada Nisa sang ketua kelas. “Wah aku tidak tau, biasanya Bu Puji tidak pernah terlambat kan? Kemungkina besar beliau tidak masuk” kata Nisa. “Wul kata Nisa kemungkinan besar Bu Puji tidak masuk soalnya tidak biasanya kan jam segini beliau belum datang” kataku. “Kalau dipikir pikir iya juga sih, secara ini kan sudah siang banget. sepertinya beliau memang tidak masuk. Kalau begitu kita sholat saja sekarang” ajak Wuwul. “Tapi kalau tiba tiba Bu Puji datang gimana?” kataku. “Sudahlah kita sholat saja, semoga tidak apa apa” kata Wuwul. “Oke deh” jawabku.
Setelah 20 menit kemudian aku dan Wuwul telah selesai sholat. Kami berjalan menuju kelas sambil berbincang bincang. Setelah sampai di depan kelas kami pun bingung. “Eh Wul kelasnya sepi, jangan jangan di dalam ada Bu Puji” kataku. “Iya nih, gimana dong aku takut juga kalau masuk kelas. Gimana kalau kita bolos saja?” tanya Wuwul. “Boleh juga sih, tapi kalau kita bolos hukumannya bakalan berat” kataku. “Iya ya kemarin waktu Dony bolos dan ketahuan Bu Puji dia disuruh berdiri di lapangan selama 2 jam. Capeknya sih nggak seberapa, tapi malunya itu loh. Apalagi biasanya dilihatin anak anak yang lain” kata Wuwul. “Aduh gimana nih, maunya sih masuk kelas tapi takut banget dimarahin” kataku. “Oke, kita fikirkan dulu deh 5 menit” kata Wuwul. Selama 5 menit aku terus berfikir masuk kelas atau bolos. Kalau aku masuk pasti aku dimarahin habis habisan sama Bu Puji tapi kalau aku bolos aku pasti akan dijemur dilapangan dalam keadaan panas dan pastinya menahan malu karena banyak guru dan siswa yang melihat. Dan akhirnya kuputuskan untuk masuk ke dalam kelas. “Wul, ayo kita masuk saja lagian ini kan juga salah kita, jadi kita juga harus mempertanggung jawabkannya” kataku.
Setelah sedikit mengintip ke dalam kelas terlihat teman teman yang sedang mempresentasikan tugas di depan kelas, dan salah satu dari mereka kebetulan melihat kami. “Hey, kalian tadi dicari Bu Puji. Darimana? Kenapa baru datang?” katanya dengan sedikit berbisik. Dan aku mengisyaratkan dengan gerakan badan bahwa aku tadi sholat. Terlihat dia sedang mengangguk kemudian dia berkata “Cepetan masuk, nanti keburu Bu Puji makin marah.” Aku dan Wuwul saling memandang dengan maksud meyakinkan diri kita sebelum memasuki kelas. Setelah aku mengangguk, kita pun memasuki kelas.
Dengan langkah lambat kita memasuki kelas. Bu Puji duduk di pojok kelas terlihat tengah memperhatikan presentasi. Setelah menaruh mukena di bangku, kita menghampiri Bu Puji berniat untuk meminta maaf atas keterlambatannya. Namun belum sampai salah satu dari kita berbicara, Bu Puji menyelat dengan berkata “Dari mana saja kalian, jam segini baru datang.” Kita pun menjawab “Kita tadi sholat Bu.” “Kenapa tidak izin dulu tadi sebelum sholat?” tanya Bu Puji kembali. “Kita tadi mau izin ke ibu tapi Bu Puji belum datang, kita tadi sudah menunggu juga tapi Bu Puji belum datang juga. Jadi kita langsung sholat tadi” kataku. Saat itu suasana kelas menjadi hening dan sedikit mencekam. Perhatian semua penghuni kelas tertuju kepada kami.
“Jangan mentang mentang kalian anggota kedisiplinan kalian jadi seenaknya keluar kelas saat jam pelajaran” ujar Bu Puji dengan lantang. Mendengar suara Bu Puji yang agak tinggi dari biasanya suasana kelas semakin hening dan saat kulihat anak anak sedang menunduk takut melihat kemarahan Bu Puji. Aku pun semakin menundukkan kepala karena takut dan terkejut. Ya, aku dan Wuwul adalah anggota kedisiplinan sekolah, yang dipercaya bisa mendisiplinkan teman teman yang melanggar dengan syarat kita harus disiplin terlebih dahulu. “Tidak Bu, saya tidak bermaksud seperti itu. Saya memang anggota kedisiplinan tapi saya benar benar tidak memiliki maksud seperti itu” kataku. “Yasudah kalian duduk sana” kata Bu Puji. “Saya minta maaf Bu telah melakukan kesalahan” kataku. “Iya Bu, saya juga minta maaf atas kesalahan saya” kata Wuwul. “Kita tidak akan mengulanginya lagi Bu” kata kami berdua.
“Yasudah kalian kembali ke tempat duduk kalian” kata Bu Puji dengan wajah yang sedikit masam. Kulihat ekspresi dari teman teman yang kelihatan iba kepada kami. Mereka terlihat mengeluarkan kata “sabar” meski tanpa suara. Kami pun hanya bisa mengangguk dan sedikit tersenyum untuk mengisyaratkan bahwa kami baik baik saja. Kami hanya bisa berjalan pasrah menuju meja kami masing masing. “Sudahlah tidak apa apa yang terpenting jangan diulangi lagi ya” kata teman sebangkuku Nanda. “Tapi Bu Puji tadi keliahatan sangat marah sekali, aku jadi takut” kataku. “Tapi tadi kamu kan juga sudah berusaha menunggu Bu Puji sebelum kamu sholat. Jadi tidak sepenuhnya ini salahmu” kata Nanda. Sepanjang pelajaran dia mencoba menenangkanku yang memang tampak gelisah dengan kejadian tersebut. Kulihat saat itu Wuwul juga tampak menyesal dengan apa yang telah kami lakukan.
Kita sangat menyesal dengan apa yang terjadi, seharusnya apabila keluar kelas kita harus meminta izin kepada guru terlebih dahulu baik itu Bu Puji atau bapak ibu guru yang lainnya. Kita harus menghormati guru, karena guru adalah orang tua kita saat di sekolah. Guru juga orang yang telah mendidik kita dari kita tidak bisa menjadi bisa. Aku berjanji aku tidak akan mengulanginya lagi, aku tidak akan mengecewakan bapak dan ibu guru lagi. Karena penyesalan memang datang terlambat.


BAYANGAN SEMU

Oleh : Tiara Ayu K. ( 29 )

Senja mulai menyapa. Suasana kedai kopi di pinggir jalan itu cukup ramai dengan berpasang-pasang mata yang bergerak naik turun menatap layar ponsel. Beberapa siswa berseragam putih biru terlihat sesekali menyeruput secangkir kopi pesanan mereka yang berjajar rapi di salah satu meja panjang di sudut ruangan. Asap rokok mengepul keluar dari bibir mereka dengan begitu lihainya, kemudian membumbung memenuhi ruangan.
 Dialah Arkan, satu di antara sekian siswa itu yang hanya berdiam diri dengan segelas es susu di hadapannya.
“Mana rokokmu, dasar payah!” ucap salah satu siswa dengan nada mencibir.
“Bukankah aku kemari hanya untuk membantumu mengerjakan tugas?” jawab Arkan ringan.
Kalimat sederhana Arkan tersebut lantas mengundang gelak tawa dari seluruh siswa di kedai kopi itu. Naufal, seorang siswa yang dikenal sebagai salah satu anggota pengurus OSIS kembali menyulut sebatang rokok dan menyodorkannya pada Arkan. Sembari tersenyum miring, ia berkata, “Jangan naif, Ar. Tidak perlu menahan diri seperti itu.”                         Arkan menggeleng pelan. “Tidakkah kalian semua berpikir bagaimana masa depan kalian jika saat ini saja sudah berbungkus-bungkus rokok yang kalian habiskan?” tuturnya.
“Oh, lihatlah. Arkan kita sudah menemukan bakat berdakwahnya.” Naufal terbahak, sementara beberapa siswa yang lain hanya memperhatikan. Tak juga berhenti, Naufal justru semakin terbahak setelah memperhatikan Arkan dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.   “Oh astaga, apa kau seperti ini karena larangan dari pacar barumu? Cih, kalau sudah rusak ya rusak saja, Ar.” cibirnya lagi.
Arkan menghela napas. Ia tidak menyangka teman-temannya sejak SD akan berubah secepat ini, terlebih perubahan itu adalah ke arah yang tidak baik. Arkan adalah seseorang yang peduli dan setia kawan. Namun, ia masih tau mana yang benar dan mana yang salah.
“Aku pulang.” putusnya. Arkan bangkit dari kursi panjang yang tadi didudukinya dan mulai melangkah santai. Spontan saja hal itu membuat teman-temannya menatap tidak percaya.
“Seorang pengurus OSIS, mencatat berbagai pelanggaran yang dilakukan siswa adalah tugasmu, bukan? Tetapi itu semua hanya sebuah pencitraan.” ucap Arkan tanpa membalikkan badannya ke belakang. Tentu saja perkataan itu sangat menyinggung Naufal, sehingga ia melemparkan putung rokok yang masih menyala hingga tersangkut di bagian belakang kepala Arkan. Namun, Arkan benar-benar tidak peduli. Ia hanya mengambil putung rokok tersebut dan kembali melangkah keluar dari kedai kopi itu.
            Bersamaan dengan itu, segerombol pengurus OSIS yang kebetulan baru selesai bertugas berhamburan keluar dari gerbang sekolah. Mereka melihat Arkan, tentu saja dengan sebuah putung rokok di tangannya. Arkan tahu apa yang akan ia dengar, sungguh-sungguh tahu.                                                                    
“Kegiatan harian ya, hm?” Dana, Si Ketua OSIS tersenyum meledek.
“Apa maksudmu?” tanya Arkan dengan nada datar.
Salah seorang pengurus OSIS lain menyahut, “Seorang siswa SMP berseragam lengkap baru saja keluar dari kedai kopi dengan putung rokok di tangannya. Menurutmu, apa yang ada di pikiran kami?”
Arkan tertawa sekilas. “Aku tidak merasakan sebatang rokok, bahkan tidak seteguk kopi sekalipun.”
“Tidak perlu mengelak, Arkan. Kami pengurus OSIS sudah hafal bahwa kelompok kalian adalah kelompok pembolos, pelanggar peraturan, dan pengacau. Masihkah kau mempunyai muka untuk membela diri?” ucap Dana seakan mengintimidasi. Namun, lagi-lagi Arkan hanya tersenyum.
“Memang, setangkai mawar yang hidup di dalam kawanan bunga bangkai akan dianggap sama saja seperti mereka. Sehingga begitupun sebaliknya, sebuah bunga bangkai yang terselip rapi di kawanan mawar akan tersamarkan.” ujar Arkan, kemudian ia melangkah pergi meninggalkan para pengurus OSIS yang terdiam mencerna ucapannya.
            Beberapa saat kemudian, keluarlah segerombolan siswa yang telah menghabiskan hampir separuh harinya di kedai kopi tersebut. Beragam ekspresi menghiasi wajah-wajah siswa SMP yang tertangkap basah itu. Secepatnya, Dana mengambil foto siswa-siswa tersebut sebagai bukti untuk menindaklanjuti perbuatan mereka. Namun, betapa terkejutnya mereka semua saat mendapati seorang Naufal yang merupakan bagian dari mereka sedang menghisap rokok dengan mata kemerahan yang hampir terpejam. Detik itu juga, Dana dan pengurus OSIS yang lain dapat menangkap makna dari kalimat Arkan, sang bayangan semu dari teman sepergaulannya.



Persahabatan bagaikan tali

Oleh : Toafan S.M ( 30 )

Pada suatu hari sabtu di tempat les, kami berempat(aku, ikhsan, fani, dan ryan) berencana bersepeda santai ke masjid agung surabaya. Kami ingin sekali menyegarkan pikiriran sejenak dari aktivitas sekolah yang sangat sibuk. Alasan kami memilih masjid agung ialah karena hawa yang sejuk dan santai serta banyak pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya dengan harga yang murah.
Hari itu pun dimulai, aku pun dijemput oleh kawan-kawanku. Namun, selepas dari rumahku, tiba-tiba ryan berubah pikiran. Ia ingin bersepeda ke taman bungkul. Tetapi, kami sedikit menyanggah pikirannya. Setelah agak lama berdebat, kami pun memutuskan mengalah dan mau untuk mengikuti permintaan ryan agar bersepeda ke taman bungkul. Namun, aku mempunyai firasat buruk yang akan terjadi kepadaku maupun teman-temanku, tetapi aku menghiraukannya. Akhirnya, kita pun berangkat mengayuh sepeda ke bungkul jam 06.00.
Kami bersepeda mulai dari driyorejo sampai taman bungkul. Kami mengayuh dengan penuh semangat dan canda tawa. Kami bersyukur bisa menghirup hawa-hawa segar sebelum UN dimulai. Di jalan kami juga bertemu dengan penggowes lainnya. Kami pun saling bertegur sapa. Rata-rata penggowes yang kami temui sudah berusia lanjut usia namun semangat mereka tak kan pernah lelah untuk menggowes.
Akhirnya, kami pun sampai di taman bungkul. Tujuan kami pertama ialah sarapan pagi. Kami sangat lapar dan lelah setelah mengayuh hampir sejauh 20 km. Kami pun memilih menu soto ayam lamongan dan teh anget sebagai menu sarapan kami pun segera melahap soto yang masih hangat. Setelah perut terisi, kami pun memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kawasan taman bungkul. Kami melihat banyak event di sana seperti senam bersama, musik jalanan, dan lain-lain. Setelah kami berjalan mengitari taman bungkul, akhirnya kami pun duduk disalah satu sudut taman bungkul. Memang, yang ku rasakan di sini ialah sejuk dan segar. Kami saling bercanda tawa agar pikiran kami rileks.
Jam pun sudah menunjuk pukul 10.00 wib. Kami pun mengambil sepeda di parkiran untuk kembali pulang. Namun apa yang terjadi, saat aku mengayuh sepedaku pertama kali rantainya langsung los. Aku pun berpikir sejenak "mungkin ini adalah firasat buruk ku tadi." Rantai pun sudah ku benarkan, namun setelah aku mengayuhnya lagi rantai nya los kembali. Akhirnya, kawan-kawanku memutuskan untuk mendorongku dari belakang sembari bersepeda. Aku sangat bersyukur memiliki mereka karena selalu ada diaat aku susah maupun senang.
Setelah bersepeda sekian lama, akhirnya kami menemukan sebuah bengkel sepeda di jambangan. Aku berharap sepeda ku bisa lebih baik setelah diservis. Kami pun menunggu agak lama hampir setengah jam. Akhirnya servis pun selesai, namun si pemilik bengkel mengatakan bahwa ada salah satu baut yang hilang dari rantai ku. Kami pun kembali menggowes sepeda untuk kembali pulang.
Namun di tengah-tengah perjalanan, rantai ku kembali los. Tidak berpikir panjang, kami pun menemukan sebuah tali di pinggir jalan. Mereka pun langsung mengikatkan tali pada setir sepeda ku dan menghubungkannya disalah satu sadel sepeda temanku. Kami pun bergantian menarik sepeda.
Sampai suatu saat dimana terik menyinari kami, akhirnya kami pun beruntung. Kami menjumpai warung mie ayam yang jaraknya agak dekat dari rumah ku. Itu pertanda bahwa kami sudah dekat dengan rumah. Namun, perut rasanya keroncongan, kami pun memutukan untuk makan siang di warung mie ayam tersebut sambil beristirahat sejenak. Mie ayam pun siap, kami segera melahapnya tanpa ampun. Setelah kenyang, kami melanjutkan perjalanan pulang dan menemukan sebuah masjid. Akhirnya, kami pun melaksanakan sholat dhuhur berjamaah. Setelah sholat, kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Dan tidak lupa, aku meminta maaf kepada kawan-kawanku karena sudah merepotkan tenaga dan waktunya hanya untuk membantuku. Akhirnya, aku tiba di rumah pukul 13.30 wib.
Perjalanan ini tidak akan terlupakan dalam hidupku. Persahabatan memang bagaikan tali, jika ada salah satu yang tidak bisa bergerak, tali pun dapat menariknya. Itu juga seperti teman-temanku yang dapat menarikku dimana aku tidak bisa bergerak. Percayalah, sahabat memang selalu ada baik disaat susah maupun senang.


BANGKIT DARI KETERPURUKAN

Oleh : Wildan T H ( 31 )

Pernahkah engkau kehilangan sosok seorang yang engkau cintai dalam kehidupan ini. Inilah yang aku rasakan dalam kehidupan ini. Kehidupan yang berisikan kekosongan dalam kasih sayang. Akan tetapi inilah skenario yang diberikan Sang Kuasa kepada hambanya. Tidak ada yang tahu dalam menjalankan kehidupan. Pasti ada sedikit rasa kecewa pada diriku sembari selalu memanjatkan do’a kepada Sang Ilahi agar selalu ada pelindung kepada sosok yang aku sayang di dunia ini.
Sosok itu adalah ibuku. Semasa kecilku hari-hari aku jalani bersamanya. Detik, menit, jam, hari, tahun terus berjalan bersamanya. Kasih sayang beliau tidak ada hentinya kapadaku. Beliau dengan susah payah mendidikku sampai saat ini. Yang penuh kejutan aku berikan kepadanya meskipun jauh di sana.
Sosok kasih sayang itu dapat aku rasakan beberapa tahun ke belakang. Semasa beliau masih hidup, banyak kenangan yang aku dapatkan dari beliau, nilai-nilai kehidupan mulai aku dapatkan perlahan-lahan dari ajaran beliau. Beliau adalah sosok yang sangat sabar, terlihat saat beliau mendidikku, karena dulu aku pernah merasakan masa-masa yang kurang baik. Karena dulu aku pernah merasakan menjadi anak yang dalam kategori nakal semasa aku kecil. Namun berkat didikkan beliaulah pada masa jenjang sekolah dasar, perlahan-lahan sifat tersebut mulai luntur dan hilang, bergantikan kesucian yang ada pada diriku.
Kehidupan mulai aku jalani dengan baik. Sampai aku mendapatkan kategori pelajar terbaik di sekolah. Namun kebahagiaan-kebahagiaan itu mulai hilang dan bahkan tidak ada pada diriku. Semasa ibuku mulai berbaring di atas kasur yang diberikan Tuhan untuk terakhir kalinya menikmati kehidupan di dunia. Kasur itu ada dalam kehidupan alam barzah yaitu liang lahat. Memang, ibuku telah diambil oleh Sang Kuasa untuk mendapatkan kebahagiaan yang berbeda.
Semasa hidupnya aku selalu mandampingi beliau sebelum meninggal. Tepatnya pagi hari setelah aku menikuti kegiatan LDKS (Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa) yang diadakan pihak sekolah. Pagi itu aku menyempatkan menengok ibu di sebuah rumah sakit di wilayah Sidoarjo yang tak asing bagi keluargaku. Saat itu rumah sakit tersebut tidak jauh jarak tempuhnya dari jenjang sekolah yang aku tempuh. Dengan senang aku bertemu beliau, karena tiga hari aku tidak bertemu beliau. Sesuap bubur aku berikan ke beliau sampai semangkuk bubur habis beliau makan. Aku sangat senang karena kesehatan ibuku mulai pulih dan membaik.
Fajar mulai melihatkan sosoknya dari tempat peristirahatannya. Aku pun bergegas meninggalkan beliau untuk mengemban tugasku sebagai seorang pelajar. Tak lupa aku mencium tangan beliau tanda kasih sayangku kepadanya. Dengan bersemangat akau menungangi sebuah kendaraan yang dibilang cukup baik bagiku, karena telah menemaniku semasa sekolah menegah pertama (SMP). Pelajaran-pelajaran di sekolah aku ikuti dengan baik. Canda tawa dari teman-temanku membuat rasa kawatirku kepada ibuku mulai hilang.
Suara yang ditunggu teman-temanku mulai berbunyi, jam mulai menunjukkan pukul tiga sore, tandanya waktu pulang telah tiba. Saat itu, hatiku mulai tidak tenang kembali, rasa was-wasku kepada ibuku mulai muncul kembali. Aku pun memutuskan menengok kembali ibuku. Sampai di halaman rumah sakit, sosok kakak dari ayahku menghampiriku. Beliau berkata “ Sabar yo le, ibu sak iki kritis “ logat beliau yang kental dengan bahasa jawa. Rasa khawatirku sejak aku di sekolah tadi memang benar. Kemudian beliau membawaku ke ruang ibuku dirawat. Langkah kaki mulai bergemetar, karena membayangkan kondisi ibuku saat ini. Aku sangat kaget, karena banyak peralatan kesehatan menempel ditubuh ibuku. Yang tadi pagi terlihat mengalami peningkatan kesehatan, namun bertolak belakang dengan kondisi saat ini.
Tim medis pun mulai bergerak, sembari aku mendampingi beliau. Do’a dan sholawat terus aku panjatkan kepada sang ilahi, semoga nasib baik menghampiri ibuku. Kurang lebih satu jam aku menemani ibuku bersama kakak dan ayahku. Mesin pendeteksi detak jantung mulai menunjukan penurunan kinerja jantung ibuku. Tepatnya pukul 16.13 ibuku menghembuskan nafas terakhir. Tangis mulai pecah dalam ruangan itu. Tak disangka secepat ini tuhan mengambil nyawa ibuku. Kakakku pun mulai menenangkanku dengan merangkul tubuhku, “ Sabar yo le, iki wes jalanne ibu, sabar le…..sabar….” kata kakakku.
Peralatan kesehatan pun mulai dilepas dari tubuh ibuku. Ambulan mulai melihatkan suaranya, ibuku pun dibawa ke rumah melalui kendaraan itu. Aku ingin mendampingi ibuku di ambulan, tetapi kakakku melarang. “ ndak usah le ben room ae sama mbah sing di dalam ambulan “ katanya. Aku pun mengikuti ambulan itu bersama kakakku mengendarai mobil milik ayah. Sanak saudara mulai banyak yang berdatangan ke rumahku. Banyak orang yang tidak menyangka bahwa secepat ini ibuku diambil sang kuasa. Karena menurut warga sekitar, ibuku adalah sosok yang baik. Para warga pun menyiapkan untuk melakukan perawatan jenazah ibuku mulai dari menyucikan sampai penguburan. Pukul 19.00 ibuku telah disemayamkan di tempat peristirahatan yang terakhir.
Aku masih belum bisa merelakan ibuku diambil sang kuasa. Sosok kakakkulah yang selalu membangkitkan semangatku dalam menjalani kehiduapan ini. Beliau selalu berkata
 “ inilah jalan tuhan yang diberikan ke ibu, tidak perlu sedih kan masih ada kakak sama ayah“. Beliau terus mengobarkan semangatnya agar aku tetap tegar dan tidak terus meratapi kesediahan akan meninggalnya ibuku. Cukup lama aku dalam kesedihan. Akan tetapi aku berpikir kembali jika aku terus seperti ini. Bagaimana dengan janjiku kepada ibuku jika aku terus bersemangat dalam menjalani lika-liku kehidupan  dunia ini.
Kehidupan tanpa ibu aku jalani setahun silam. Hari-hari kehidupanku berbeda dengan dulu. Jika dulu ada ibu, aku bisa menceritakan keluh kesahku dalam menempuh jenjang pendidikan. Beliau juga yang selalu menemaniku ketika aku belajar sampai larut malam. Peristiwa inilah yang aku rindukan sampai saat ini. Tak masalah jika tidak ada yang masak, membersihkan rumah, mencucui baju. Itu semua dapat aku atasi sendiri.
Selain kakakku yang selalu membangkitkan semangat, ada sosok lain yang juga membuatku tak henti dalam mengobarkan semangat. Sosok itu muncul ketika aku ditinggalkan ibuku. Dia yang sering memberikan dorongan kepadaku agar terus bersemangat. Dia juga yang mengingatkanku agar selalu tabah, jika aku dalam dualisme masalah yang sulit, dialah yang memecahkan masalah yang sulit itu. Dia adalah sosok cewek yang sangat baik. Dulu aku mengira jika dia sama saja halnya dengan teman-teman yang aku kenal. Tapi dia berbeda, berbeda dari yang lain. Sekalipun dia agak cuek, tapi dia sangatlah baik.
Aku tak meyangka jika aku dapat mengenal dia, karena aku terbilang orang yang kurang pergaulan. Kata “kurang pergaulan” ini selalu aku ingat selama-lamanya, karena dengan kata tersebut aku bisa lebih maju. Kata itu juga yang dulu ibu ucapkan kepadaku.
Entah beberapa lama aku dapat mengenal dia. Yang jelas aku harus bisa hidup lebih kedepan lagi dan merelakan apa yang sudah diberikan Tuhan kepadaku dan merai cita-cita setinggi-tingginya. “Aku harus bisa,…..harus bisa” ucapku dalam benak yang paling dalam.


Kartu ATM

Oleh : Yovan Febriawan ( 32 )

Ulangan adalah kata yang sedikit menjengkelkan bagi Nando. Karena dia merasa bahwa hal tersebut hanya membuat dia sengsara dan membuang buang waktu. Hari ini ada ulangan agama. Karena Nando lupa dan malas, ia tidak belajar kemarin malam. Nando berangkat sekolah dengan mengendarai sepeda, meskipun jarak rumah dan sekolah tidak terlalu jauh. Bel masuk telah menyambut Nando saat melangkahkan kakinya melalui gerbang sekolah. Tanpa ada pikiran hari ini ada ulangan, ia tak merasa tergesa gesa ataupun stres.
Berbeda dengan Doni,teman seangkatan Nando. Dia begitu rajin dan teliti akan apa yang ia kerjakan. Sehingga Doni selalu dimintai tolong oleh teman temannya termasuk Nando. Dia selalu diantar oleh ayahnya setiap hari, tetapi saat pulang ia bersama Nando. Mereka memasuki kelas dan pelajaran pertama dimulai. Pada saat sebelum pelajaran agama, Nando baru ingat bahwa hari ini ada ulangan agama. Jadi, ia bergegas untuk mengambil buku dan mempelajarinya.
Akan tetapi itu sudah terlambat, bel sudah bebunyi dan menandakan dimulainya pelajaran selanjutnya. Tiba tiba terdengar suara salam dari Pak Shoddiq dan beliau berkata “Sekarang pakai kartu ATM kalian!”, seraya berjalan jalan membagikan kertas ulangan. ATM itu singkatan dari Aku Tidak Menyontek. Untuk mendapat kartu itu kita harus mematuhi sebuah peraturan, yaitu tidak menyontek. Kartu ATM dipakai saat ulangan dan saat latihan. Tapi, Nando tidak mempunyai kartu ATM, karena dia tidak pintar dan malas belajar.
Akhirnya,ulangan pun dimulai. Nando mengerjakan soal-soal itu. Satu jam telah berlalu, tapi  nomor 23,29,36,40 dan 43, belum ia kerjakan karena terlalu sulit baginya. Dia mulai melihat ke arah samping untuk bertanya dan beharap agar mendapat contekan. Sayangnya ia memakai kartu ATM. Ia mulai melihat lagi ke arah lain. Akan tetapi mereka juga memakai kartu ATM. Pak Shoddiq tersenyum melihatku. Akhirnya, Nando pun bertanya ke Doni dengan mengancam kalau tidak menjawab, ia tidak akan boleh pulang denganku. Tapi, ia menunjukkan kartu ATMnya. Nando mulai merasa kesal. Akhirnya , Nando menjawab soal itu dengan asal-asal.
Bel berdering, ini saaatnya untuk mengakhiri ulangan dan pulang. Saat pulang, Nando pun langsung berlari ke parkiran sepeda,meninggalkan Doni di kelas. “Biarkan saja dia mencariku,siapa suruh ia tidak memberiku jawaban” kata Nando. Nando pun mulai menyalakan sepedanya.
Ia melihat Doni yang datang dengan muka pucat dan penuh dengan keringat. “Kamu kenapa tinggalin aku, Ndo?”, tanya Doni. “Siapa suruh tadi kamu begitu”, ucap Nando dengan suara sedikit kasar. “Ku minta maaf ndo,sebenarnya ku mau membantumu.
Tapi Pak Shoddiq melihat ke arahku” kata Doni.Nando menyesal karena malas belajar,ia tidak bisa mengerjakan ulangan dengan benar. “Seharusnya aku belajar dengan giat,agar mendapat nilai yang bagus. Dan setelah aku pikirkan Don,kamu harus membantuku agar mendapat kartu ATM itu. Mau membantuku tidak?” kata Nando.  “Baiklah, aku akan membantumu. Lebih enak juga kan kalau kita mengerjakannya dengan jujur dan dengan hasil usaha kita sendiri?” ucap Doni.  “Yah begitulah. Terima kasih ya Don,sudah membantuku. Ayo cepat naik,kita belajar bersama-sama di rumahku” kata Nando. “Ok ok” kata Doni sambil tersenyum. Sesampainya di rumah Nando, Doni mengajar dan memberitahu trik trik untuk belajar yang tidak membosankan dan mudah dipahami. Sehingga, Nando memiliki kemauan untuk selalu belajar meskipun tidak ada ulangan.


My Hobi Batminton

Oleh: Achmad diky muchafi

Nama saya Achmad diky muchafi biasa dipanggil diky. Saya mempunyai hobi berolahraga,olahraga yang saya sukai yaitu bermain batminton,olahraga itu terkadang membuat saya merasa senang dengan bermain batminton.saya belajar bermain batminton dari teman saya.saya ingin bermain batminton karena nasehat untuk menggeluti olahraga itu. Semenjak saya memulai untuk bermain batminton saya merasa senang sekali, bukan hanya saja bisa untuk bermain batminton, tetapi saya juga bisa berteman dengan orang yang juga senang dengan olahraga batminton.
Teman saya yang bernama surya maulana malik ibrahim dia sangat pintar bermain batminton. Kami tiap habis sholat isya selalu bermain di GOR (gedung olahraga) batminton di desa plaosan,kami selalu berlatih dan mengajak tanding kampung sebelah, kami selalu tidak bisa dikalahkan, anak kampung sebelah selalu bermusuhan dengan kami walupun mereka bermusuhan dengan kami,kami tetap berteman.dan saya ingin sekali ingin masuk club batminton saat itu dan akhirnya saya mempunyai club,club saya yang bernama PB.TUNAS SIKATAN.
Ketika hari pertandingan batminton, disana banyak sekali pemain batminton dari seluruh club di kabupaten sidoarjo.untuk pertama kali saya disebut untuk bermain batminton melawan club surya naga yaitu club yang mempunyai kualitas pemain yang bagus-bagus.saya merasa takut melawan dia karena kemampuan saya bermain batminton pada saat itu masih sangat rendah.saya bertanding kemudian kalah,tetapi skornya hanya beda tipis dan saya merasa kecewa karena sudah mengecewakan pelatih dan ayah saya tetapi kata ayah saya tidak apa-apanamnya aja perdana atau pertama kali mengikuti pertandingan,walaupun saya kalah tetapi saya tetap suka bermain batminton dan terus berlatih agar bisa menjadi lebih baik lagi.
Tetapi saat ini saya jarang mengikuti latihan lagi karena terganggu dengan jam sekolah,waktu saya sekolah beradu dengan jam latihan,tetapi meskipun sekarang saya hanya bisa duduk dan menyaksikan pertandingan batminton  di televisi saja, saya masih bersyukur karena telah diberikan kesempatan untuk merasakan bagaimana menjadi seorang atlet batminton.  
Inilah cerita singkat ku,sekian dari saya dan kurang lebihnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya,dan mudah-mudahan dari ceritaku ini dapat bermanfaat bagi orang yang membacanya.wassalamualaikum wr.wb 




Komentar