Kumpulan Cerpen (Part 4)


PETAK UMPET

Oleh : Natasya Eka Yuniar ( 20 )

Rintik hujan turun membasahi halaman rumahku sore itu. Sepersekian detik berikutnya, aroma petrikor dan secangkir teh yang kubawa tercampur menghasilkan aroma yang menyegarkan pikiranku yang penuh dengan kenangan masa lalu. Perlahan tetesan air itu semakin deras dan mulai merembes di atap teras rumah. Gemercik suara hujan terdengar tatkala tetesannya menyentuh tanah. Lama kelamaan tetesan yang jatuh itu berubah menjadi genangan air yang begitu disukai anak-anak kecil. Hujan semakin deras bersamaan dengan datangnya semilir angin yang menerpa rambutku. Dapat kupastikan aku akan tidur dengan ditemani suara katak lagi malam ini.                                                       Udara dingin semakin menusuk ke dalam tulang-tulangku. Untung saja secangkir teh hangat menemaniku sore ini. Tidak lama kemudian, dia datang. Menyapaku, lalu duduk bersamaku merasakan segarnya udara dan aroma petrikor dengan membawa segelas susu di tangannya. Kemudian, kulihat dia memejamkan mata dan menghela napas panjang. Sepersekian detik berikutnya, ia tersenyum. Dengan tampang heran, kutatap wajahnya yang tampak sumringah. Alisku bertaut dan dahiku berkerut menyaksikan tingkahnya yang menurutku sedikit aneh. Sesaat ketika dia membuka mata, sekelebat cahaya yang disusul dengan gemuruh halilintar terdengar keras menyambar telinga kami. Aku meringis menahan tawa melihatnya terkejut dengan datangnya suara halilintar tadi. Setelah itu langsung kutanya dia.

            “Lyn, kamu kenapa sih? Merem-melek gitu sambil senyam-senyum. Serem tau.”
            Dia menyesap segelas susunya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaanku.
            “Aku nggak apa-apa kok kak. Cuma tiba-tiba inget kejadian waktu aku kecil.” Shealyn menjawab sambil matanya menerawang ke atas.
            “Kejadian yang mana emangnya?”
            “Masa nggak inget sih kak. Insiden hilangnya Shealyn waktu main petak umpet ituloh.” Jawabnya sambil jarinya bergerak-gerak membentuk angka 1, berusaha mengingatkanku pada kejadian tak terduga itu.
            “Dih lebay banget sih kamu.”
            Adikku nyengir, lalu menyesap segelas susunya lagi. Aku jadi teringat kejadian itu, kejadian yang diceritakan adikku, Shealyn. Pikiranku melayang, mengingat-ingat betapa bahagianya masa kecil dulu. Kejadian masa lalu saat kami masih duduk di bangku sekolah dasar, saat kami masih senang bermain tanpa memikirkan tugas dan hal-hal kurang penting lainnya.

********
            Tahun 2008, tepatnya 9 tahun yang lalu. Saat itu matahari sudah hampir menghilang di telan kegelapan malam. Tapi aku, Shealyn dan keempat temanku masih dengan semangat yang membara, tidak ada takutnya bermain petak umpet di rumah kosong dekat komplek perumahan kami. Rumah itu masih setengah jadi, masih dalam proses pengecatan. Terdapat 6 bangunan rumah berjejer rapi di sebelahnya dengan sumur di depan rumah-rumah itu. Ada 2 kamar dan 1 kamar mandi di dalamnya. Aku ingat betul bahwa rumah itu berwarna kuning dan putih. Aku benci warna kuning. Tidak seperti spongebob yang sangat menyukai warna itu. Warna kuning selalu mengingatkanku pada kucingku yang pergi meninggalkan rumah setelah berhasil menghancurkan guci kesayangan mama.

            Ada 6 anak yang bermain petak umpet saat itu. Anak itu termasuk aku dan Shealyn, lalu Nathan, Kak Juna, Karen, dan Ilham.
            “Jess, yakin nih mau main? Udah mau maghrib juga.” Ilham bertanya padaku.
            “Nanggung ham, sekali puteran lagi deh. Abis itu kita pulang.”
            Ilham hanya mengangguk pasrah mendengar jawabanku. Kupikir dia sedikit takut.
            “Ayo kita hompimpa dulu, buat nentuin siapa yang jaga.” Kak Juna berseru dengan semangat.
            Kami semua mengangguk lalu melakukan hompimpa untuk menentukan siapa yang berjaga.
            “Hompimpa alaiyum gambreng!” seru kami semua serentak.
            “Weee Nathan nih yang jaga. Itungin sampe 10 ya Nath.” Kata Ilham heboh.
            Hanya tangan Nathan yang berbeda, jadi dia yang bertugas untuk berjaga selagi kami bersembunyi.
            “Iya-iya. Udah sana sembunyi. Aku itungin nih ya, 1..2..” Nathan membalas sambil menutup matanya dan mulai berhitung.
            Semuanya berlari mencari tempat untuk bersembunyi. Kak Juna di belakang sumur, Karen di balik pintu, Ilham di semak-semak, Shealyn juga sepertinya sudah menemukan tempat untuk bersembunyi. Tapi aku, masih berdiri di belakang Nathan dan menengok kesana kemari. Bingung mencari tempat yang pas. Terdengar hitungan angka Nathan sudah hampir mencapai angka kesepuluh, aku pun kalang kabut berlari dan bersembunyi di dapur, di bawah kolong wastafel, sambil berdoa semoga Nathan tidak berhasil menemukanku.
            “….10! Hmm dimana ya kalian? Jessy? Ham? Kak Jun? Ren? Lyn? Kalian dimana sih?” Nathan berteriak kencang sekali. Aku yakin pasti tetangga sebelah mendengar suaranya.
            “Hmmph..”  suara Ilham menahan tawa terdengar.
            “HAHAHAHAH Ilham ketahuan. Sini Ham kamu ketahuan nih.”
            Karena suara tawa Ilham akhirnya Nathan dapat menemukannya. Nathan terlihat sangat senang karena berhasil menemukan Ilham, sedangkan Ilham terlihat kesal karena mulutnya selalu tidak terkontrol.
            “Kenapa aku selalu kalah main ini sih. Nggak bakat sembunyi emang.” Ilham menggerutu.
            “Yaudah sih diem, udah takdir. Aku nyari yang lain dulu ya ehhh ini Karen ketahuan nih HAHAHA gampang banget.” Nathan berteriak heboh saat berhasil menemukan Karen yang bersembunyi di balik pintu. Dia tertawa keras melihat ekspresi Karen yang juga terlihat kesal dengannya.
            “Duh berisik kamu Nath, jangan teriak dong!” kata Karen sambil menutup telinga nya.
            Nathan hanya nyengir dan langsung mencari 3 anak yang tersisa. Hari sudah semakin gelap, sepertinya matahari sudah terbenam. Nathan sudah berhasil menemukan kak Juna. Hanya tersisa aku dan Shealyn yang masih bersembunyi. Tidak lama terdengar suara Nathan yang terus memanggil namaku. Duh, suaranya sangat nyaring untuk laki-laki. Berisik, batinku. Dia terus berteriak sampai akhirnya berhasil menemukanku. Tidak, lebih tepatnya aku yang menyerahkan diri. Nathan terlalu lama mencariku. Suara adzan maghrib sudah menggema, pasti mama sudah mencariku dan Shealyn.
            “Nath, Shealyn udah ketemu belom? Udah maghrib nih, mama pasti nyariin.” Tanyaku.
            “Belom Jess, bantuin nyari dong. Susah banget nyari adek kamu.” Nathan menjawab dengan tampang sedih. Dia sudah mencari Shealyn ke setiap sudut rumah tapi tetap tidak menemukannya.
            “Yaudah aku sama Karen nyari di kamar mandi ya. Kalian berpencar aja. Ayo Ren” 
            Aku pun langsung menuju kamar mandi di dekat dapur bersama Karen. Saat masuk ke dalam, kamar mandi itu  kosong. Gelap, dingin, tidak ada apapun disana. Hanya bak mandi kosong dan sebuah wc jongkok.
            “Disini kosong jess, kita cari di tempat lain aja yuk.”
            “Iya deh, ayo.” 
            Kami mencari ke dapur namun hasilnya tetap sama, Shealyn tidak ada disana. Aku panik. Sedari tadi aku memang tidak melihat Shealyn sama sekali. Aku melihat ketiga temanku bersembunyi, tapi aku tidak melihat Shealyn. Putus asa, akhirnya aku dan Karen kembali ke teras dan menanyakan hasil pencarian dari kak Juna, Ilham dan Nathan.
            Ternyata di teras sudah ada mama, ayah, dan beberapa tetangga yang sedari tadi mencari kami. Mama langsung menatapku tajam tapi tidak lama kemudian memelukku. Dari dalam pelukan mama, aku melihat ayah menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecil melihatku.
            “Kamu kalo main, bilang dulu sama mama atau sama ayah. Biar mama nggak nyariin gini. Mama pikir kamu hilang Jess.” mama menasihatiku sambil memegang kedua pipiku. Aku membalasnya dengan anggukan dan senyuman manis.
            “Adik kamu mana Jess? Kok nggak sama kamu?” ayah bertanya.
            Aku tidak menjawab pertanyaan ayah, mataku sibuk melihat ke dalam rumah. Berusaha mencari Shealyn. Lalu aku menatap kak Juna, dia hanya menggelengkan kepalanya. Ilham dan Nathan juga sama. Aku menghela napas panjang lalu melihat ayah yang mengerutkan alisnya sambil terus menatapku.
            “Jesselyn? Kok diem aja sih, nggak jawab pertanyaan ayah?” ayah bertanya lagi.
            “Anu yah, apa.. hmm itu adek lagi di-“ 
            “Shealyn hilang om. Tadi sembunyi tapi sampai sekarang belum ketemu.” Dengan polosnya Karen memotong ucapanku dan membocorkannya.
            “Apa??! Kok bisa hilang sih. Aduh kamu jagain yang bener dong adek kamu tuh. Gimana ini yah? Udah maghrib gini, nyarinya pasti susah.” Senyum di wajah mama berubah menjadi guratan gelisah. 
            Mama panik bukan main, sambil menggucang bahu ayah, mama hampir menangis. Aku menundukkan kepala, kaki ku terasa lemas. Merasa sangat bersalah karena tidak bisa menjaga Shealyn dengan benar. Langit yang gelap mulai memberi suara gaduh. Air mataku terjatuh bertepatan pada saat awan menitikkan hujan. Pikiranku kalang kabut. Bagaimana bisa aku ceroboh dan meninggalkan adikku sendirian yang entah dimana keberadaannya di waktu hujan begini?
            Lalu, ayah menyuruh kami semua untuk mencari Shealyn lagi. Aku mencari di bagian depan rumah sedangkan kak Juna, Ilham dan Nathan mencari di dalam rumah. Aku melihat ayah sangat panik mencari Shealyn, bahkan ayah sampai masuk ke dalam sumur untuk memastikan apakah Shealyn ada disana. Untung nya sumur itu belum digali terlalu dalam.
            Sekitar 10 menit mencari, tiba-tiba Ilham berteriak dari dalam rumah. Asal suaranya dari kamar mandi. Kami yang berada di luar rumah pun langsung menuju ke dalam. Ternyata Ilham menemukan Shealyn. Tapi anehnya, Ilham menemukan Shealyn di kamar mandi yang sama dengan kamar mandi yang kulihat tadi bersama Karen. Aku menganga tidak percaya. Bahkan, Shealyn mengaku bahwa dia tidak melihatku dan Karen masuk ke kamar mandi itu tadi. Padahal jelas-jelas aku memeriksa kamar mandi itu berdua bersama Karen. Wajah Shealyn pucat sekali. Dia terus saja menengok ke atap dan menggigit bibir bawahnya. Sepertinya, Nathan juga menyadarinya. Dia berbisik padaku dan bilang bahwa kita sebaiknya pergi dari sini. Aku setuju dan akhirnya kami semua pun memutuskan untuk cepat pulang ke rumah masing-masing.
            Sesampainya di rumah, aku masih terus memikirkannya. Kejadian tadi masih terasa janggal di pikiranku. Bagaimana bisa aku dan Karen tidak menemukan Shealyn di kamar mandi itu? Apa Shealyn diam-diam berpindah tempat? Tapi Shealyn mengaku telah bersembunyi di kamar mandi sejak awal. Mama dan ayah memutuskan untuk tidak memikirkannya setelah menasihatiku dan Shealyn satu jam yang lalu. Tidak ada yang tau apa yang sebenarnya terjadi. Semua masih menjadi misteri sampai saat ini.

*******
            “Kak? kak Jessy? Kak Jesselyn??” lamunanku terhenti saat Shealyn memangggilku.

            “Kakak kenapa sih dari tadi ngelamun? Mikir jorok ya?”
            “Apaan sih lyn. Mikir jorok apaan coba.” Aku protes, tidak terima dengan tuduhannya.
            “Yee becanda doang aku kak. Jangan baper gitu dong.”
            “Hmm.” Malas menanggapi ocehan Shealyn, aku pun menyesap teh ku yang sudah dingin sambil memandang tanah yang  tergenang air.
            “Kak Jess, kita masuk aja yuk. Disini dingin banget.” Shealyn berbicara sambil tangannya memeluk tubuhnya sendiri. Aku mengangguk dan masuk ke dalam rumah disusul oleh Shealyn di belakangku. 
            Setelah dipikir-pikir, aku pun sadar bahwa tidak baik bermain pada saat hari sudah menjelang senja. Seharusnya kami pulang lebih awal saat itu. Syukur tidak terjadi hal buruk pada Shealyn. Biarlah ini menjadi salah satu dari ribuan kisah hidup yang akan kulewati nanti. Biarlah ini menjadi kenangan dan suatu pembelajaran hidup bahwa kita sebagai sesama manusia harus saling menjaga satu sama lain.




ANA UHIBBUKA FILLAH

Oleh : Novi Awalia R. ( 21 )

“Khumairoh, sudah siap atau belum?  Cepat turun, kita sarapan bersama” panggil bunda.
“Iya Bun, Khumairoh sudah siap kok” jawabku.
Iya, aku adalah Khumairoh, seorang gadis sederhana yang masih duduk di bangku SMA semester pertama. Hari ini, tepatnya hari pertama aku mengikuti UAS. Semua sudah kupersiapakan dengan matang khusunya belajar dan tentunya berdo’a. Seperti biasa, aku berangkat ke sekolah bersama ayahku. Tak lupa, sebelum berangkat aku meminta izin kepada bundaku dan meminta do’anya agar semua berjalan lancar.           
Setibanya di sekolah, ternyata sebagian besar temanku sudah berada di ruang ulangan dan ada juga beberapa kakak kelas yang sedang sibuk belajar. Aku mencari bangkuku, sembari memastikan antara nomor yang tertempel di bangku dengan nomor yang terdapat pada kartu ulangan milikku. Aku pun menemukannya, masih kosong, rupanya kakak kelas yang duduk bersamaku belum datang. Kuputuskan untuk membuka buku, sekedar untuk menajamkan memoriku tentang apa yang telah kupelajari tadi malam.
5 menit sebelum bel, kakak kelas yang duduk bersamaku datang. “Hmmm… Ternyata dia laki-laki, padahal aku berharap aku duduk bersama kakak kelas perempuan. Tapi ya sudahlah, lagipula hanya untuk satu minggu dan sepertinya dia kakak kelas yang ramah.” gumamku dalam hati.
Saat ulangan berjalan, tak ada obrolan di antara kita berdua, karena memang kita belum saling mengenal. Aku pun tak berani menoleh ke arahnya. Namun sesekali kakak yang berada di sampingku meminjam salah satu alat tulisku, walaupun begitu aku tetap tak berani menoleh ke arahnya. Satu hari telah kita lalui bersama, berjuang menghadapi ulangan, sampai akhirnya aku tahu namanya dan dia tahu namaku. Namanya adalah Ahmad Rizky Ramadan, aku memanggilnya Mas Rizky. “Seperti namanya, Mas Rizky adalah anak yang religius, sopan dan ramah. Walaupun dia tidak setampan Justin Bieber, tapi dia memiliki suara yang indah yang dapat memikat hati siapapun yang mendengarnya, apalagi jika dia sedang melantunkan ayat suci Al-qur’an ataupun bershalawat. Subhanallah, sangat indah, menyejukkan hati.” gumamku mengaguminya dalam hati. Aku bisa mendeskripsikannya seperti itu, karena memang di sela-sela ulangan aku mendengar suara lirih Mas Rizky sedang melantunkan ayat Al-qur’an ataupun bershalawat.
***
Saat makan malam bersama ayah dan bunda aku melamun, entah kenapa suara indah Mas Rizky masih terngiang-ngiang di telingaku, padahal baru tadi pagi aku mengenalnya. “Astaghfirullah, apa yang sedang kupikirkan ini?” gumamku dalam hati.
Bunda yang sedari tadi heran melihatku hanya diam, menyadarkan lamunanku.
“Khumairoh, lagi mikirin apa sih?” tanya bunda.
“Khumairoh mikirin ulangan tadi Bun” jawabku asal.
“Oh iya, gimana ulangannya?” sekarang ayah yang bertanya.
“Alhamdulillah lancer, Yah. Semua kan berkat do’a Ayah dan Bunda, jadinya lancar hehe…” jawabku.
“Alhamdulillah” jawab Bunda.
“Ayah, Bunda, Khumairoh ke kamar dulu ya, mau ngelanjutin belajar” ucapku sembari membereskan meja makan.
***
Hari demi hari kulalui bersama Mas Rizky , kujalani hari-hariku dengan ceria. Aku pun mulai merasa nyaman dengannya, karena dia adalah seseorang yang memiliki sifat hangat dan sangat bersahabat. Sembari menunggu waktu ulangan selesai, Mas Rizky biasanya berbagi cerita tentang dirinya kepadaku. Tak jarang dia juga bertanya tentangku, hanya sebagai obrolan basa-basi. Mas Rizky juga pernah cerita kalau dirinya ingin menjadi seorang ustadz. Biasanya, sepulang sekolah, Mas Rizky tidak langsung pulang, dia lebih suka tinggal di kelas untuk sekedar ngobrol tentang agama bersama kawannya, semacam berdakwah gitu, “Itung-itung sebagai latihan.” katanya.
Ulangan pun telah usai, selama sepekan bersama Mas Rizky, entah mengapa aku merasa kita berdua sudah menjadi sangat akrab, seperti sudah lama kenal. Setiap kali bertemu, kita saling sapa dengan senyuman, tapi anehnya setiap kali kita berbalas senyum, aku merasa seperti ada getaran. “Astaghfirullah, getaran apa ini? mungkinkah aku mengaguminya? Ya Allah tolong jaga hati hamba.” gumamku dalam hati. Aku berfikir bahwa mungkin hanya aku yang merasakannya, jadi kuputuskan untuk mengaguminya dalam diam, mengaguminya karena Allah swt.
Selain bertemu di sekolah, kita juga berkomunikasi lewat media sosial. Awalnya kita hanya berbagi tentang ilmu agama, tetapi lama kelamaan banyak materi obrolan yang menarik, dan sampai sekarang pun kita masih sering chat sekedar bertanya kabar atau bercanda, sembari mengisi waktu santai.
Di suatu sore, aku menceritakan tentang Mas Rizky kepada bunda. Namun, belum sampai aku bilang bahwa mungkin aku mengaguminya, bunda seperti sudah tahu makna tersirat dalam ceritaku, dan bunda pun langsung memberiku nasihat bahwa aku tidak boleh terlalu dekat dengan laki-laki yang bukan mahramku, karena Aku harus bisa menjaga hatiku hanya untuk jodohku kelak. Karena lambat laun akan ada sesuatu tak terduga yang mugkin terjadi antara seorang lelaki dan perempuan yang bukan mahram jika tidak ada batasan dalam hubungan di antara keduanya.
Ucapan Bunda beberapa waktu  yang lalu benar-benar terjadi. Aku tahu ternyata Mas Rizky juga memiliki perasaan yang sama denganku. Iya, ternyata kita saling mengagumi satu sama lain. Hingga pada suatu pagi, Mas Rizky mengungkapkan perasaannya kepadaku dengan mengatakan “Ana Uhibbuka Fillah". Aku kaget bukan main, aku tak tahu apa yang harus kulakukan, apakah aku harus senang atau malah takut, karena aku benar-benar tidak pernah menduganya. Sampai akhirnya aku hanya bisa mengatakan “Ahabbakalladzii Ahbabtaniilah.” karena ku tahu perasaan suci ini tidak seharusnya ternodai dengan sesuatu yang munkar. Aku hanya bisa menganggap Mas Rizky sebagai kakakku, karena memang aku tidak bisa memiliki hubungan lebih dengan seorang pria yang belum menjadi mahramku, walaupun aku menginginkannya.
(Ana Uhibbuka Fillah : aku mencintaimu karena Allah)
(Ahabbakalladzii Ahbabtaniilah : semoga Allah mencintaimu, karena telah mencintaiku)
Setelah kejadian itu, aku mulai membatasi hubunganku dengan Mas Rizky. Mungkin Mas Rizky sedikit kecewa dengan keputusanku, namun dia bisa menghormati keputusanku itu, tanpa harus mengakhiri ukhuwah yang telah terjalin di antara kita berdua. Karena aku tahu jika kita berdua memang ditakdirkan Allah bersama, suatu saat kita pasti bisa bertemu dalam jalan yang diridhoi Allah. Aku ingat kata-kata Bundaku bahwa bukan penampilan fisik atau harta yang dicari, tetapi akhlaklah yang menjadi pemikat hati. Saat kita mengagumi seseorang, cukup diri sendiri dan Allah saja yang tahu. Kita juga harus saling berbenah menjadi pribadi yang lebih baik, memantaskan diri untuk seseorang yang namanya telah tertulis berdampingan dengan nama kita di Lauhul Mahfudz yang kelak bersama-sama menuju surga Allah dalam jalan yang diridhoi-Nya.



Harapan

Oleh : Reza Alifiyah S ( 22 )

                 Dian. Cewek SMA yang biasa-biasa aja. Nggak terlalu menonjol di bidang akademik. Hari-harinya terasa hampa karena nggak ada satupun penghargaan yang Dian punya. Nggak seperti teman-teman sekelasnya yang tiap detik hidupnya diisi dengan tumpukan buku yang membosankan itu. Ya Dian tau, buku memang jendela dunia. Tapi sayangnya, nggak pernah terbesit di benaknya untuk menjadi seperti mereka.  Dian yakin itu bukan jalan untuknya. Hingga suatu hari, hidupnya berubah.
                 “Duh kamu ini. Fokus Dian! Dua minggu lagi kita ada lomba!” Seru Kak Mita kepada Dian yang dari tadi gerakannya salah. Dian hanya mengiyakan kakak kelasnya yang super bawel ini. Dian dan keenam temannya yaitu Asti, Bening, Wulan, Hana, Zulfa, dan  Winda memang sedang ngebut menghafal gerakan tari yang akan mereka bawakan untuk lomba. Lomba tahunan salah satu universitas swasta di kotanya.
                 Oh iya, lima bulan yang lalu, Dian melihat para penari gambyong menari untuk resepsi pernikahan sepupunya. Para penarinya yang cantik, anggun, dan gemulai. Dari sinilah muncul sebuah hasrat dalam dirinya untuk menjadi seperti mereka. Dengan yakin Dian memulai langkahnya. Kemudian, Dian akhirnya bergabung dengan ekstrakurikuler tari di sekolahnya.
                 Disinilah Dian sekarang, ruang seni yang tiap sore Dian sambangi untuk melakukan hobi barunya ini. Sebenarnya Dian nggak pernah nyangka kalau dia bakal dipilih menjadi salah satu anggota buat ikut lomba ini.
                 “Mungkin aku dipilih gara-gara kekurangan anggota kali ya? Aku ini kan masih baru, lagi pula aku ini belum bisa-bisa banget buat nari. Ah sudahlah, aku bakal kasih yang terbaik semampu aku. Samangat Dian!” Gumam Dian dalam hati.
                 “Jangan ngelsmun terus ih, biar pulangnya nggak kemaleman” Seru Zulfa.
                 “Udah sana kalian latihan duluan aja” Jawab Dian.
                 Setelah dua jam latihan, ternyata langit sudah mulai gelap. Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang. Latihan hari ini usai dan besok bisa dilanjut lagi. Dian dan teman-temannya bergegas meninggalkan ruangan yang konon katanya angker itu. Dian sendiri nggak bisa membayangkan kalau harus ada di sana menjelang malam begini. Membayangkannya saja membuat Dian ngeri.
                 Saat di rumah, tak lupa Dian untuk menghafalkan gerakan tari yang baru dapat setengah tarian ini. Jadwal PR yang padat bahkan nggak bisa mengurungkan niatnya untuk bersemangat. Ini adalah amanah. Amanah untuk membawa nama sekolahnya. Dian nggak mau menyiakan kesempatan yang nggak datang dua kali ini.
***
                 Ternyata malam berlalu begitu cepat. Fajar mulai terbit dari ufuk. Rasanya baru satu jam saja Dian tidur. Sekarang kakinya biasa merasakan sesuatu yang nggak biasa. Pegal. Akhirnya, Dian mememutuskan untuk minum secangkir teh coklat untuk memulai harinya.
                 “Baru juga bener-bener latihan sehari kok udah capek gini” Gerutunya.
                 Kring... kring... ponsel Dian berbunyi. Notifikasi pesan dari Kak Mita kalau hari ini Mbak Susi datang buat menemani latihan. Mbak Susi ini pelatih ekstrakurikuler tari. Mbak Susi sudah mengajar ekstrakurikuler tari di sekolah Dian sejak semester tiga kuliahnya dan sekarang Mbak Susi punya anak yang umurnya sudah empat tahun. Setia banget Mbak Susi ngajar di sini.
                 “Baiklah, hari ini pasti latihannya lebih keras. Semangat Dian!” Kata Dian menyemangati dirinya sendiri.
***
                 “Ayo mulai sekarang latihannya lebih serius  ya. Mbak Susi bakal ngajar kalian lebih keras lagi. Ingat lombanya sudah dekat dan kalian ini belum memperdalam tari yang sebenarnya. Mbak Susi sekarang mau lihat dulu kalian latihannya gimana” Kata Mbak Susi tegas.
                 “Ini mereka nari di depan Mbak Susi gitu? Tapi mereka baru dapet setengah tarian mbak” Kata Kak Mita kepada Mbak Susi.
                 “Oh masih setengah? Ya udah gini aja, kalian latihan sendiri aja dulu ya? Selesaikan dulu semua gerakannya. Mbak Susi mau booking kostum buat kalian lomba besok. Biar nggak terlalu mepet waktunya. Kostum disesuaikan dengan dana yang didapat dari sekolah” Jelas Mbak Susi.
                 “Iya mbak” Jawab Kak Mita.
                 “Hati-hati ya Mbak Susi” Tambah Hana menyaut.
***
                 Setelah beberapa hari, akhirnya Dian dan teman-temannya sudah selesai menghafal gerakan tarian yang akan dilombakan. Mbak Susi datang dan mengajari mereka bagaimana menari yang benar. Mulai dari pola lantai, pandangan mata, power, hingga bagaimana mereka tersenyum saat tampil menari. Dian sendiri yang biasa merasa gugup jika tampil di depan umum sangat terbantu dengan tips-tips yang diberikan oleh Mbak Susi.
                 Gerakan sudah hafal, pola lantai sudah dibentuk, pandangan mata mulai terlatih, nggak terasa kalau empat hari lagi mereka akan lomba. Hanya tinggal pemantapan serta melatih kekompakan tim.
                 “Untuk kostum, hari ini Mbak Susi ambil. Besok kalian bisa ambil kostumnya di pos satpam sekitar jam istirahat. Kostum boleh kalian kecilkan kalau misalkan terlalu besar buat badan kalian” Kata Mbak Susi
                 “Iya Mbak Susi” Jawab mereka bersamaan
                 Kemudian, Mbak Susi meninggalkan mereka. Dengan tetap bersemangat mereka hari ini latihan ditemani ketiga senior mereka, Kak Mita, Kak Manda, dan Kak Rinda. Akhirnya Kak Manda dan Kak Rinda ini muncul setelah sekian lama. Dari pada cuma ditemani Kak Mita saja. Gini kan lebih seru.
***
                 Perasaan baru kemarin Dian latihan. Hari ini udah hari-H saja. Tak lupa Dian meminta doa restu kepada kedua orang tuanya. Dian yakin dia bisa memberikan yang terbaik dalam lomba ini.
                 Dian dan teman-temannya tiba di sekolah pagi-pagi sekali. Mereka melakukan rias hingga memakai kostum di sekolah sebelum datang ke tempat lomba. Setelah berbagai persiapan selesai, mereka diantarkan oleh Pak Amar menggunakan mobil sekolah. Suatu kebanggaan tersendiri bisa menaiki mobil ini.
                 Saat sudah sampai di tempat lomba, semua senior sudah ada di sana. Ya, mereka yang menemani Dian dan kawan-kawannya untuk lomba ini. Kakak- kakak senior ini membantu mempersiapkan audio dan merekam saat Dian dan teman-temannya tampil nanti. Dian dan teman-temannya mendapat nomor urutan terakhir. Dian cukup merasa gugup. Dian menenangkan dirinya dengan dengan coklat yang ia bawa dari rumah.
                 “Baiklah ini dia nomor urut terakhir. SMA Bakti Nusantara” Suara pembawa acara mengumumkan.
                 Dian dan teman-temannya maju ke panggung. Sementara Kak Mita menyiapkan audio, Kak Rinda dan Kak Manda bersiap di depan panggung untuk merekam aksi tari mereka.
                 Suara musik sudah terdengar, tapi kenapa pelan sekali. Dian dan teman-temannya sampai tidak terdengar ketukan nada di mana mereka harus masuk panggung. Kemudian, musik diulangi lagi tapi Dian dan teman-temannya masih tidak bisa mendengarnya. Akhirnya, Kak Mita menyuruh mereka untuk tetap masuk walaupun musiknya kecil. Hingga baru sampai setengah lagu, musik baru bisa terdengar dengan nyaring.
                 Setelah selesai tampil, kini waktunya penjurian. Entah kenapa perasaan Dian tidak enak. Kak Mita sendiri wajahnya masih terlihat kesal karena kesalahan audio tadi yang bisa mempengaruhi penilaian terhadap aksi panggung adik-adiknya.
                 Waktunya pengumuman. Semua peserta yang ada jelas sekali sangat deg-degan.
                 “Untuk juara ketiga adalah” Suara itu mulai terdengar
                 “SMA Bakti Nusantara”
                 Hahhhh.. Tim Dian sangat terkejut. Mereka juara ketiga. Sangat jauh dari apa yang mereka harapkan. Terlihat jelas raut kekecewaan di wajah mereka. Antara sedih sekaligus malu. Malu karena sudah mengecewakan sekolah mereka. Bahkan mereka sudah nggak mau mendengar lagi untuk juara utama. Juara pertama harusnya menjadi milik mereka. Itu yang sangat mereka harapkan. Terlebih lagi sekolah mereka adalah pemenang dari lomba ini selama sembilan tahun berturut-turut. Jelas kecewa sekali. Para senior menangis dan  langsung kembali ke sekolah karena kekecewaannya. Tanpa memperdulikan adik-adiknya, mereka langsung pergi. Sementara Dian dan teman-temannya hanya bisa terdiam.
                 Seorang wanita datang menghampiri Dian dan teman-temannya. Rupanya beliau itu guru tari Asti sewaktu masih SD. Beliau berusaha menyemangati mereka. Dengan jujur beliau katakan kalau tarian yang kami bawakan itu memang kurang cocok untuk dilombakan. Selain itu, kostum yang kami gunakan bisa dikatakan tergolong jelek.
***
                 Setelah Dian dan teman-temannya kembali ke sekolah, Kak Rinda dan Kak Manda sudah ada di ruang seni. Duduk termenung di pojokan ruangan dan langsung menundukkan kepalanya ketika Dian dan kawan-kawannya masuk ke ke dalam. Makin perih perasaan Dian. Teman-temannya menangis sambil melepas kostum mereka. Dian hanya bisa meratapi nasibnya. Entah mengapa keberuntungan selalu nggak berpihak kepadanya.
                 Dalam hatinya, Dian hanya bisa terus meminta maaf. Maaf karena telah merusak predikat juara yang para seniornya bangun mati-matian. Maaf karena gagal membawa nama sekolahnya. Maaf karena belum bisa membanggakan orang tuanya.
                 Satu jam berlalu, akhirnya Kak Rinda mulai membuka suara. Berharap agar mereka dapat menjadikan peristiwa ini sebagai pengalaman yang berharga. Dengan adanya peristiwa ini, mereka tahu bahwa mempertahankan predikat juara tidaklah mudah. Satu yang harus mereka lakukan. Kembalikan predikat juara itu tahun depan.



Janji Empat Sekawan

Oleh : R. A. Kusuma ( 23 )

“Diiikaaa! Main yuukk!” teriak mereka bertiga bersahutan di depan rumahku.
Seperti tak peduli saat itu ujian nasional tinggal menghitung hari, dan aku masih harus belajar. Mereka malah datang ke rumahku, tentu saja secara dadakan. Saat aku keluar, mereka datang dengan 2 sepeda butut khasnya sambil membawa bola plastik abu-abu yang baru dibeli dari toko kelontong om Rudi. Sore itu Ahmad, Rizal, dan Awan mencoba membujukku untuk ikut bermain sepak bola di lapangan desa sebelah.
            Saat itu cuaca sedang mendung, aku yang notabenenya memiliki gen anak rumahan sebenarnya enggan untuk ikut ajakan mereka.
“lain kali aja ya, ngantuk nih” kataku.
“yah, padahal kurang satu pemain lagi loh, Ka.” Rizal masih memohon.
Iyo Ka, awakmu maju wes aku ae sing kiper.” Ahmad tak kalah semangat membujukku dengan logat jawa yang khas.
Perlahan tapi pasti rayuan dan kata-kata mereka mulai membujukku. Toh, apa salahnya bermain sebentar untuk refreshing pikirku.
“Iya deh, aku ikut” jawabku menyerah
“Siip, aku bonceng, Ka.” Awan berusul
“Oke”
Setelah aku berpamitan, Akhirnya kami berempat pun berangkat dengan menaiki 2 sepeda butut kepunyaan Rizal dan Awan yang telah dimodif mirip motor gede, “Biar keren lah, Ka.” Itu jawaban mereka dulu waktu kutanya, yah namanya juga ABG. Sesampai di lapangan, ternyata sudah ada sekitar 6 anak yang menunggu kami. Salah satu dari mereka ialah kawan kami yang bernama Ian, sementara yang lain adalah  anak-anak dari desa sebelah.
“Siap di mulai nih pertandingannya?” Tanya Awan sambil memarkir sepedanya.
“Siap Wan” jawab lawan kami.
Setelah kedua kapten berunding beberapa saat, pertandingan pun dimulai. Diawal pertandingan, kami mencoba bermain sabar mencari celah dari pertahanan tim lawan. Umpan satu dua dan umpan silang sering kami padukan untuk mengobrak-abrik pertahanan mereka. Namun, cara bertahan yang disiplin dari tim lawan, membuat kami cukup kesulitan untuk menciptakan sebuah peluang. Hingga satu momen datang
“Umpan, Ka!” Teriak Awan dari sebelah kananku.
Tanpa pikir panjang kusodorkan bola itu padanya dan ... “GOOOOOL!!” Tim kami memimpin 1-0 lewat gol yang dicetak Awan. Tim lawan yang kecolongan lebih dulu, perlahan mulai bangkit. Mereka mencoba menyerang melalui sisi kanan dan kiri gawang kami. Aku dan Ian yang menjadi bek pun cukup kewalahan dan sering mereka lewati. Untung saja Ahmad yang menjadi kiper (sesuai janjinya), bermain cukup baik saat itu. Sehingga, terkadang tendangan dari lawan berhasil ditangkis bahkan ditangkap olehnya.
            Di tengah pertandingan yang berlangsung, hujan tiba-tiba turun. Lapangan yang awalnya kering akhirnya mulai tergenang air di beberapa tempat. Hal itu membuat alur bola agak tersendat sehingga semakin sulit bagi kedua tim untuk membuat peluang. Tim lawan yang masih tertinggal akhirnya mencoba bermain umpan jarak jauh agar laju bola lebih baik. Hal itu membuat timku semakin kuwalahan, karena pemain lawan banyak yang lebih tinggi dari kami, sehingga mereka lebih unggul dalam bola atas. Beberapa menit kemudian, hal yang kami khawatirkan terjadi. Dalam jangka waktu 5 menit, Lawan kami berhasil menyarangkan 2 gol. Skor pun berbalik 1-2 untuk mereka. Sayang sekali.
            Setelah 20 menit tim kami dan tim lawan saling jual beli serangan. Hujan yang bertambah deras dan badan kami yang mulai menggigil kedinginan membuat pertandingan sore itu harus kami akhiri, dengan hasil akhir 1-2. Cukup mengecewakan juga dikalahkan oleh mereka, tapi mau bagaimana lagi kami toh tadi sudah berusaha juga. Kami berempat (tanpa Ian) pun langsung berpamitan untuk pulang. Ian memang sengaja tidak pulang bersama kami, alasannya sih masih pengen main lagi.
 Di perjalanan pulang, hujan ternyata masih belum mau berhenti. Karena jarak yang akan kami tempuh masih cukup jauh, Rizal pun menyarankan kami agar berteduh di sebuah sekolah dasar terlebih dahulu. Bangunan sekolahnya mungkin agak kecil, tapi cukup untuk kami berempat berteduh. Sambil mencoba mengeringkan pakaian sendiri-sendiri, Awan tiba-tiba berceletuk
“Rek, kalian sudah siap buat UN besok?” kami bertiga mengangguk.
 “Kira-kira sulit nggak ya?” tanyanya.
“Mudah kok, Wan. Asal ada bekal belajar mah, UN sama aja kayak UTS atau UAS.” Jawabku.
Awan hanya tersenyum mendengar jawabanku, lalu ia duduk disamping Ahmad yang masih diam (kedinginan). Kemudian, untuk beberapa menit kami seperti larut dalam derasnya hujan yang terjun dari langit sore itu.
“Kamu mau ngelanjutin sekolah kemana habis ini, Wan?” Aku mencoba membuka percakapan.
“Ke Jombang mungkin, sama si Ahmad.” Jawab Awan.
“ Wah, kok bakal pencar ya? Aku sendiri pengennya bakal ke Surabaya.” Rizal yang duduk disampingku pun ikut bercerita.
“Cuma aku sendiri berarti yang masih di sini.” Kataku sambil ketawa getir
Loh, gak kepingin lanjut mbek Rizal neng Suroboyo ta, Ka?” tanya Ahmad.
“Enggak Mad, terlalu jauh.”
“Tapi begini rek, aku sih pengennya kita jangan sampai lupa teman lama waktu di sekolah baru nanti.” Kata Awan.
Kami bertiga menatapnya, bingung apa maksud Awan.
“Contohnya Rizal nanti bakalan sekolah di Surabaya, ya sebulan sekali minimal balik kesini sekalilah biar bisa kumpul bareng.”.
“Kamu sama Ahmad sendiri gimana, Wan?” tanyaku.
“Kami mah gampang orangnya, setiap hari disuruh kesini mah mau aja. Iya nggak, Mad?”.
“Betul betul betul”.
“Hahaha, mirip kang ojek online berarti.” Ejek Rizal.
“Salah salah salah” Ahmad menjawab, Kami berempat pun ketawa.
Saat seru-serunya kami bercanda tiba-tiba ada bunyi Kriiuuk... Yah perut kami berempat yang masih kosong sebelum main bola sepertinya mulai meminta haknya kepada kami.
Wkwkwk, dorong mangan kabeh ta iki?” tanya Ahmad.
 Otomatis aku, Rizal, dan Awan menggeleng malu
Saknone rek, mumpung mulai terang ayo nang omahku ae.Engkok tak tukokno bakso.” Ajak Ahmad
“Berangkat wes Mad” Jawab kami bertiga serempak. Lumayan kan dapat rejeki nomplok.
Selepas kejadian sore itu, saat belajar aku sering berpikir hujan di sore itu mungkin menjadi saksi bisu kebersamaan kami berempat yang kedepannya bakal berpisah menuju takdir masing-masing. Apa yang Awan bilang waktu di sekolah tua itu mungkin sebuah hal yang mudah diucapkan, “Jangan sampai lupa teman lama.” Hanya itu pesan yang ingin dia ucapkan.
Kalau dipikirakan lagi jika tidak ada ikatan yang kuat dan komitmen dari seorang sahabat. Mungkin pesan itu memang ada dan tersimpan di hati mereka, tapi lama-lama pesan bisa berdebu dan tersapu keluar dari hati mereka.          
Hujan di sore itu mungkin menjadi saksi bisu kebersamaan kami berempat yang mungkin tanpa sadar telah menyanggupi pesan yang di sampaikan Awan, “Jangan sampai lupa teman lama.” Kami berempat mungkin telah mengikrarkan janji yang harus kami tepati di masa mendatang.
 Janji yang harus ditepati seorang kawan terhadap kawan lamanya. Janji yang tanpa sadar kami ucapkan di sore itu mungkin telah tercatat rapi dalam hati berempat, “Janji Empat Sekawan.” Sebuah janji yang akan sabar menagih dan  membuktikan setia kawan kami berempat saat takdir telah berkehendak.




Susah Mencari Teman yang Tulus

Oleh : Rifdah N. N. ( 24 )

                Aku Nada,aku adalah seorang remaja SMA seperti pada umumnya. Disini,dalam kertas ini aku akan berbagi sedikit cerita mengenai pengalaman hidup ku sampai SMA ini. Sebenarnya bisa dibilang aku adalah anak yang cukup introvert disbanding anak yang lain. Sejak TK aku adalah anak yang sangat penakut dan pemalu, bahkan aku tidak memiliki banyak teman seperti anak pada umumnya. Bisa dibilang aku anak yang cukup berprestasi karena sejak TK saya banyak mendapat penghargaan, tapi sayangnya aku tak ahli dalam mencari teman. Aku berfikir ini wajar karena waktu itu aku masih kecil, tapi ternyata tidak. Sikapku yang aneh ini terbawa sampai SD, SMP, bahkan SMA. Ditambah lagi aku banyak mengalami hal-hal buruk mengenai teman.
            Pengalaman burukku diawali saat aku berada di bangku SD. Karena aku terlalu pendiam, penakut, introvert, kurang bergaul, dan lebih suka menyendiri sampai aku kelas 4 SD pun aku tak hafal sebagian besar nama teman sekelas. Saat kelas 5 SD aku mulai mempunyai banyak teman, namun sejak saat itu pula pengalaman burukku dimulai. Aku sering dijadikan bahan olokan,bahan cacian,bahkan perlakuan fisik temanku mulai berani melakukanya. Mereka memanggilku “tupek” karena aku sering terhanyut imajinasi dan pemikiranku dan dengan tidak sengaja aku tidak mendengar ucapan mereka. Selain ucapan yang buruk, mereka juga membullyku secara fisik seperti menjambak jilbab yang aku kenakan sampai terlepas. Mungkin bagi mereka semua itu menyenangkan, tapi bagiku itu keterlaluan. Aku juga sering sekali didorong atau ditarik-tarik dengan keras agar menuruti apa yang mereka mau. Saya sudah berusaha menghindar namun semua usahaku sia-sia dan semakin lama semakin menjadi. Semua itu membuatku semakin tak bergairah untuk datang kesekolah karena rasa takutku yang semakin menjadi-jadi.
            Kisah burukku mengenai pertemanan berlanjut saat aku menginjak bangku SMP. Awalnya semua berjalan baik baik saja karena aku adalah murid pindahan pondok. Aku merasa tenang dan senang memiliki banyak teman. Tidak hanya itu,aku merasa lebih aman karena ibuku juga mengajar disekolah baruku itu. Di awal kelas 1 SMP aku merasa percaya diri dan bersyukur karena dikelilingi banyak teman,jujur itu pertama kali aku memiliki banyak sekali teman dalam satu kelas. Aku mulai mencatat berbagai prestasi mulai dari ranking kelas, ranking sekolah, lomba, dll. Selain prestasi, aku adalah anak yang banyak dikenal guru. Karena hal tersebut,yang mulanya aku berfikir bahwa semuanya baik-baik saja,perlahan-lahan temanku mulai mencaciku,menjatuhkanku,mengolok-olokku. Ada saja setiap hari kata yang mereka lontarkan untuk membullyku. Mereka memanggilku “dempul” karena kulitku yang lumayan putih. Banyak dari mereka yang membullyku secara terang-terangan seperti menulis di mejaku dan kursiku berbagai macam olokan, dan kata-kata kasar. Setiap harinya mereka mengeluarkan berbagai macam olokan, sindiran, dll. Mereka juga sengaja menjauhiku dan memojokkanku di kelas. Bahkan mereka bersekongkol untuk menjatuhkan prestasiku, mulai dari banyaknya jawabanku yang dicuri, dll. Beberapa teman yang aku anggap baik melakukan pun ternyata mengolok-olokku dibelakangku bersama yang lain. Dia membeberkan segala aib yang aku punya. Bahkan bully an mereka benar benar tak pernah didasari apapun dan selalu mencari-cari kesalahanku,hal itu membuktikan bahwa mereka benar-benar sangat iri dan dengki denganku. Dimasa SMP ini aku belajar banyak sekali hal dalam hidup. Aku belajar agar tidak mudah mempercayai orang. Aku belajar makna sabar. Aku belajar menemukan cara mendapatkan teman yang tulus. Aku belajar untuk menemukan jati diri dan kemandirian dalam diriku. Aku belajar memotivasi diri agar mereka yang mengolokku sadar bahwa mereka salah tentangku. Menandakan bahwa aku harus bangkit dari segala keterpurukan. Dan aku bersyukur karena dari banyaknya pengalaman ini membuatku bertemu beberapa orang yang sangat tulus aku sayangi. Dengan adanya pengalaman ini aku lebih siap untuk meghadapi masalah yang menerpaku, membuatku selangkah lebih maju. Dengan semua ini aku lebih mampu membaca mimik wajah seseorang yang benar tulus dengan seseorang yang hanya ingin tahu.
            Karena trauma yang cukup dalam, di masa SMA ini aku lebih berhati-hati dalam bergaul. Aku berusaha sebaik mungkin agar tidak terlalu dekat dengan seseorang yang mungkin saja bisa menghancurkanku. Beberapa orang mungkin akan heran denganku, disaat yang lain asik bercanda tawa dan akrab dengan sahabat mereka masing-masing, aku masih suka menyendiri dan hanya suka bergaul dengan sahabat yang itu-itu saja. Asal mereka tau bagiku betapa sulitnya aku mencari arti sahabat yang sesungguhnya. Karena setiap aku mendekati orang, jujur saja sering sekali aku membaca ekspresi dan gerak-gerik mereka yang membuatku benar-benar takut untuk terlalu dekat dengan seseorang. Setiap aku mencoba semakin dekat semakin akrab, hanya luka yang selalu aku dapat. Karena bagiku kualitas akan arti sahabat maupun teman lebih berharga dari sekedar kuantitas. Teman boleh banyak, tapi untuk mencari makna sahabat itu merupakan hal tersulit dalam hidupku yang pernah aku alami. Disaat kamu berusaha berbaik hati pada semua orang yang kamu temui namun sesuatu membuatmu tersadar bahwa kamu Cuma sekedar manusia biasa yang tidak ditugaskan untuk menuruti kemauan setiap orang dibumi. Setelah semua pengalaman pahit yang aku rasakan membuatku tersadar bahwa ini hidupku, hanya tuhan yang boleh mengaturku. Jangan berusaha membuktikan dirimu pada semua orang,karena yang membencimu tak akan pernah percaya akan hal itu, dan yang benar-benar tulus sayang padamu tak butuh akan hal itu.



Mendung

Karya Selvia Nuraini ( 25 )

Seorang gadis terduduk di atas tempat tidur di sebuah kamar yang sempit dan gelap, ia membasahi sebuah foto seorang wanita cantik dengan air matanya yang terus menetes. Gadis itu adalah Amanda, seorang gadis yang pintar dan selalu tampak ceria. Tetapi, sekarang dia tak terlihat sebagai gadis yang ceria, ia malah terlihat sangat sedih dan murung. Sepasang mata indah yang ia miliki bahkan tak terlihat, yang terlihat hanya lah mata sayu dan merah karena menangis terlalu lama, bahkan pipinya yang halus dan tirus kini basah karena air matanya.
Wanita cantik yang tersenyum di foto tersebut ialah ibunya. Wanita yang sangat Amanda sayangi, wanita yang selalu ada untuk Amanda. Tapi sekarang tidak lagi, wanita itu tidak lagi ada untuknya. Ia telah pergi meninggalkan Amanda dan ayahnya untuk selamanya. Ia telah pergi ke surga dan hidup bahagia di sana. Kanker rahim, penyakit ini lah yang menyebabkan ibunya meninggal dunia. Meski itu sudah terjadi 7 tahun yang lalu, tapi peristiwa ini sangat membekas di hati Amanda sampai saat ini.
Sekarang, Amanda memasukkan foto ibunya ke dalam buku tebal bersampul kulit berwarna merah. Kemudian, ia berusaha bangkit menuju meja di samping tempat tidurnya dan menarik sebuah kursi tinggi berbahan plastik dari dalam kolong meja dan duduk di atasnya. Lalu, ia mengambil sebuah pena. Ia membuka buku tebal itu, jari-jari tangannya yang lentik membuka halaman yang belum terkena goresan tinta penanya. ia berusaha mengingat kembali hari saat ibunya meninggal dunia. Kemudian ia teringat hal itu dengan cukup jelas.
***
Hari itu adalah hari yang sangat panas, dan di bawah sinar matahari yang sangat menyengat itu, seorang gadis kecil berambut sebahu, berwajah bulat dengan pipi tembam, dan berkulit coklat bersama teman-temannya menuju ke rumah masing-masing setelah dari sekolah. Gadis kecil itu adalah Amanda yang berumur 9 tahun. Mereka bercanda gurau bersama, tanpa ada beban di pundak mereka. Bahkan, Amanda  tak pernah mengira bahwa hari ini adalah hari yang mungkin sangat ia benci. Mereka semua terlihat bahagia, tak terkecuali Amanda.
Ketika Amanda sampai di rumahnya, rumah dengan halaman luas di depan maupun sampingnya, dengan halaman samping sebagai tempat bermain bagi Amanda dan teman-temannya ketika sore tiba, sedangkan di halaman depan terdapat pohon jambu merah dan pohon alpukat yang sering berbuah. Rumah yang cukup besar dan tinggi. Rumah tanpa ubin, namun rumahnya adalah rumah yang cukup bagus semasa itu.
Saat ia sampai di teras rumahnya, ia melihat suatu hal yang tidak biasa. Semua sofa dan meja yang terdapat di ruang tamu, malah berada di teras. Hal ini tak pernah terjadi sebelumnya. Ia kemudian bertanya kepada kakeknya, pria kurus  yang hampir berumur seabad dan beruban, kenapa hal tak biasa ini terjadi dan kakeknya menjawab bersamaan dengan tangannya yang keriput memegang bahu kecil Amanda “Sudahlah, itu tak penting bagimu, Amanda. Lebih baik kamu berganti baju dan bermainlah bersama temanmu,” ya itu terdengar sangat baik bagi Amanda, tak ada yang lebih baik daripada bermain sepulang sekolah. Setelah ia berganti baju, ia memakai kaos berwarna hitam dan celana pendek berwarna coklat. Ia tersenyum kepada kakeknya hingga giginya yang rusak terlihat jelas lalu berlari kecil  menuju rumah sebelah. Kakek hanya melihatnya dengan tatapan agak kosong, meski bibirnya mengguratkan senyum tipis, tapi senyuman itu terasa hampa. Sesuatu telah terjadi...
Di rumah sebelah, rumah yang tak terlalu berbeda dengan rumah Amanda, sama-sama tak memiliki ubin, tinggal sebuah keluarga yang baik hati. Keluarga ini lah yang selalu merawat Amanda semenjak ibunya sakit. Emak, begitulah Amanda memanggil tetangganya itu. Wanita yang sedikit lebih muda daripada ibunya, wanita yang memiliki rambut bergelombang. Tetapi, kali ini Amanda ke rumah itu hanya ingin bermain dengan Adil, anak laki-laki yang merupakan anak dari Emak. Memang, Adil tidak berumur sebaya dengan Amanda, ia hanya anak kecil yang bahkan baru masuk TK, tapi Amanda sudah menganggapnya sebagai teman baik. Mereka bermain sampai mereka merasa bosan dan lelah. Biasanya, Amanda tidur siang di rumah itu, tapi entah kenapa kali ini Amanda memutuskan untuk pulang dan tidur siang di rumahnya sendiri bersama kakek.
“Kakek, aku sudah mengantuk, maukah kakek menemani aku tidur?” tanya Amanda kepada kakeknya sambil mengucek matanya yang hampir tertutup oleh kelopak matanya, lalu kakek mengangguk dan segera mengantarnya ke tempat tidur. Tapi, Amanda merasa janggal lagi, kenapa di rumahnya ada banyak orang? Ada perempuan yang tidak Amanda kenal sedang mengaji di ruang tamu? Ada apa sebenarnya? Tapi dengan bodohnya, ia tak bertanya kepada kakek karena sudah terlalu mengantuk. Ah, biarkan mungkin ini suatu hal yang tidak penting baginya. Ya, Amanda tak tahu apa yang terjadi, asalkan dia bisa tidur, hal aneh itu tak akan ia pikirkan.
Kemudian ia tertidur pulas, hingga sebuah tangan dingin seseorang menyentuh kaki Amanda. Terasa sangat mengganggu hingga membuatnya langsung terbangun. “Ayah? Ayah sudah pulang? Bukankah ayah akan pulang nanti sore?” tanya Amanda keheranan. Memang ini aneh, seharusnya ayah Amanda pulang sore saat senja, tapi sekarang belum senja. Ya, matahari memang sudah berada di barat, tapi belum juga mulai tenggelam. Ayahnya, pria kurus tinggi berwajah lelah ini sudah di rumah. Wajahnya sangat lesu dan seperti tak pernah mengenal senyum, terlihat jelas bahwa ia sangat sedih. “Tidak apa-apa,” jawaban yang sangat singkat lalu ia menggendong Amanda. Mereka pergi keluar kamar menuju ruang tamu, yang pertama Amanda lihat adalah kejanggalan lain yang muncul lagi. Kenapa semakin banyak orang? Dan orang-orang itu melihat Amanda dengan pandangan kasihan, seolah-olah mereka melihat anak termalang di dunia.
Satu kalimat kebenaran yang sangat menyesakkan untuk didengar Amanda, satu kalimat yang membuat hati Amanda terasa ditusuk sebuah pedang tajam, dan satu kalimat yang tak ingin ia dengar selamanya. “Ibu sudah tiada,” kalimat pendek ini lah yang terlontar dari bibir ayahnya dan membuat Amanda diam sejenak untuk mencerna kalimat ini. Ia berharap bahwa ia salah mendengar ucapan ayahnya. Tapi, ia melihat sebuah tubuh yang tertutup selembar kain batik dan terbaring di sebuah bangku yang tersusun dari bilah-bilah bambu. Ayah mendekat ke tubuh itu, dan betapa terkejutnya Amanda saat ia melihat wajah pemilik tubuh itu.
Kenapa? Kenapa orang yang sudah tak bernyawa itu adalah orang yang Amanda kenal? Orang yang Amanda sayangi, kenapa? Air matanya menetes dari mata kecilnya dan ia meronta-ronta berusaha untuk memeluk ibunya, berharap ibunya hanya tertidur sementara dan akan terbangun saat mendengar suaranya. “Ibu? Ibu? Bangunlah, ini Amanda. Ibu? Kau mendengarku bukan? Ibu? Bangunlah kumohon.” Ia berusaha membangunkan ibunya, tapi tentu saja itu semua percuma. “Tenanglah sedikit Amanda, ibumu sudah pergi. Ia pasti bahagia sekarang, ia tidak akan pernah merasakan sakit ini lagi, dia pasti bahagia sekarang,” ayah mencoba menenangkan Amanda dengan memeluknya erat. Ayah berusaha tegar, tapi air matanya sudah tak terbendung lagi. Ia sangat sedih melihat Amanda menangisi ibunya, ia juga sedih karena ia kehilangan orang yang sangat berharga dalam hidupnya.
Amanda merasa sangat buruk sekarang, ia bahkan belum pernah menjenguk ibunya saat dirawat di rumah sakit. Ia merasa seperti anak yang sangat durhaka, ia menyesal karena mudah percaya pada kakek, seharusnya ia memberontak saja. Kenapa kakek dahulu melarangnya bertemu ibu? Ya, memang benar Amanda sudah bertemu ibu, tapi apa gunanya sekarang? Semuanya sudah terlambat, ia sudah pergi. Amanda bahkan tak pernah mengucapkan kata maaf kepada ibunya, ia merasa selama ini selalu berbuat nakal, sering membuat ibunya marah, “Aku adalah anak durhaka, aku sangat jahat,” pikir Amanda, ia hanya menyimpan ini semua di dalam hatinya.
Kaki Amanda terasa berat untuk melangkah menuju pemakaman ibunya sehingga ayah harus menggendongnya. Ia masih berharap bahwa ini semua hanya lah mimpi buruk yang panjang, dan ia akan terbangun dengan segera. Ibu dan ayah pasti menunggunya terbangun, tapi semua ini terasa sangat nyata. Tapi ini semua memang kenyataan, kenyataan yang harus ia terima. Ia tak akan bisa lari dari ini semua. Sungguh tega sekali, takdir Amanda harus tertulis seperti ini. Siapa yang harus ia salahkan atas kematian ibunya, apakah ayah atau kakek? Atau kah Tuhan? Apakah ini salah Amanda? Tidak tahu, Amanda tidak tahu ini salah siapa, yang jelas ibunya yang tersayang sudah tiada. Terbujur kaku dan terbungkus kain kafan, di dalam keranda sempit yang diangkat beberapa orang.
Ia juga masih berharap bahwa waktu dapat diputar kembali, tertawa dan bermain bersama ibu, merasakan hangatnya kasih sayang dan pelukan ibu. Tapi sekali lagi, itu hanya bayangan semu di otaknya. Lamunannya berakhir setelah ia melihat bagaimana tubuh ibunya dikeluarkan dari keranda dan dimasukkan ke dalam liang kubur mengerikan itu. Tangis Amanda pecah kembali, ia tak sanggup melihat itu semua. Tapi ia sudah tidak digendong ayah lagi, ayahnya ikut memakamkan ibunya. Sekarang Amanda berada dalam gendongan kakek.
Amanda melihat ayah menangis lagi, ia sama sedihnya dengan Amanda. Mereka yang berada di pemakaman itu berwajah suram semua, bagaikan langit tanpa matahari, sangat mendung tertutup awan hitam yang tebal hingga tak ada satu pun warna terlihat. Setelah itu, mereka semua termasuk Amanda berdiri dab tertunduk dalam sunyi, hanya seseorang berpeci yang mengeluarkan doa-doa lirih dari mulutnya. Kemudian ayah dan kakek menaburkan bunga-bunga indah di atas gundukan tanah merah itu. Gundukan itu memiliki sebuah papan yang bertuliskan nama ibu Amanda. Mata Amanda terasa perih saat melihat papan itu, lalu satu persatu dari orang- orang yang ada di sana pergi sambil mengucapkan beberapa kalimat yang entah apa maksudnya. Telinga Amanda tidak menangkap itu semua dengan jelas, bahkan matanya sekarang sudah buram tertutup air matanya yang terus mengalir.
Sesampainya di rumah, banyak orang-orang yang datang untuk melayat dan mengucapkan beberapa kalimat bela sungkawa kepada Amanda dan keluarganya. Semua keluarga jauh Amanda ada di sana juga, sepertinya mereka datang sejak tadi. Mereka berbincang-bincang dengan ayah dan kakek, dan Amanda tak tahu apa yang sebenarnya mereka bicarakan, mungkin obrolan orang-orang dewasa yang terlalu rumit untuk dipahami anak kecil. Sedangkan Amanda bertemu sepupunya yang sudah lama tak jumpa dengannya. Lalu ...
***
“Amanda? Kenapa kau menangis? Apa yang kau lakukan?” Sebuah suara menyadarkan Amanda dari lamunannya mengingat hari saat ibunya meninggal dunia. Itu adalah ayahnya yang tiba-tiba masuk ke kamarnya, ayahnya terkejut melihat Amanda menangis. Begitu juga dengan Amanda, ia sama terkejutnya dengan ayahnya, ia menutup buku tebalnya yang masih kosong. Tapi ayahnya sempat melihat foto ibunya, dan ayah mengerti kenapa Amanda menangis. “Ayah? Aku hanya... Aku..” Kata Amanda terbata-bata, ia tak sanggup berkata-kata dengan jelas.
“Amanda, kamu harus melupakan semua ini, ini semua sudah berlalu. Kita harus bangkit dari ini semua agar ibumu terasa tenang, ayah mohon,” kata ayah. Amanda berhenti sejenak dan berkata kepada ayahnya “Bagaimana mungkin ayah melupakan ibu? Tega sekali, ayah jahat,” ia mulai menangis lagi dan matanya kini benar-benar terlihat merah, entah seberapa banyak dia menangis hari ini. Ayah kemudian memeluk Amanda dan menjelaskan semuanya dengan rinci, menjelaskan mengapa mereka harus rela atas kepergian ibunya.
Dan sekarang, ayah meminta Amanda untuk berjanji bahwa ia tidak akan pernah mengingat peristiwa yang sangat menyakiti hati itu dan tak akan pernah menangis lagi. Karena bagi ayah, Amanda adalah matahari baginya, ia tak ingin matahari itu tertutup awan, ia tak ingin langit menjadi mendung. Ayah ingin mataharinya selalu bersinar terang dan sinarnya menembus semua awan hitam yang ada. Tapi, apakah Amanda bisa menyingkirkan awan hitam di hidupnya? Ia tak tahu. Sekarang ia hanya bisa mengangguk lemah dan ragu, ia tak ingin mengecewakan hati ayahnya. Namun kenyataannya, hati Amanda sudah benar-benar terluka dan akan terasa sangat sakit jika melihat orang lain yang masih mempunyai ibu di samping mereka, hatinya sangat perih bagaikan luka tersiram air garam. Meski begitu ia akan berusaha tegar sebagaimana ayahnya berharap, ia berjanji.




Berawal dari Tatap

Oleh : Septianti Laili Sofiana ( 26 )

Betapa menyenangkannya menjadi murid baru,itu adalah kata-kata yang sering terpatri dalam benakku di kala aku menjadi murid SMAN 1 Galaksi.Tapi ternyata realita tak seindah kenyataan.Ternyata menjadi murid sma di awal-awal tidak semudah yang aku pikirkan.Karena ada banyaknya tugas dan kegiatan yang wajib diikuti oleh siswa- siswi baru yang masuk disini
Pagi ini aku akan berangkat ke sekolah yang baru aku masuki selama 3 bulan.Dan dalam waktu 3 bulan itulah sudah ada banyak sekali kegiatan seperti: PTA,MPLS,dll.Belum lagi tugas-tugas yang banyak.Dan kali ini Baru saja aku tiba di kelasku yang ternyata sudah banyak temanku yang datang.Subhanallah ramainya, pasar aja kalah.Tapi kalau aku yang notabebene udah biasa sama hal-hal kayak gini aku sih gak bakal kaget.Kan pemandangan kaya gini udah hampir setiap hari.Mereka itu ngomongin apa sih?kok aku jadi kepo gini.Eeh tiba tiba aku denger temanku bicara.
”Hei.beneran nih bakal ada outbound?”celetuk salah satu temanku.
“Iya,katanya sih memang ada agenda outbound buat kita ini yang jadi murid baru aku deneger-denger dari Pak Warto” kata Sila.
”Wah kegiatan nya banyak ya buat murid-murid baru”sahut temanku yang lain.
Oh ternyata mereka lagi ngomongin agenda outbound yang gosip-gosipnya bakal jadi agenda wajib untuk kelas X yang kira-kira bakal diadakan 1 bulan lagi.
Dan akhirnya tibalah saatnya buat kita beroutbound-ria yang dalam waktu 3 hari 2 malam lah.Lumayan sih kelihatannya.Dan ngomong ngomong ini kan kelas 10 ada 12 kelas jadi jadwalnya ini dibagi menjadi 2 gelombang nggak mungkin kan bakal diadain langsung serentak.Bakal kerepotan juga pihak outboundnya.Gelombang pertama itu dari hari senin- rabu dan gelombang 2 itu untuk hari rabu-jumat.Dan kelasku ternyata masuk gelombang 2.yah nggak apa-apalah toh sama saja nantinya.Oh ya,sekolahanku ini bakal mengadakan acara outbound ini di TSOT(The Survival Outbound Team)yang lokasinya di daerah Pasuruan.Dansebelumkami di berangkatkan ternyata wajib apel pagi dulu.
”Ya ampun mau berangkat ke TSOT kok harus apel pagi dulu”kata zahroh teman sebangkuku.
“Kan Tsot kan masuk agenda wajib dan penting ya tentu lah ada apel paginya.“ujarku.
Dan akhirnya setelah kita Apel pagi kita langsung diberangkatkan menuju ke TSOT dengan bus.Kira-kira 1 jam an lah perjalanan.Dan akhirnya tibalah kita disana.Disana kita bertemu dengan teman se-angkatan yang lebih dulu yaitu kelas yang berangkat gelombang satu yang ternyata sudah siap-siap untuk pulang.Di jalan aku berpapasan dengan beberapa teman yang mewanti-wanti bahwa hidupku bakalan nggak enak habis ini. Seperti Fero ini,dia adalah  salah satu teman dari ekstra.
“Hii,bakal gak enak hidupmu nanti,siap-siap aja”ujar Fero.
Waduh perasaanku rasanya ketar-ketir seolah-olah jantung gue lomba lari marathon.eh bahasaku kok jadi alay gara gara denger ni anak ngomong.
Waduh jangan-jangan beneran yang diomong sama Fero,aduh hidupku bakalan sengsara nih,nih anak benernya nyemangatin kek,eh kok malah nakut-nakutin”batinku langsung aja gue balas omongannya si Fero ini.
Ah..masa,jangan nakut-nakutin dong,aku jadi takut nih pengen balik,ikut dong balik”ujarku.
Iih ni anak,kamu kan belum ngerasain kok buru-buru pulang,sono balik ikutin rombonganmu”ujar Fero.
Nggak Mau,tanggung jawab hayoo”balasku.
Emangnya aku ngapain kok harus tanggung jawab? Sono lanjutin aja santai nggak bakal ada apa-apa ”kata Fero lagi.
Beneran yah,yaudah aku pergi dulu.”balasku lagi sambil lalu.
Setelah kita masuk ke area TSOT kita berbaris di depan aula dan datanglah panitia dari pihak TSOT yang berwajah sangar dan pakaianya yang serba hijau layaknya sekelompok tetumbuhan.
Ayo,silahkan masuk,dan berkumpul di dalam aula,jangan lupa sepatunya ditata juga yang rapi”kata salah satu panitia yang menyuruh kita masuk ke dalam Aula.
Kalau tidak rapi dan teratur,jangan harap sepatu anda berada di tempatnya seperti semula,dan bila tidak ada silahkan cari di tempat sampah terdekat.“tambahnya lagi.
Wadaww ni orang sadis bener”batinku.
Yang bikin tambah sadis lagi tuh disaat dia ngomongnya seperti orang jahat tapi mukanya kok datar-datar dan rada senyum.
Kelainan nih orang kayaknya”batinku lagi.
Setelah itu aku dan teman-temanku langsung memasuki aula dan tidak lupa juga menata septunya di depan aula.setelah memasuki aula hatiku kagum.disini semuanya sederhana sekali bahkan aulanya ini terbuat dari anyaman bambu.
Dan akhirnya kami duduk dengan rapi layaknya barisan anak anak PBB.lalu para kakak-kakak panitia memperkenalkan diri masing-masing.Aku yang sudah duduk manis ria hanya mendengarkan dan tertawa dikarenakan sedikit guyonan-guyonan dari kakak-kakak panitia.Tidak lupa pula panitia TSOT juga memberikan pengarahan-pengarahan penting yang perlu kita perhatikan saat berada di area TSOT.
Waduh banyak bener aturannya”ujar risa teman kelasku.
Yah namanya ini areanya kan masih asri dan daerah hutan,sabar ya,sa ini kan melatih diri kita sendiri agar disiplin kan akhirnya nanti kita juga yang untung”kataku mengingatkan.
Dan akhirnya tibalah pengumuman terakhir,yaitu pengumpulan Hp dari para siswa-siswi agar pada kegiatan Outbound ini berjalan lancar.Para siswa-siswi diingatkan oleh pihak TSOT agar menghubungi orangtuanya bahwa mereka tidak akan bisa dihubungi sampai mereka pulang.Dan akhirnya mereka segera menghubungi orang tua dan mengumpulkan hp mereka.Setelah itu pihak TSOT juga memberikan kita materi-materi penting sebagai bekal kita nantinya.
Setelah diberi materi-materi penting,kita dipersilahkan untuk memasuki barak-barak untuk tempat tidur kita nanti.
Eh..pasti nyaman tuh barak buat kita kita,kita harus cepat-cepat nih,biar nggak keduluan sama kelas lain”ujar Zahroh.
Uhh santai kali roh,kita pasti kebagian juga akhirnya”sahutku sambil berlari dengan Zahroh.
Dan akhirnya pucuk dicinta ulam pun tiba yang akhirnya kita harap-harapkan tiba juga.Akhirnya kita tiba di depan barak kita.tapi realita tetap menyakitkan kawan,ternyata eh ternyata per baraknya itu diisi untuk 50 anak.
Wow pasti penuh ni barak tapi terima sajalah apa adanya”batinku.
Aku langsung masuk dan mencari tempat yang pas untukku.lalu setelah itu ada panggilan dari pihak TSOT yang menandakan bahwa ada beberapa kegiatan yang harus kita lakukan lagi.
Akhirnya malam hari pun tiba,setelah kita sholat maghrib berjamaah,kita terlebih dahulu makan malam.
Bahkan dalam makan pun ada aturannya”kata lisa temanku saat pihak TSOT mengumumkan bahwa ada adab tersendiri untuk makan.
Yah memang makan yang baik kan harus pakai adab”kataku.
Sabar Lis,namanya juga kita ini diajari yang baik,dan prosesnya tidak mudah”tambah Sasa.
Udah-udah jangan ramai ini udah masuk ke ruang makan,nanti dihukum loh sama kakak-kakaknya”leraiku.
Pihak TSOT sendiri memiliki peraturan untuk adab makan yaitu: 1.Tidak boleh bebicara atau ramai saat sudah memasuki area ruang makan.2.Tidak boleh ada dentingan peralatan makan saat makan.3.Setelah selesai makan,tidak boleh ada nasi yang tersisa di piring.
Setelah makan kita melakukan sholat isya berjamaah,lalu kita dikumpulkan didalam aula untuk melanjutkan kegiatan.
Waduh pasti kita ini selanjutnya bakal ada sesuatu nih”kata zahroh.
tapi aku tidak menghiraukannya dan masuk ke dalam Aula.Setelah masuk ke aula,ternyata disana sudah ada bapak-bapak yang akan mengisi kegiatan.Dan ternyata kita akan melakukan tes ESQ.Dan bapak tersebut mematikan lampu dan menyangkan video mengenai hal-hal sedih.Dan dalam proses tersebut,terdengar suara tetangisan semua siswa tak terkecuali diriku.Lalu sekitar 1 jam-an akhirnya selesai dan lampu kembali dinyalakan.Aku melihat wajah teman-temanku,mata mereka semuanya sembab karena sudah mengeluarkan air mata mereka.Lalu aku kembali melirik ke arah tempat duduk yang ditempati bapak tadi,dan dalam sekali tatap setelah lampu menyela ternyata aku melihat ada seseorang asing yang what!!!sumpah dia tipeku.Wajahnya yang misterius yang membuat aku penasaran ditambah model potongan rambutnya yang khas membuat aku tidak bisa mengalihkan mataku.Serasa duniaku teralihkan hanya dalam sekali tatap.
namun tiba –tiba bapak yang tadi pun berkata,
Kalian yang mengis hari ini telah berhasil melakukan tes ESQ” ujarnya.
What!!gila nih bapak udah buat anak orang nangis,katanya berhasil”ujar Sila.
Kan ini kan Cuma tes sil,nggak perlu sampai segitunya kali sil”kataku.
Bapak itu pun akhirnya berceramah ria mengingatkan siswa-siswi.Sedangkan aku hanya membisu dan tidak menghiraukan bapak tadi karena perhatianku sudah teralihkan dari awal kepada lelaki misterius tadi.Dan tibalah akhirnya laki-laki itu memperkenalkan diri.waktu yang sudah aku tunggu dari tadi.
”Perkenalkan nama saya Ricky,saya ini salah satu panitia TSOT,Maaf karena kali ini saya datang agak terlambat karena ada pertemuan penting”ujarnya.
            “Wow,ternyata namanya Ricky toh,cocoklah sama namanya”batinku.
            “Ok,sekarang saya yangakan mengisi acaraselanjutnya,kan tadi sudah diisi tes ESQ dan kali ini saya akan mengisi acara hypnoterapi......dan bla-bla”ujarnya.
itulah yang aku dengar darinya.Bahkan kata-katanya seperti tersensor otomatis karena aku hanya menghiraukan wajahnya.
            “Dan kita bisa kita mulai sekarang,cobalah berkonsentrasi”ujarnya
Dan tiba-tiba Zahroh menepukku dan mengatakan,
”Hei,jangan bengong aja,tuh acaranya udah bakalan dimulai”
“Ohh,ya..ya,lagian sih..kakaknya ganteng ya salahin aja tuh kakanya yang udah buat aku gagal fokus mulu”ujarku.
Waduh aku kok malah bengong sih,malu juga dilihatin sama Zahroh.
            Dan akhirnya dimulailah,pada awal-awal kita diperdengarkan lagu tenang tenang yang menggambarkan suasana sambil tertidur dan dibawah perintah dari kakak tadi,jadi yang diperlukan hanya fokus.Tapi,yang notabene aku dari awal tidak fokus jadi aku bingung harus melakuka apa.bahkan akusudah mendengar ricuh-ricuh yang menandakan ada temanku yang memang sudah terpengaruh hypnoterapi.Kegiatan ini kira-kira berlangsung sekitar satu jam setengah dan berakhir sekitar jam 11 malam. Hatiku yang kali ini  masih berdebar-debar serasa lari marathon mengelilingi stadion 7 putaran pun enggan untuk kembali ke barak.
            Kamu tuh kenapa sih senyum-senyum dari tadi,kesambet yah”ujar Zahroh.
            Nggak kok,nggak kenapa-napa,tapi aku dari tadi anehnya kok kepikiran terus tadi ya sama kak Ricky”kataku.
            Ciee,kamu suka ya sama kak ricky”balas Zahroh.
            Ah..jangan ngrecoki dong,aku malu nih”kataku sambil berlari meninggalkan zahroh karena malu.
            Bahkan di barak pun kali ini aku masih belum bisa tidur karena masih memikirkan kak Ricky,bahkan aku yang masih belum tidur mengganggu Zahroh dari tidurnya agar dia mau menerima curhatanku tentang kak Ricky. Dan selang beberapa lama akhirnya aku pun tertidur pulas melupakan curhatanku tadi.
            Paginya ada agenda untuk senam pagi bersama.dan kalian tahu siapa yang jadi pembimbingnya.yap.Itu kak Ricky dan kawan-kawan.Hatiku pun langsung berdebar-debar.bahkan rambutnya kak Ricky yang melambai lambai saat ia melakukan gerakan senam pun menambah pesonanya yang memang sudah ada.
            Setelah senam pagi,agenda selanjutnya ialah jalan jalan pagi ke lembah gunung. Dan dalam kesmpatan itu pun aku hanya mendapat sedikit perhatiannya.padahal aku sudah berusaha untuk mendapatkan perhatiannya, mungkin aku harus berjuang lagi.Semangat!! ,tapi mungkin usahaku ini masih kalah dengan fans-fansnya yang lain sehingga aku hanya sedikit bisa mendapat perhatiannya seperti kali ini.
            “Hei,dik jangan kesana hati-hati karena disana bahaya”katanya.
            Iya kak” balasku.
            Wow rasanya hatiku senang serasa mau copot.Gimana nggakmau copot coba?Tapi setidaknya usahaaku berhasilmeskipun cumahanya diajak ngomong sedikit saja. Sedangkan Zahroh yang tau mengenai ini cuma bisa geleng-geleng kepala.
            Dan akhirnya setelah kejadian mendebarkan tadi pagi.Akhirnya sore ini pihakoutbound mengadakan wahana sebagai hiburan.seperti: flying fox,rumah labirin,dll
            Dan ternyata yang bertugas di bagian flying fox ternyata kak Ricky. Bahkan hanya satu kali tatap setelah melihatnya hatiku ternyata kumat lagi penyakitnya. Setelah itu kami semua diminta untuk berbaris menunggu giliran.
            Setelah sekian lama menunggu giliranku untuk maju,akhirnya tibalah waktuyang kutunggu tunggu.Wajah kak Ricky yang aku tatap pun terlihat semakin manis. Madu mah kalah manisnya sama wajah kak Ricky.Bahkan saat aku naik tangga untuk menuju ke atas pun dibantu sama Kak Ricky.
            “Sini Dek,aku bantu”ujarnya
            “Baik banget Kak”batinku mengatakan
            Sedangkan teman-temanku yang dibawah sedang menyoraki ku dengan candaan-candaan bahkan menyertakan julukanku yang membuatku malu setengah mati.Sehingga kak Ricky pun juga mendengarnya.
            “Loh,nama julukanmu itu ta Dek?”katanya.
            “Ng..ggak kok kak”balasku berbohong.
            Bahkan karena gugup setengah mati aku sampai gagap.Dan aku diajak berbincang bincang hal lainnya hingga aku dibantu olehnya turun dengan flying fox.
            Malamnya,kita mengadakan pertunjukan,seperti: menari,menyanyi,dll. Dan disana aku melihat kak Ricky yang sedang menari saat lagu diputar.Rasa kagumku yang awalnya sudah besar jadi semakin besar.
            “Eeh...pandangannya dijaga ya mbak,lihat tuh kak Ricky serasa tubuhnya berlubang semua gara gara kamu tatapi terus serasa matumu ngeluarin laser”cerocos Zahroh.
            “Iih...apaan sih,jangan godain aku mulu ah,aku malu”ujarku.
            Dan akhirnya acara malam itu berlagsung dengan ramai dan suka cita.
            Esok paginya,hari yang tidak kutunggu akhirnya tiba.Kali ini aku akan kembali pulang karena kegiatan outbound sudah selesai.Rasanya berat sekali hanya untuk pergi dari tempat ini. Bahkan aku saja belum mengatakan perasaanku ini pada kak Ricky.Rasanya belum puas hati ini dekat dengan kak Ricky.Dan lebih parahnya lagi di acara penutupan ini Kak Ricky tidak kelihatan sama sekali.Dan aku mencarinya kesana kemari dan belum menemukannya hingga akhirnya aku masuk ke dalam bis dengan perasaan kecewa.Tapi tak apalah setidaknya rasa kagum ini masih wajar terjadi pada masa remajaku.




Komentar