KENAKALANKU SAAT ITU
Oleh : Fadillah R. S ( 07 )
Kriiing...
kriiing... bel pergantian jam pelajaran pun berbunyi, saatnya pelajaran seni
budaya. Pelajaran yang dibimbing oleh guru yang santai tapi serius. Ya guru
seni budaya kami sebenarnya sosok yang asik dan baik, tetapi untuk urusan
disiplin dan tanggung jawab beliau juaranya. Aku dan teman sekelasku punya
pengalaman kelam dengan beliau, sehingga kami engan untuk mengulangi kejadian
itu. Aku dan teman sekelasku bergegas jalan menuju ke ruang seni budaya.
Beberapa saat setelah kami sampai di ruangan, guru seni budaya kami datang.
Pelajaran berlangsung dengan tenang dan kondusif. Ditengah jam pelajaran beliau
menyuruh kami untuk membuat kelompok. Kelompok untuk menggambar figuratif di
atas kain mori.
Eitsss...
sebelum kita melanjutkan cerita lebih jauh lagi, perkenalkan namaku Fadillah
saat ini aku kelas 11 di SMA Negeri 1 Krian. Seiring berjalannya waktu tugas
tugaspun silih berganti, tidak ada waktu untuk tidur bahkan makanpun akan
terasa hambar, benar? Oiya, disini aku akan menceritakan sedikit pengalamanku
di bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku adalah alumni dari salah satu SMP
favorit di Sidoarjo, aku alumni penghuni kelas 7-2, 8-2,dan 9-2. Ada yang tau dimana? Ya di SMP Negeri 2
Sidoarjo. Di sana, aku memiliki beberapa orang sahabat yang bisa memperbaiki
maupun merusak mood ku. Cukup segitu ya sekilas tentang aku he.. he.. he, mari
kita lanjutkan ceritanya.
Detik
berganti menit, menit berganti jam, jam terus memutar mengganti hari. Sudah H-2
dateline pengumpulan tugas seni budaya. Aku dan teman sekelompokku pun bingung
bagaimana cara menyelesaikan tugas itu dalam satu kali kerja. Rani, Nadila, dan
Tarisa mereka adalah anggota kelompok sekaligus beberapa dari sahabatku. Hingga
bel pergantian jam pelajaran berbunyi kami masih terus memikirkan konsep.
Setelah sepakat untuk menggunakan jam pelajaran saat itu yakni mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan Alam. Setelah membawa semua alat yang akan kami gunakan untuk
menggambar, kami berempat pun berjalan menjauhi ruang kelas. Kami tidak mau
membuang sedikit waktu yang tersisa ini.
Di
tengah kami menyelesaikan sketsa yang kami buat, tiba tiba salah satu suara
dari anggota kelompok kami terdengar. ”Hei.. rek liaten ada bu SL masuk kelas”,
suara lirih itu sontak membuat kami bertiga kaget. Padahal sebelumnya kami
berfikir bahwa jam pelajara Ilmu Pengetahuan Alam yang dibimbing oleh bu Sri
Lestari kosong. Hati ku pun mulai gelisah. Harus lanjut mengerjakan tugas seni
budaya yang dateline nya besok lusa atau kembali ke kelas untuk mengikuti
pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, tanyaku dalam hati. Aku dan teman kelompokku
berdiskusi, akhirnya kami sepakat untuk tetap lanjut mengerjakan tugas seni
budaya. Disela waktu kami fokus untuk mengerjakan tugas seni budaya, akhirnya
kami beristirahat sejenak.
Bagaikan
jatuh tertimpa tangga pula, mungkin itu salah satu peribahasa yang
menggambarkan keadaan kami saat itu. Keringat mengucur dari badan kami, setelah
melihat beberapa teman kelas kami membawa beberapa tas ke ruang BK, ya beberapa
tas itu tas kami. Selang beberapa menit setelah beberapa teman sekelasku
kembali dari ruang BK bel tanda berakhirnya jam pelajaran pun berbunyi. Setelah
melihat bu SL keluar dari kelas, kami pun bergegas merapikan tugas dan kembali
ke kelas. Langkah demi langkah kami lewati bersama penyesalan dan juga
memikirkan apa yang harus kami lakukan selanjutnya. Sesampainya kami di kelas
beberapa sahabat kami menanyakan keberadaan kami pada saat ada Bu SL. Kami
menceritakan kejadian yang sebenarnya. Aku dan teman kelompokku segera menuju
ruang BK untuk mengambil tas kami. Setibanya kami di depan ruang bk, mata kami
terbelalak melihat pintu ruangan itu sudah tergembok. Akhirnya kami memutuskan
untuk kembali ke kelas.
Orang
yang tidak punya arah dan tujuan, mungkin itu kalimat yang dapat mewakili
keadaan ku dan teman kelompokku. Akhirnya kami duduk termenung di teras depan
kelas dan memikirkan bagaimana cara kami mengambil tas. Setelah berdiskusi, kami
semua setuju untuk mengambil tas kami di ruang BK. Kami meminta bantuan kepada
salah seorang teman yang masih di kelas, kebetulan saja ia juga sahabat kami, Waly.
Setelah Waly bersedia untuk membantu menggambilkan tas kami dengan cara
memanjat jendela di ruang BK, kami berlima pun segera berjalan menuju ke ruang
BK. Ketika Waly masuk rangan itu, kami
berjaga jaga di sekitar ruangan itu. Waly pun keluar melalui jendela dan
membawa tas kami berempat. Setelah itu kami pun pulang.
Sesampainya
aku di rumah, aku membuka ponselku dan melihat chat room yang berisikan teman
kelompok seni budayaku. Rupanya teman- temanku itu sepakat datang lebih pagi
untuk mengembalikan tas kami ke ruangan BK.
Pagi
pun tiba, tak lama setelah aku sampai terlihat rani dan nadila. Kami menununggu
kehadiran tarisa, beberapa menit kemudaian terlihat kedatangan Tarisa. Sat itu
masih sekitar pukul 05.45, Kami pun bergegas menuju belakang ruang BK. Sekolah
sangat sepi dan teman sekelasku belum ada saatu pun yang datang selain kami.
Setelah mengambil buku pelajaran saat itu, akhirnya aku memutuskan untuk
memanjat jendela yang merupakan jalan masuk ke ruang BK. Setelah mengembalikan
tas kami di tempat semula, aku pun keluar dari ruangan itu.
Waktu
pun berlalu dengan cepat, kami mengikuti pelajaran seperti seharusnya. Bel
istirahat pun berbunyi, kami memanfaatkan waktu isirahat untuk mengambil tas
kami di ruang BK. Kami berjalan perlahan menuju ruang BK sambil mendiskusikan
alasan yang akan kami sampaikan. Setelah sampai di depan ruang BK, kami pun
masuk ke dalam. Di sana ada guru BK kami, Bu Eko. Setelah beberapa kata beliau
ucapkan, beliau memberikan tawaran kepada kami “ini orang tua kalian dipanggil
ta?” sontak kami berempat sangat terkejut mendengar tawaran itu. Hatiku tak
karuan, pikiranku pun melayang kemana-mana. “Jangan bu” ucap Nadila, “jangan
bu, kami janji tidak akan mengulangi lagi”, sahut Rani. Aku dan Tarisa hanya
diam membisu. Setelah menasehati kami,
bu eko pun memperbolehkan kami untuk mengambil tas dan kembali ke kelas.
Senangnya
perasaanku saat itu. Biarlah certia itu menjadi kenangan diantara aku, Rani,
Nadila,dan Tarisa. Taklupa permintaan terima kasih ku ucapkan kepada Waly yang
turut membantu kami dalam memecahkan masalah.
Setelah melewati peristiwa itu, aku tidak mau mengulanginya lagi. Selain itu, aku berada di tahun ketigaku di
Sekolah Menengah Pertama.
MIMPI FANTASI TUMPAS MAFIA
Oleh : Fani Rachmadiyanto
( 08 )
Aku
mengingat sejak kapan aku melupakan teknologi ini. Aku seperti hidup di masa
lalu, tanpa tahu bahagianya diriku bersama hujan. tapi sekarang, aku tidak bisa
merasakannya kembali. aku sadar tak bisa kembali lagi ke masa lalu. Masa yang
tak dapat digambarkan betapa bahagianya masa lalu. Aku seperti tak pernah
bersyukur dengan kehidupanku sekarang maupun masa lalu. Padahal, apa yang kuinginkan
hampir tercapai. Hanya saja waktu yang tak pernah bisa kuputar tuk kembali ke
masa lalu.
Apalah
arti semua teknologi yang ada di sini, semuanya serba mudah dan canggih. Tapi belum
ada teknologi yang bisa memutar waktu menuju masa depan maupun masa lalu. Ini
sungguh menyebalkan! Banyak teori tentang masa lalu, misal kehidupan manusia
purba. Tapi, mengembalikan semuanya ke masa lalu sangatlah tidak masuk akal
untuk pemikiran.
Semua
hal yang kulihat seperti kasat mata. Aku termasuk orang teraneh di dunia ini,
begitupun kedua temanku yang seperti makhluk asing. Mereka bukan hanya
membuatku tersenyum, namun sampai tertawa yang tak berujung dan bertepi dengan
rasa nyeri di perutku. Tentu saja mereka menjengkelkan dan bodohnya, aku selalu
gagal membuat mereka berhenti menggodaku. Semua pemikiranku dengan mereka tak
akan ada yang sejalan. Terkecuali, satu hal tentang dunia teknologi. Menurutku,
teknologi bukan segalanya dan ada batasannya. Bukan untuk menghilangkan
kebiasaan lama atau budaya dunia yang benar-benar punah.
Memang
semua tampak mudah, cepat dan efisien. Sistem negara yang dulu kuimpikan telah
di depan mata.Teknologi benar-benar menjadi penguasa makhluk hidup. Komunikasi
lebih cepat dengan hitungan persekian detik. Tanpa kabel handphone telah
tercharger dengan sendirinya melalui sebuah jaringan. Ini benar-benar dunia
yang aku inginkan. Namun, terkadang apa yang kita inginkan tak sepenuhnya
menghasilkan kebahagiaan.
Perkembangan
teknologi memang penting, tidak kalah penting mempunyai 2 orang sahabat Rizal
dan Fazat. Kita lebih sering berkomunikasi secara langsung, rasanya ada
kebahagiaan lain dibaliknya. Tidak ada lagi sistem sekolah bersama melainkan
Home Schooling. Setiap anak diberi satu laptop dengan fasilitas bisa memilih
mata pelajaran yang disukai, baik berupa teks, gambar, video, atau video call
dengan guru yang bersangkutan. pemerintah yang bertanggung jawab atas semua
fasilitas tersebut. Lebih mudahnya, semua siswa telah terdaftar dengan semua
alat digital seperti komputer yang bisa menginput data secara otomatis.
Simple
saja, semua penduduk sudah terdata secara digital. Juga pendidikan, melalui
laptop tersebut kita bisa mengambil pelajaran apa saja, kapan saja dan dimana
saja. Untuk ujian hanya membutuhkan gadget dan jaringan Wi-Fi. Dilakukan serentak
di seluruh negeri, melalaui teknologi scaner yang super canggih siswa tak bisa
mempunyai laporan pembelajaran yang sama.
Rizal
pada acara pameran satu tahun lalu. Aku tertarik dengan teknologi yang
dibuatnya dan aku bisa bersahabat baik sampai sekarang mungkin karena ketertarikanku
itu. Siapa sangka, sore harinya Rizal dan Fazat memberiku harapan yang hilang
tentang arti dalam sebuah persahabatan. Mereka memberiku teknologi tersebut sebagai
hadiah ultahku yang ke-15. Aku berusaha menolaknya, namun mereka memaksaku
untuk menerimanya. Itu hanya sebuah trik agar aku tidak malu menerimanya. Tentu
saja hatiku senang dengan semua itu, terlebih mereka hadir sebagai keluarga
baru yang memberikan kebahagiaan tersendiri. Pada zaman yang semakin gila,
mereka masih tersisa sebagai makhluk aneh yang cerdas. Namun justru tak begitu
mereka menyukainya, hanya sebatas aplikasi pengetahuan dan hobi.
Mereka datang satu detik lebih cepat. Aku segera
menghampiri mereka. Tiket masuk rumahku cukup status mereka sebagai sahabat-sahabatku.“Pangeran
telah datang, beri hormat padanya kawan.” Lelucon Fazat selalu membuat moodku
menjadi jelek. Beberapa detik berlalu, aku berusaha tidak menanggapi apa yang
Fazat katakan. Perhatian mereka teralih dengan kutanyakan apa rencana
sebenarnya untuk pemberontakan ke sekretaris kepala sekolah. Fazat tak
menjawab, hanya mengambil ponsel dari tanganku dan menuliskan sesuatu di
dalamnya. Sedangkan Rizal hanya terkekeh.“Nih, gue balikin. jangan berfikir
macam-macam, baca deh file yang aku kirim pelajari, hayati dan nikmati.”
Celoteh Fazat.
Aku
tidak menanggapinya, aku hanya fokus dengan file yang dikatakan Fazat. Semuanya
tampak rumit juga berbahaya. Aku tidak mempunyai pilihan, ini. demi kodrat
manusia sebagai makhluk sosial.“Aku ngerti, gak perlu dijelasin lagi. Walaupun
aku gak segenius kalian, tapi please deh aku juga cerdas kali dan aku tahu
kalian sudah merencanakan ini dengan persiapan matang.” Aku berlagak sok
mengerti. “It’s okay, bagus kalau gitu. Kita gak perlu jelasin lagi. By the way,
tumben hari ini kau ganteng.” Rizal si waras malah menggodaku. “Makasih, emang
dari dulu aku ganteng.” Perkataanku sungguh menjijikkan.
Kini,
suasana menjadi tegang. Kita telah sampai di istana kepala sekolah. Kami
disambut dengan tatapan curiga sekretaris kepala sekolah. Lalu, membawa kami ke
ruangannya. Ini sungguh persis dengan apa yang kami rencanakan. Sekretaris kepala
sekolah menjelaskan bahwa kepala sekolah sedang ke luar kota. Tepat sekali,
kita sudah mengetahuinya. 2 langkah lebih maju, kita telah mengetahui
segalanya.
Kami
berusaha untuk tidak bosan dengan penjelasan kuno Sekretaris kepala sekolah. “Apakah
ada yang salah dengan semua yang saya katakan?” Wajah tanpa dosanya benar-benar
tidak lucu.“Tentu saja, tidak! Dengan semua pemalsuan dokumen, pengajuan
pendapat dari orang-orang penting. Kau kira ini omong kosong? berhentilah
pura-pura tidak tahu. Kau membuat sistem sekolah seperti sekarang, karena kau
berhasil menghasut kepala sekolah. Itu rencana awal kau, agar generasi muda
terpecah karena saling egois. Dan saat kekuasaan kosong kau manfaatkannya untuk
mengambil alih sekolah, menjadi penguasa yang haus akan kekuasaan. Dan entah
apa yang kau rencanakan selanjutnya. Mungkin kau bisa mengelabui kepala sekolah,
tapi tidak denganku!. Tentang teknologi pemalsuan, itu adalah hasil dari
perampasan terhadap seseorang yang genius dan kau tahu mengapa aku
mengetahuinya?” perkataanku berhenti, membiarkan Sekretaris kepala sekolah
melakukan perlawanan.
Sedangkan
Rizal dan Fazat telah berhasil memasang kamera penghubung ke siaran langsung tv
juga rekaman CCTV. “Tentu saja tahu, kau fikir aku bodoh?. Apakah misi kau sama
dengan ayahmu, nak? oh ya, tentu saja sama karena kau anaknya bukan?”
Sekretaris kepala sekolah sudah terpancing emosinya. “Kau tak lebih dari kata
bodoh, kau fikir dia anak si genius. Tentu saja, itu pemikiran terbodoh yang
kau lihat. Aku hanya ingin tahu seberapa cerdasnya kau? Pada kenyataannya kau
memang bodoh, apakah masih tidak mengerti? It’s okey, no problem! Akan ku katakan
bahwa aku lah anaknya. Kau adalah sekretaris konyol yang hebat. Tentu saja
tidak sehebat dengan apa yang kurencanakan. Jangan kau tanya apa yang aku
inginkan, karena aku sudah mendapatkan semua yang aku inginkan.” Rizal terlihat
begitu santai dengan semua ucapannya. “Sudah kawan, simpan tenaga kau untuk hal
yang lebih berarti.” Fazat menepuk bahu Rizal. “Senangnya bisa menonton
pertunjukkan secara live, beruntungnya aku. Dan satu lagi yang kau tidak tahu
pak, semua orang di negeri ini telah menyaksikan semua hal yang kita lakukan
saat ini.” Rizal terlihat sombong sekali, lelucon yang tak lucu memang. “Beraninya
kalian! penjaga!” Penjaga datang dan meringkus Sekretaris kepala sekolah, tentu
saja digiring ke dalam ruang 6×6 m. “selamat tinggal dan nikmatilah, pak!” Kami
mengucapkannya serempak.
Kulihat
rintik hujan lebat di balik jendela indahku. Masih dalam keadaan terbaring di
atas ranjang favoritku, aku setengah menyadari apa yang sebenarnya terjadi itu
hanyalah mimpi indahku yang membawa fantasiku ke dunia seorang mafia sekolah.
Kuharap mimpiku menjadi kenyataan untuk menumpas kecurang dan kejahatan
seseorang atau oknum tertentu agar kehidupan menjadi tentram.
Cinta, Musik, dan Dilema
Oleh : Fauzy Bima P ( 09 )
“Hai, apa kabar ?” begitu adalah kata kata
yang terucap dari seorang wanita yang kukenal di bangku SMP.
Ceritaku ini berawal dari semenjak aku duduk
di bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku adalah seseorang yang tidak begitu
mahir dalam segala bidang mata pelajaran. Aku hanyalah murid biasa yang
disekolahkan oleh orang tuaku untuk mengerti makna dari pentingnya pendidikan.
Sehari-hari, sebagian waktuku kuhabiskan hanya untuk memahami pelajaran yang
mereka katakan seolah-olah itu adalah semua dari kunci kesuksesan. Aku hanya
berpikir, “Apakah salah bagiku untuk berpikir berbeda?”. Tidak seperti temanku
yang lain, aku lebih senang terhadap seni, khususnya di bidang musik.
Kesenanganku terhadap musik sudah berawal sejak aku duduk di bangku kelas 6 SD.
Pada saat itu, aku merasa bahwa musik dapat menyalurkan rasa dan perasaan yang
tidak bisa kita ungkapkan melalui kata kata.
Hari demi hari kulewati dengan menuntut ilmu
di sekolah dan tidak lupa berlatih bermain musik juga karena itu adalah sesuatu
yang sangat kunantikan pada saat hari sekolah telah usai. Bahkan, ketika jam
pelajaran kosong aku sering bermain gitar sendiri di kelas. Aku merasa setelah
lelah menghadapi semua pelajaran di sekolah, sesuatu yang dapat membuatku
merasa segar kembali adalah bermain musik.
Pada kala itu, ada sebuah pengumuman bahwa
akan diadakannya “Lomba Musik Pelajar Tingkat SMP”. Dalam hatiku, aku berangan
bahwa aku dapat menjuarai lomba tersebut. Setiap hari, aku berlatih musik
dengan band-ku. Posisiku sebagai pemegang Bass Gitar atau yang sering disebut
dengan ‘Bassist’. Setiap hidup pasti ada rintangan, begitulah yang dialami oleh
band yang sudah terbentuk saat aku masih di bangku SMP. Kita berlatih sangat
keras hanya untuk mengubah suatu aransemen dari suatu lagu. Kadang,
perselisihan tidak dapat dihindari. Namun, hal tersebut akhirnya bisa
diselesaikan dengan adanya satu visi dan misi yang sama pada grup musik ini.
3 bulan telah berlalu, semua personil band dan
aku sendiri sepertinya sudah siap menghadapi sesuatu yang kita takuti. Hal
tersebut adalah hari dimana penampilanku akan dinilai oleh dewan juri yang
sudah berpengalaman dalam bidang seni. Awalnya, aku sangat gugup. Namun, pada
akhirnya hal itu hilang karena aku yakin bahwa kerja keras-ku akan membuahkan hasil
yang sama. Sebelum menginjakkan kaki kita ke panggung, aku terus menerus
memanjatkan doa kepada Allah SWT agar kami semua diberikan kemudahan ketika
akan tampil nanti.
Aku menginjakkan kakiku ke panggung tersebut.
Hatiku sangat berdebar sekali. Rasanya tidak karuan sekali ketika semua
penonton melihat ke arah-ku. Dalam hatiku, aku berkata, “Apakah ini rasanya
tampil di atas panggung dan dilihat oleh sekelompok orang?”. Aku juga berkata
dalam hatiku, “Aku pasti bisa.”. Aku memainkan alat musik-ku dengan penuh
keyakinan. Apa yang kupikirkan pada saat itu adalah dapat bermain dengan sempurna
tanpa kesalahan sedikitpun.
Penampilan kami telah selesai, dan aku merasa
sangat lega dapat mempersembahkan karya terbaik dari kami. Aku merasa puas
karena apa yang kulakukan untuk mencapai kesempurnaan dalam penampilan akhirnya
terbayarkan. Semua anggota band-ku juga tidak menyesal telah mengorbankan
waktunya untuk berlatih bersama.
Pengumuman tentang siapa yang memenangkan
kompetisi lomba sedang diumumkan. Aku hanya berpikir bahwa aku tidak mungkin
memenangkan lomba itu karena kupikir banyak sekali peserta yang lebih baik
penampilannya daripada aku. Tetapi, tuhan berkehendak lain. Nama dari band-ku
dipanggil untuk menjadi juara ke-2. Kami semua tidak menyangka bahwa hal ini
akan terjadi. Aku sangat senang karena prestasi ini. Meskipun tidak menjadi
yang pertama, setidaknya kami masih mendapatkan nomor ke-2 sebagai peserta yang
terbaik.
Keesokannya, teman-temanku menanyaiku tentang
hasil dari lomba tersebut. Mereka berkata, “Bagaimana hasilnya?, kau
menjuarainya?”. Aku membalas, “Ya, walaupun tidak menjadi juara 1, kita
memperoleh juara ke-2.”. Teman-temanku mengucapkan selamat kepadaku atas
prestasi yang kuraih. Saat itu aku sadar, bahwa teman-temanku adalah sosok yang
peduli terhadap sesama. Semenjak kejadian itu, aku lebih akrab lagi bercanda
dengan temanku. Kuhabiskan waktu bersama dengan bercanda ria ketika jam
pelajaran kelas kosong.
Hari terus berlalu, aku semakin giat untuk
melatih bakat bermusikku. Aku tau dan yakin bahwa suatu hari nanti, kerja
kelasku akan terbalaskan oleh hasil yang sempurna. Karena tidak mungkin hasil
dari suatu kerja keras menghianati hasilnya. Seperti kata pepatah, barangsiapa
yang menanm, maka akan mengunduh. Itu adalah pedoman dalam hidupku untuk terus
semangat dan tidak mudah menyerah ketika ada halangan dan rintangan yang datang
kepadaku. Aku yakin bahwa suatu hari entah kapan, kebahagiaan itu akan datang.
Sudah 2 lomba yang kujuarai, aku merasa
bersyukur sekali karena aku bisa menjadi orang yang terpilih. Tetapi, ketika
aku naik ke kelas 9, personil band-ku telah lulus karena mereka 1 tahun lebih
tua daripadaku. Aku merasa sedih, karena band perwakilan sekolah kami terpaksa
harus bubar. Aku berusaha untuk membuat grup baru dengan anggota musik lainnya
di ekstra kami. Namun, aku merasa ketidak cocokan antara aku dengan personil
lainnya. Aku merindukan personil lamaku. Mereka cukup baik dalam bermain musik,
namun ada 1 hal yang mengganjal pada hatiku. Aku tidak tahu itu apa, aku hanya
merasa tidak begitu cocok dengan anggota band-ku yang baru ini.
Aku memutuskan untuk sementara vakum dari
band-ku karena aku belum menemukan suatu hal tersebut. Ketika itu aku sadar,
hubungan dengan teman-temanku mulai renggang. Hal itu disebabkan karena aku jarang
sekali berada di kelas. Aku lebih sering menghabiskan waktu istirahatku untuk
pergi ke ruang musik dan berlatih. Mataku terasa dibutakan oleh keinginanku
dalam bermain instrumen musik layaknya profesional. Aku hampir kehilangan hal
yang berharga di dalam hidupku. Saat itu juga, aku berusaha untuk lebih
meluangkan waktuku untuk bersantai bersama teman-temanku.
Usahaku berhasil, hubunganku dengan
teman-teman semakin hari semakin membaik. Waktu luang dikelas sering kuhabiskan
untuk bernyanyi dan bermain bersama teman-temanku. Pada saat itu, aku mulai
sadar bahwa suatu hal inilah yang sebetulnya kucari selama ini. Aku merasa
senang. Sekarang, aku merasa hidupku lebih baik dari sebelumya. Mungkin,
kemampuan dalam bermusik itu penting, namun hal yang lebih penting adalah
menjaga kebersamaan dalam pertemanan tanpa adanya perselisihan. Akhinya, suatu
pelajaran baru kudapatkan.
Hari-hari berikutnya kulalui tanpa masalah.
Aku bahagia dengan apa yang kumiliki sekarang. Hingga pada suatu hari ketika
aku sedang bermain dan bernyayi bersama teman-temanku, seorang wanita lewat
didepanku. Aku tidak tahu siapa dia namun, bagiku dia sangat mempesona.
Tiba-tiba temanku berkata, “Cieeeeee. Apa yang kamu lihat?”. Aku langsung
membalas, “Tidak ada apa apa.”. Lalu, aku lanjutkan bernyanyi bersama
teman-temanku.
Keeseokan harinya, aku pergi untuk
mengembalikan buku yang kupinjam dari temanku. Saat mengembalikan buku itu,
seorang wanita menyapaku, “Hai, apa kabar?.”. Itu adalah wanita yang kemarin
kulihat saat aku bernyanyi bersama teman-temanku. Aku tak tahu mengapa hati ini
berdebar. Aku takut sekali jika aku akan salah tingkah padanya. Aku berusaha
menenangkan diri ketika waktu itu dan akhirnya berhasil
Temanku bilang kepadaku, “Hei, dia cantik
kan?”. Aku hanya diam sambil tersenyum dan dia semakin mengansumsikan bahwa aku
ada rasa padanya. Aku membalas, “Ayo kita balik ke kelas. Jam istirahat sudah
hampir habis.”.Seakan mengalihkan perhatian, temanku menatapku dengan senyuman
seakan-akan aku menyembunyikan sesuatu.
Semenjak kejadian itu, aku dan wanita itu jadi
semakin dekat. Dan entah kenapa, aku merasa bahwa rasa ini bukanlah sekedar
rasa terhadap teman. Rasa ini adalah cinta. Aku bukanlah seorang yang mahir
terhadap cinta, maka aku lebih memilih untuk diam ketimbang mengungkapkan isi
hatiku padanya. Rasanya sangat berat sekali untuk tidak menyatakannya, namun
aku tetap tidak mengungkapkan perasaanku sebenarnya
Setiap hari, hatiku ini berkobar. Seakan-akan
hatiku ingin menyatakan, tapi otakku tidak ingin. Aku sangat dilema pada waktu
itu. Lalu, aku putuskan untuk bersantai sejenak dengan mengambil gitarku. Aku
tulis sebuah lagu untuk mengungkapkan apa yang kurasakan. Aku sangat sedih
mengetahui aku tidak bisa memilikinya, namun dengan situasi ini hati dan otakku
menyatu untuk membuat apa yang sebenarnya aku rasakan saat ini.
Pada saat itu kutahu bahwa musik itu sendiri
dapat meluapkan emosi, perasaan, dan pemikiran kita tentang suatu hal. Apa yang
terjadi padaku ini merupakan takdir Allah SWT dimana jika aku kala itu baik
baik saja denganku, maka hal ini tidak akan terjadi. Walaupun akhirnya aku
memutuskan untuk mundur dan tidak mengejarnya. Namun aku yakin bahwa Allah SWT
telah menetapkan jodoh yang terbaik untukku kelak.
Misteri
Angkutan Umum Malam Hari
Oleh : ferdinand Faruck ( 10 )
Pengalaman ini merupakan pengalaman
yang belum pernah kuduga sebelumnya. Kejadian ini tepat tejadi tiga tahun yang
lalu, saat aku masih duduk di kelas dua SMP. Di pagi hari yang cerah, ayam
berkokok dengan lantangnya. Aku pun terbangun seperti biasa untuk melakukan
aktivitasku sehari hari, mulai dari membersihkan diri, sarapan, mempersiapkan
peralatan sekolah dan berangkat ke sekolah. Aku yang terbiasa menggunakan
angkutan umum pun berangkat menuju ke sekolah dengan penuh semangat. Jarak antara
rumah dan sekolahku tidak terlalu jauh sekitar delapan kilo meter. Sesampainya
di sekolah bel sekolah pun berbunyi menyambut kedatanganku.
Ku mulai hari dengan menimba ilmu
dan tak terasa delapan jam pun sudah terlewati. Beberapa menit kemudian bel
pulang pun berbunyi. Aku yang merupakan anggota aktif ekstrakurikuler Pramuka
pergi menuju sanggar Pramuka yang ada di sekolahku. Di sini, aku bisa bercakap cakap, bercanda tawa dan
menyalurkan bakatku melalui latihan latihan yang ada di pramuka.
Petang hari pun tiba, aku mulai
bergegas pulang ke rumah. Aku pun mengajak temanku Putri dan Cahya untuk
menemaniku pulang menggunakan angkutan umum. "Put, yuk pulang" ujarku
pada Putri. "Maaf, aku pulang sama Cahya naik motor" ucap Putri
dengan nada mengejek. "Apakah kalian tega meninggalkanku pulang
sendiri?" Tanyaku dengan memelas. "Tapi mau bagaimana lagi, kami
minta maaf" ucap Cahya. Aku pun dengan wajah memelas memberanikan diri
untuk pulang ke rumah sendiri. Aku raih telepon genggam yang
ada di tas sekolahku. Ku lihat jam sudah menunjukkan pukul 17.30. Gerbang
sekolah pun mulai kutinggalkan. Aku mulai
melambaikan tangan seraya memanggil angkutan umum. Angkutan umum yang pertama
sudah penuh desak orang – orang. Angkutan umum yang kedua sudah tidak mau
mengambil penumpang dikarenakan sopir tersebut akan pulang ke rumah.
Pada akhirnya saat aku melambaikan tangan untuk ketiga kalinya angkutan umum
yang ketiga pun mau berhenti.
Langkah kakiku perlahan demi
perlahan memasuki angkutan umum yang sudah berumur tua tersebut. Saat aku mulai
duduk, kulihat di depan pandanganku terlihat sesosok pria yang misterius. Pria
itu memakai pakaian serba hitam yang penuh dengan sobekan serta topi seperti
penjahat. Aku beranggapan bahwa lelaki itu dingin, pendiam, dan penuh dengan
misterius. Aku menatapnya dalam-dalam penuh keheranan.”Apakah pria ini akan
menculik ku dan membawaku pergi ke suatu tempat” tanyaku dalam hati. Saat pria
itu menatapku, aku pun bergegas memalingkan wajahku. Angkutan umum yang membawa
ku melaju dengan kecepatan normal, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu
lambat.
Tak terasa aku hampir tiba di
rumah. Aku raih uang yang ada di dalam saku celanaku. Tak sengaja uang koin
500,- ku terjatuh. Kemudian aku pun melihat ke bawah mencari uang koin
tersebut. Tetapi tidak dapat ku temukan. Aku hendak melihat ke bawah tempat
duduk pria tersebut. Namun, aku tidak memiliki keberanian yang cukup untuk
melakukannya.
Pada akhirnya kuberanikan diri
untuk membayar 2.500,- saja. Aku pun tiba di tempat tujuan ku tepat di depan
jalan masuk rumah ku. Saat aku melangkahkan kaki ku untuk turun dari angkutan
umum sang pria itu pun menepuk bahuku. Sontak aku langsung kaget dan penuh
tanya tanya. ”Apa yang mau diinginkan oleh pria ini” ujarku dalam hati. Saat
aku memalingkan wajahku pria itu mengambil uang koin 500,- dari tempat duduk
yang aku duduki tadi. Uang yang aku cari dari tadi ternyata aku duduki sendiri.
“Terima kasih pak“ ucapku. Pria itu hanya menganggukan kepala tanda balasan
ucapanku. Aku pun membayarkan ongkos angkot kepada sopir angkot tersebut.
Setelah itu, aku berjalan menuju rumahku.
Di dalam perjalanan, aku merenungi
apa yang telah aku pikirkan tentang pria. “Oh Tuhan apa yang aku pikirkan
tentang pria itu salah. Seharusnya aku tidak menilai seseorang dari
penampilannya saja” sesal ku dalam hati.
Ketidakberuntunganku
Oleh : Fidya Almira ( 11 )
Ini ceritaku dan kelima temanku
ketika kami masih duduk di bangku 1 SMA. Pertemananku dan teman-temanku pun
mulai terjalin. Banyak tugas dan PR datang silih berganti. Di saat pelajaran
Bahasa Inggris Lintas Minat, kami kelas 10 IPA 7 diberi tugas untuk membuat
iklan Bahasa Inggris. Tugas itu dikerjakan berdua oleh teman sebangku. Waktu
itu aku duduk bersama Mega teman SMP-ku. Kami berniat untuk membuat plesetan
iklan Mizone menjadi Finezone. Aku dan Mega pun membuat rancangan bagaimana
caranya kami membuat iklan tersebut. Kami pun bingung akan melakukan syuting
iklan dimana. Setelah memikirkan berbagai tempat yang memungkinkan untuk
syuting iklan ini. Kami pun memutuskan untuk syuting di perumahan sebelah barat
SMAN 1 KRIAN.
Hari Sabtu saat pulang sekolah, Aku
dan Mega bersama keempat temanku Reza, Suci, Fadillah dan Erliana pergi ke
tempat yang sudah kami tentukan. Kami memakai 3 sepeda motor. Kami melewati dua
jalan yang berbeda arah. Fadillah dan Erliana sudah menemukan jalan sepi yang
cocok untuk syuting iklan. Tetapi Aku, Mega, Reza dan Suci berada berlawanan
arah dengan Fadillah dan Erliana. Untuk menyusul Fadillah dan Erliana, kami pun
harus memutar arah untuk menyusul mereka. Suci dan Reja pun memutar arah untuk
menyusul Fadillah dan Erliana. Tetapi jalan pikiranku berbeda, aku ingin meraih
jalan pintas yang cepat untuk menyusul mereka dengan melewati rumput-rumputan
yang menjadi batas jalan. Aku pun melindas rumput-rumput yang tidak berdosa itu
dengan roda sepeda motor.
Setelah Aku sudah melewati rumput
yang menjadi pembatas jalan itu, tiba-tiba dari arah samping ada seseorang yang
meneriakiku. “Hai kamu, sini!!!” Seketika itu juga, bak disambar petir, Aku
takut setakut-takutnya mendengar suara orang tersebut. Aku hanya dapat diam
membisu di atas sepeda motor, begitu pun dengan Mega yang aku bonceng, dia
tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Dengan mengambil jarak yang lebar,
orang itu berjalan ke arahku langsung mematikan sepeda motor dan mengambil
kunci motorku. Aku langsung kikuk melihatnya, tak tahu harus berkata apa.
Kemudian orang itu yang ternyata adalah satpam di perumahan itu langsung
berbicara kepadaku “Hai kamu kenapa melindas rumput-rumput ini, kamu tidak tahu
ya kalau tidak boleh melewati rumput apalagi melindasnya dengan roda sepeda
motormu itu!” “Oh....maaf pak maaf,” kataku. “Lihat itu roda sepeda motormu
membuat rumputnya terlindas,” balasnya. “Iya maaf pak maaf,” balasku. Hanya
kata itu yang dapat terlontar dari mulutku. “Saya tidak mau tahu bagaimana
caranya rumput-rumput yang terlindas itu harus dapat berdiri kembali seperti
semula, kalau tidak kamu akan saya laporkan ke polisi sekarang juga.” Seketika
itu juga, hatiku pun mencelos mendengarnya. Rasa takut di dalam diriku pun
semakin membuncah. Aku berpikir di dalam hatiku, kenapa masalah yang menurutku
tidak terlalu besar ini harus dilaporkan ke polisi. “Jangan pak jangan, saya
minta maaf. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi,” kataku. “Ya tidak bisa
begitu saja, saya tidak mau tahu bagaimana caranya rumput-rumput yang terlindas
ini harus dapat berdiri seperti semula.” Aku hanya bisa diam tak tahu harus
berkata apa lagi, begitu pun dengan Mega. Pak satpam itu pun melanjutkan “Ya
sudah begini saja, kamu harus mendirikan rumput-rumput yang terlindas ini
dengan tangan sampai terlihat berdiri semua.” Aku pun menjawab “Iya pak iya,
akan saya lakukan.”
Satpam itu pun mengawasi dari pos
satpam dengan membawa kunci motorku bersamanya, dengan maksud agar aku tidak
kabur. Aku mendirikan rumput-rumput yang terlindas itu dengan tangan kosong dan
dibantu oleh teman-temanku. Tetapi ada satu temanku yang tidak membantuku, ia
malah memfotoku saat mendirikan rumput. Aku geram melihatnya “Kenapa kamu tidak
membantuku malah memfotoku?” Ia pun menjawab “Apa kamu tidak melihat jika ada
banyak orang berlalu lalang lewat sini, aku memfotomu seolah-olah ini hanyalah
guyonan bukan hukuman.” “Oh gitu....iya deh”, balasku.
Setelah sekiranya aku sudah
mendirikan rumput itu seperti semula dengan berbagai adegan jatuh bangun, Pak
satpam yang ku tak tahu namanya itu datang menghampiriku. Aku pun langsung
berdiri dan berkata “Pak apakah sudah berdiri semua rumputnya? Apa ada yang belum berdiri?” “Sudah-sudah,
tapi lain kali jangan diulangi lagi ya..... Ini kunci motormu.” Aku pun
menerimanya dan langsung meminta maaf lagi. “Sekali lagi saya minta maaf ya
Pak,” kataku. “Iya”, balasnya. Aku pun langsung menyalaminya dan segera pergi
dari tempat itu.
Kami pun mencoba mencari tempat lain
yang masih di daerah perumahan itu. Kami pun menemukan tempat lain yang cocok
untuk syuting iklan ini. Tetapi ketika kami ingin memulai syutingnya, tiba-tiba
ada satpam yang berbeda dari satpam tadi datang menghampiri kami. “Maaf ya Dek
mengganggu, ini ada acara apa ya kok ada kamera-kamera segala?”, ujarnya. “Oh
iya, ini kami ada tugas Bahasa Inggris untuk syuting iklan, jadi pakai kamera,”
ujarku. “Oh kalau disini tidak boleh pakai kamera, kalau sekedar jogging atau
lari-lari saja tidak apa-apa,” balasnya. “Kenapa loh pak tidak boleh
menggunakan kamera?” tanyaku. “Waduh, kalau itu saya tidak tahu Dek, itu sudah
perintah dari atasan saya,” balasnya. “Oh begitu ya Pak, ya sudah kami minta
maaf ya Pak,” ujarku. “Iya,” balasnya. Kami pun bingung akan syuting dimana
lagi dan kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing karena hari mulai
sore.
Satu minggu kemudian, kami mencoba
untuk mencari tempat syuting lagi. Setelah kami memikirkan berbagai tempat yang
cocok. Kami pun memutuskan untuk memilih Balai Desa Kraton sebagai tempat
lokasi syuting iklan. Kami pun meminta izin kepada salah satu warga desa
sekitar agar tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi. “Bu, kami ada tugas
untuk syuting iklan, apa kami boleh syuting disini?” tanyaku. “Oh boleh-boleh, balai
desanya tidak dipakai kok,” balasnya. “Terima kasih ya Bu,” kataku. “Iya,”
balasnya. Kami pun melakukan syuting iklan dengan lancar. Tak terasa hari sudah
sore dan kami pun juga sudah menyelesaikan syutingnya. Kami pun memutuskan untuk sholat di musholla
terdekat. Setelah kami menunaikan sholat Ashar, perut kami keroncongan minta
diisi. Sebelum pulang, kami makan bakso di warung sekitar situ. Jam pun sudah
menunjukkan pukul 5 dan kami pun memutuskan untuk pulang ke rumah
masing-masing.
PENGGAPAI SEBUAH PUNCAK
Oleh : Inanda Aulia Rizqillah (
12 )
Apakah kalian pernah mendaki sebuah bukit?
Bukit yang terlalu tinggi,
Pastilah sulit untuk didaki.
Lelah,
letih, lesu
Akan
kalian rasakan selalu.
Akan
tetapi,
Kalian
pasti akan lebih berusaha, bukan?
Untuk
sampai,
Untuk
meraih,
Dan
untuk tiba di puncak itu.
Sama seperti kalian,
Akulah pendaki itu.
Yang menginginkan sebuah puncak,
Dengan segala pemandangan
Yang bisa kulihat dengan leluasa.
~Penggapai sebuah puncak~
Hai! Panggil saja aku dengan sebutan penggapai
sebuah puncak. Setelah membaca puisi di atas, bagaimana perasaan kalian? Apakah
kalian sama sepertiku yang menginginkan puncak itu? Saat kita kecil, pasti banyak
diantara kita yang pernah mendapat sebuah pertanyaan “Apakah harapan dan mimpimu?”. Sebuah pertanyaan yang sangat sepele tetapi akan berdampak besar bagi masa
depan kita. Kita sering menyebutnya “Cita-cita”.
Aku mendapatkan pertanyaan itu untuk
pertama kalinya saat aku duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Mungkin sebagian dari
kalian berfikir bahwa saat itu terlalu dini untukku mendapatkannya. Ibulah yang
memberikannya kepadaku. Aku yang masih polos pun menjawab, “Aku ingin menjadi ibu guru, bu!”. Seruku bersemangat. Ibuku kembali
bertanya, “Kenapa kamu ingin menjadi ibu
guru?”. “Aku ingin menjadi seperti ibu
guru yang mengajarku di Taman Kanak-kanak bu”, ucapku dengan gaya khas anak
kecil. “Ibu guru ketika mengajar terlihat
keren sekali, mengajarku dan teman-teman dengan sabar. Aku ingin menjadi sepertinya
bu!”, tambahku. Ibuku hanya tersenyum mendengarnya.
Hari demi hari, minggu demi minggu,
bulan demi bulan, dan tahun demi tahun pun berganti sampai aku memasuki Sekolah
Dasar. Ketika aku berada dikelas 2, aku kembali mendapatkan pertanyaan itu. Kali
ini datang dari ayahku. Aku pun kembali menjawabnya persis seperti saat aku masih
berada di Taman Kanak-kanak. Akan tetapi dengan sedikit tambahan “Guru Matematika” karena memang saat itu
aku sangat menyukai Matematika. Sama seperti ibu, ayahku pun hanya tersenyum mendengarnya.
Dahulu, aku berfikir bahwa untuk menjadi seorang guru matematika yang
kuinginkan itu sangat mudah. Cukup dengan kita menyukai bidang studi itu maka
kita dapat menggapainya. Akan tetapi pernyataan itu telah terbantahkan
sekarang.
Pertanyaan “Apakah
harapan dan mimpimu?” kembali menjumpaiku ketika aku duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama. Tepatnya saat aku berada dikelas
9 dan umurku telah mencapai 14 tahun. Umur di mana aku mulai menemukan
kedewasaanku sendiri. Saat itu seorang guru menanyakannya melalui sebuah kertas
konseling. Kertas yang mampu mengubah anggapan tentang harapan dan mimpiku. Kertas
yang menyadarkanku bahwa puncak itu tidak digapai dengan mudah. Akan tetapi
membutuhkan banyak perjuangan di dalamnya.
Disaat aku mulai berfikir bahwa puncak itu sangatlah
susah untuk digapai, salah satu sahabatku, Arum kembali mendorongku untuk
bangkit. Ia mengingatkanku bahwa untuk menggapai puncak tersebut memang
membutuhkan perjuangan yang banyak. Arum adalah sosok yang berharga dihidupku. Ia
juga lah yang selalu memotivasiku dalam menjalani kehidupan. Kadang aku iri dengannya
yang selalu bisa menghadapi segalanya dengan ceria. Arum lebih tua dariku 6
bulan. Ia adalah sosok yang sangat dewasa. Arum selalu mengingatkanku apabila
aku berada pada jalan yang salah sehingga aku selalu merasa terjaga apabila
bersamanya dan aku sangat mensyukuri bahwa Tuhan memberikanku sosok sahabat
yang sangat berharga seperti dirinya.
Aku semakin menyadari bahwa perjuangan itu sangatlah
banyak dan berat ketika aku akan memasuki SMA. Belajar sepanjang malam demi
mendapatkan hasil yang terbaik, mempersiapkan berkas-berkas untuk daftar ulang,
persiapan mental memasuki lingkungan baru, dan banyak hal lainnya. Hal-hal
seperti itu terkadang sering membuatku merasa tertekan dan terkadang pula
justru membuatku termotivasi untuk lebih berusaha dengan keras.
Melihat para siswa atau dapat disebut dengan pesaing
ku pada saat tes masuk Sekolah Menengah Atas benar-benar membuatku semakin
merasa tertekan dan semakin ingin mengalahkan mereka. Aku berhasil masuk di SMA
pilihan keduaku. Yah walaupun bukan yang pertama, setidaknya itu lebih baik daripada
tidak sama sekali. Aku berbeda SMA dengan Arum. Memang sedikit kecewa saat kami
tidak dapat lagi melakukan banyak hal bersama. Walaupun begitu kami masih sering
berkomunikasi untuk sekedar bertatap muka lewat video call,
curhat-curhat tentang keseharian kami saat di sekolah, atau terkadang kami juga
bertemu ketika ada suatu event dan aku mengajaknya. Kami pun berjanji
saat dewasa nanti kami akan bertemu kembali saat kami telah meraih puncak itu.
Sampai sekarang, ketika aku telah menjelma menjadi
seorang remaja berumur 16 tahun, aku semakin merasakan beban perjuangan itu. Bersanding
dengan teman-teman baru yang sangat kritis, tuntutan untuk selalu mendapatkan nilai
terbaik, dan pemikiran tentang fakultas untuk masuk perguruan tinggi sangatlah membebaniku.
Tetapi ucapan Arum kembali terngiang dalam pikiranku, “Akan ada banyak perjuangan untuk
mencapai puncak itu, tetap semangat dan selalu berdoa kepada Tuhan untuk memberikan
yang terbaik kepada kita”. Selain itu, sebuah kalimat yang berasal dari
novelku pun kembali menamparku untuk kembali ke dunia nyata bahwa, “Kita
tidak pernah tahu kapan perjuangan itu akan berakhir. Oleh karena itu, gunakan
kesempatan tersebut dengan baik selagi Tuhan masih memberikannya kepada kita”.
Sama seperti apa yang telah Arum ucapkan dan
apa yang telah aku baca, aku akan selalu semangat dalam mencapai puncak itu karena
aku yakin aku akan melihat banyak keindahan setelahnya. Bagaimana dengan
kalian? Perjuangan itu masih belum berakhir, justru perjuangan itu masih
sangatlah panjang walaupun kita tidak pernah tahu kapan itu akan berakhir. Oleh
karenanya, apakah kalian mau berjanji bersama denganku dan Arum untuk tidak kenal
lelah dalam meraih puncak kita masing-masing? Karena kitalah pendaki itu,
kitalah Penggapai Sebuah Puncak.
Sudahkah Kamu Menghargai Teman Mu ?
Oleh : Karina Novi S. ( 13 )
Apakah kamu
punya teman? Pasti punya kan, lalu menurutmu apakah definisi dari teman itu?
Apakah hanya sekedar orang yang kan menemanimu untuk jalan- jalan? Atau lebih
berharga dari itu? Apakah kamu sudah menghargai teman-temanmu? Aku rasa
sebagian besar belum, jadi untuk kalian yang belum mengerti pentingnya seorang
teman, aku punya secuil cerita untukmu.
Aku ingat
cerita ini terjadi ketika aku duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar. Mungkin
bagimu sudah waktunya aku untuk fokus belajar, tetapi aku dan teman-temanku
tidak serajin itu untuk melakukannya. Kami lebih memilih bermain sepulang
sekolah, apabila bel pulang telah berbunyi pada pukul satu siang jangan
salahkan kami kalau baru sampai rumah pukul tiga sore. Kebetulan hari itu
adalah hari Jumat jadi aku pulang ketika jam menunjukkan pukul setengah sebelas.
Sudah cukup lama aku tidak pulang bersama teman-teman karena aku dijemput
ketika bel pulang berbunyi, entah kenapa hari itu aku lebih memilih untuk
berjalan kaki dengan teman-temanku.
Seperti
biasa, sepulang sekolah kami akan berhenti di pos kampung untuk sekedar duduk
santai atau memanjat pohon mangga. Kami rasa pohon itu adalah pohon tak
bertuan, jadi tak apa kan kalau mengambil mangganya. Hari itu kami sangat
gembira duduk di pos itu, berbagi minuman, permen, bahkan aku ingat kalau teman
laki-lakiku, Adit dan Reyhan menakut-nakuti Icha dengan seekor siput. Hal yang
sangat membahagiakan.
Tidak
sampai di situ, karena merasa waktu
masuk sholat Jumat masih lama kami berjalan lagi ke arah rumah kemudian
memanjat pohon jambu air. Kami sangat senang memanjat di sana karena pohonnya
yang tinggi jadi tidak kelihatan orang yang lewat. Kami juga sering makan jambu
air di situ dan baru berlari terbirit-birit ketika sang pemilik pohon datang
atau ketika ada ibu-ibu yang lewat sambil berteriak ‘he nduk, le! Muliho! Wes sore ikulo’ barulah kami pulang ke rumah
masing-masing. Berhubung hari itu hari Jumat, jadi kami baru pulang ketika
speaker masjid mulai mengumandangkan puji-pujian.
Hari itu
masih terasa menyenangkan, hingga prahara terjadi. Sore hari itu aku sedang
bersiap diri untuk berangkat les, tiba-tiba terdapat sebuah masuk di ponselku.
Awalnya aku bingung, tumben sekali ada pesan tapi ketika kubuka pesan itu aku
terkejut. Pesan itu berisi ‘he Reyhan
gaono’, aku mengernyit bingung, maksudnya apa? Setelah aku membalas
masuk.lagi sebuah pesan ‘Reyhan
meninggal’. Loh, ini maksudnya apalagi? Aku sadar memamg biasanya
teman-temanku suka bercanda, tapi biasanya bercandanya tidak sedramatis ini.
Aku masih keras kepala, tidak percaya atas pesan itu. Kubalas lagi pesan itu
dan balasan datang ‘Nek gak percoyo
deloken dewe nang ngarep omahe lak onok ambulan’. Karena tempat lesku
melewati rumah Reyhan jadilah aku benar-benar ingin membuktikannya.
Dan
pikiranku kosong seketika, ketika aku tahu di depan rumah Reyhan terdapat
sebuah mobil polisi dan ambulan serta banyak orang disekitarnya. Jadi semua ini benar? Jadi teman-temanku
tidak berbohong? Itulah pikirku saat itu. Ketika les pun aku tidak bisa
berpikir apa -apa, yaang kupikirkan adalah bagaimana bisa Reyhan pergi secepat
ini? Bukankah tadi kita masih bermain bersama? Bukankah tadi kita masih
bergurau bersama? Bagaimana bisa?
Aku sedih
karena tidak bisa melakukan apa-apa. Aku
sudah berencana untuk melayat ke rumahnya sebelum dia dikebumikan, tapi orang
tuaku melarang keras. Aku hanya bisa menangis karena tak bisa memberikan
penghormatan terakhir untuknya. Tetapi ada yang membuatku lebih sedih lagi, kau
tahu apa? Tak ada satu pun orang yang mengerti penyebab kematiannya. Saksi
pertama yang menemukannya berkata bahwa ia menemukan Reyhan dalam keadaan
terbujur kaku di depan sebuah SMK. Polisi yang melakukan olah TKP pun tak bisa
menyajikan kebenaran, mereka menduga bahwa Reyhan jatuh ketika memanjat atap
pos satpam SMK kemudian jatuh dan dadanya menghantam batu.
Aku sedih. Aku
sangat sedih. Mengapa hari-hari sebelumnya aku tidak pulang dengan berjalan
kkaki dengan mereka? Mengapa aku lebih memilih dijemput. Mengapa aku tidak bisa
membuat kenangan yang lebih banyak lagi dengannya. Aku menyesal. Aku sangat
menyesal. Mengapa aku lebih mementingkan pergi les daripada ke rumahnya?
Mengapa aku tidak bisa memberikan penghormatan terakhir untuknya?
Aku rasa
ceritaku cukup sampai di sini. Jadi untuk kamu yang merasa belum menghargai
temanmu, hargailah. Janganlah kamu hanya mau berteman ketika ia dalam keadaan
senang. Bantulah ia ketika ia dalam kesulitan, jadilah pelindung ketika ia
mendapat masalah. Relakan dirimu untuk menampung semua keluh kesahnya, karena
kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Untuk kamu yang belum
memiliki banyak memori tentang teman-temanmu, lekaslah membuat cerita dengan
mereka. Selagi sempat marilah kita membuat kenangan-kenangan indah yang tak
akan pernah terlupakan, kenangan yang akan kita rindukan di masa kelak.
Sekian
cerita dariku, jangan sampai kalian menyesal sepertiku. Aku pamit dulu, sampai
jumpa!

Komentar
Posting Komentar