Kumpulan Cerpen (Part 2)


KENAKALANKU SAAT ITU

Oleh : Fadillah R. S ( 07 )

Kriiing... kriiing... bel pergantian jam pelajaran pun berbunyi, saatnya pelajaran seni budaya. Pelajaran yang dibimbing oleh guru yang santai tapi serius. Ya guru seni budaya kami sebenarnya sosok yang asik dan baik, tetapi untuk urusan disiplin dan tanggung jawab beliau juaranya. Aku dan teman sekelasku punya pengalaman kelam dengan beliau, sehingga kami engan untuk mengulangi kejadian itu. Aku dan teman sekelasku bergegas jalan menuju ke ruang seni budaya. Beberapa saat setelah kami sampai di ruangan, guru seni budaya kami datang. Pelajaran berlangsung dengan tenang dan kondusif. Ditengah jam pelajaran beliau menyuruh kami untuk membuat kelompok. Kelompok untuk menggambar figuratif di atas kain mori.
Eitsss... sebelum kita melanjutkan cerita lebih jauh lagi, perkenalkan namaku Fadillah saat ini aku kelas 11 di SMA Negeri 1 Krian. Seiring berjalannya waktu tugas tugaspun silih berganti, tidak ada waktu untuk tidur bahkan makanpun akan terasa hambar, benar? Oiya, disini aku akan menceritakan sedikit pengalamanku di bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku adalah alumni dari salah satu SMP favorit di Sidoarjo, aku alumni penghuni kelas 7-2, 8-2,dan 9-2.  Ada yang tau dimana? Ya di SMP Negeri 2 Sidoarjo. Di sana, aku memiliki beberapa orang sahabat yang bisa memperbaiki maupun merusak mood ku. Cukup segitu ya sekilas tentang aku he.. he.. he, mari kita lanjutkan ceritanya.
Detik berganti menit, menit berganti jam, jam terus memutar mengganti hari. Sudah H-2 dateline pengumpulan tugas seni budaya. Aku dan teman sekelompokku pun bingung bagaimana cara menyelesaikan tugas itu dalam satu kali kerja. Rani, Nadila, dan Tarisa mereka adalah anggota kelompok sekaligus beberapa dari sahabatku. Hingga bel pergantian jam pelajaran berbunyi kami masih terus memikirkan konsep. Setelah sepakat untuk menggunakan jam pelajaran saat itu yakni mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Setelah membawa semua alat yang akan kami gunakan untuk menggambar, kami berempat pun berjalan menjauhi ruang kelas. Kami tidak mau membuang sedikit waktu yang tersisa ini.
Di tengah kami menyelesaikan sketsa yang kami buat, tiba tiba salah satu suara dari anggota kelompok kami terdengar. ”Hei.. rek liaten ada bu SL masuk kelas”, suara lirih itu sontak membuat kami bertiga kaget. Padahal sebelumnya kami berfikir bahwa jam pelajara Ilmu Pengetahuan Alam yang dibimbing oleh bu Sri Lestari kosong. Hati ku pun mulai gelisah. Harus lanjut mengerjakan tugas seni budaya yang dateline nya besok lusa atau kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, tanyaku dalam hati. Aku dan teman kelompokku berdiskusi, akhirnya kami sepakat untuk tetap lanjut mengerjakan tugas seni budaya. Disela waktu kami fokus untuk mengerjakan tugas seni budaya, akhirnya kami beristirahat sejenak.
Bagaikan jatuh tertimpa tangga pula, mungkin itu salah satu peribahasa yang menggambarkan keadaan kami saat itu. Keringat mengucur dari badan kami, setelah melihat beberapa teman kelas kami membawa beberapa tas ke ruang BK, ya beberapa tas itu tas kami. Selang beberapa menit setelah beberapa teman sekelasku kembali dari ruang BK bel tanda berakhirnya jam pelajaran pun berbunyi. Setelah melihat bu SL keluar dari kelas, kami pun bergegas merapikan tugas dan kembali ke kelas. Langkah demi langkah kami lewati bersama penyesalan dan juga memikirkan apa yang harus kami lakukan selanjutnya. Sesampainya kami di kelas beberapa sahabat kami menanyakan keberadaan kami pada saat ada Bu SL. Kami menceritakan kejadian yang sebenarnya. Aku dan teman kelompokku segera menuju ruang BK untuk mengambil tas kami. Setibanya kami di depan ruang bk, mata kami terbelalak melihat pintu ruangan itu sudah tergembok. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke kelas.
Orang yang tidak punya arah dan tujuan, mungkin itu kalimat yang dapat mewakili keadaan ku dan teman kelompokku. Akhirnya kami duduk termenung di teras depan kelas dan memikirkan bagaimana cara kami mengambil tas. Setelah berdiskusi, kami semua setuju untuk mengambil tas kami di ruang BK. Kami meminta bantuan kepada salah seorang teman yang masih di kelas, kebetulan saja ia juga sahabat kami, Waly. Setelah Waly bersedia untuk membantu menggambilkan tas kami dengan cara memanjat jendela di ruang BK, kami berlima pun segera berjalan menuju ke ruang BK.  Ketika Waly masuk rangan itu, kami berjaga jaga di sekitar ruangan itu. Waly pun keluar melalui jendela dan membawa tas kami berempat. Setelah itu kami pun pulang.
Sesampainya aku di rumah, aku membuka ponselku dan melihat chat room yang berisikan teman kelompok seni budayaku. Rupanya teman- temanku itu sepakat datang lebih pagi untuk mengembalikan tas kami ke ruangan BK.
Pagi pun tiba, tak lama setelah aku sampai terlihat rani dan nadila. Kami menununggu kehadiran tarisa, beberapa menit kemudaian terlihat kedatangan Tarisa. Sat itu masih sekitar pukul 05.45, Kami pun bergegas menuju belakang ruang BK. Sekolah sangat sepi dan teman sekelasku belum ada saatu pun yang datang selain kami. Setelah mengambil buku pelajaran saat itu, akhirnya aku memutuskan untuk memanjat jendela yang merupakan jalan masuk ke ruang BK. Setelah mengembalikan tas kami di tempat semula, aku pun keluar dari ruangan itu.
Waktu pun berlalu dengan cepat, kami mengikuti pelajaran seperti seharusnya. Bel istirahat pun berbunyi, kami memanfaatkan waktu isirahat untuk mengambil tas kami di ruang BK. Kami berjalan perlahan menuju ruang BK sambil mendiskusikan alasan yang akan kami sampaikan. Setelah sampai di depan ruang BK, kami pun masuk ke dalam. Di sana ada guru BK kami, Bu Eko. Setelah beberapa kata beliau ucapkan, beliau memberikan tawaran kepada kami “ini orang tua kalian dipanggil ta?” sontak kami berempat sangat terkejut mendengar tawaran itu. Hatiku tak karuan, pikiranku pun melayang kemana-mana. “Jangan bu” ucap Nadila, “jangan bu, kami janji tidak akan mengulangi lagi”, sahut Rani. Aku dan Tarisa hanya diam membisu. Setelah  menasehati kami, bu eko pun memperbolehkan kami untuk mengambil tas dan kembali ke kelas.
Senangnya perasaanku saat itu. Biarlah certia itu menjadi kenangan diantara aku, Rani, Nadila,dan Tarisa. Taklupa permintaan terima kasih ku ucapkan kepada Waly yang turut membantu kami dalam memecahkan masalah.  Setelah melewati peristiwa itu, aku tidak mau mengulanginya lagi.  Selain itu, aku berada di tahun ketigaku di Sekolah Menengah Pertama.


MIMPI FANTASI TUMPAS MAFIA

Oleh : Fani Rachmadiyanto ( 08 )

Aku mengingat sejak kapan aku melupakan teknologi ini. Aku seperti hidup di masa lalu, tanpa tahu bahagianya diriku bersama hujan. tapi sekarang, aku tidak bisa merasakannya kembali. aku sadar tak bisa kembali lagi ke masa lalu. Masa yang tak dapat digambarkan betapa bahagianya masa lalu. Aku seperti tak pernah bersyukur dengan kehidupanku sekarang maupun masa lalu. Padahal, apa yang kuinginkan hampir tercapai. Hanya saja waktu yang tak pernah bisa kuputar tuk kembali ke masa lalu.
Apalah arti semua teknologi yang ada di sini, semuanya serba mudah dan canggih. Tapi belum ada teknologi yang bisa memutar waktu menuju masa depan maupun masa lalu. Ini sungguh menyebalkan! Banyak teori tentang masa lalu, misal kehidupan manusia purba. Tapi, mengembalikan semuanya ke masa lalu sangatlah tidak masuk akal untuk pemikiran.
Semua hal yang kulihat seperti kasat mata. Aku termasuk orang teraneh di dunia ini, begitupun kedua temanku yang seperti makhluk asing. Mereka bukan hanya membuatku tersenyum, namun sampai tertawa yang tak berujung dan bertepi dengan rasa nyeri di perutku. Tentu saja mereka menjengkelkan dan bodohnya, aku selalu gagal membuat mereka berhenti menggodaku. Semua pemikiranku dengan mereka tak akan ada yang sejalan. Terkecuali, satu hal tentang dunia teknologi. Menurutku, teknologi bukan segalanya dan ada batasannya. Bukan untuk menghilangkan kebiasaan lama atau budaya dunia yang benar-benar punah.
Memang semua tampak mudah, cepat dan efisien. Sistem negara yang dulu kuimpikan telah di depan mata.Teknologi benar-benar menjadi penguasa makhluk hidup. Komunikasi lebih cepat dengan hitungan persekian detik. Tanpa kabel handphone telah tercharger dengan sendirinya melalui sebuah jaringan. Ini benar-benar dunia yang aku inginkan. Namun, terkadang apa yang kita inginkan tak sepenuhnya menghasilkan kebahagiaan.
Perkembangan teknologi memang penting, tidak kalah penting mempunyai 2 orang sahabat Rizal dan Fazat. Kita lebih sering berkomunikasi secara langsung, rasanya ada kebahagiaan lain dibaliknya. Tidak ada lagi sistem sekolah bersama melainkan Home Schooling. Setiap anak diberi satu laptop dengan fasilitas bisa memilih mata pelajaran yang disukai, baik berupa teks, gambar, video, atau video call dengan guru yang bersangkutan. pemerintah yang bertanggung jawab atas semua fasilitas tersebut. Lebih mudahnya, semua siswa telah terdaftar dengan semua alat digital seperti komputer yang bisa menginput data secara otomatis.
Simple saja, semua penduduk sudah terdata secara digital. Juga pendidikan, melalui laptop tersebut kita bisa mengambil pelajaran apa saja, kapan saja dan dimana saja. Untuk ujian hanya membutuhkan gadget dan jaringan Wi-Fi. Dilakukan serentak di seluruh negeri, melalaui teknologi scaner yang super canggih siswa tak bisa mempunyai laporan pembelajaran yang sama.
Rizal pada acara pameran satu tahun lalu. Aku tertarik dengan teknologi yang dibuatnya dan aku bisa bersahabat baik sampai sekarang mungkin karena ketertarikanku itu. Siapa sangka, sore harinya Rizal dan Fazat memberiku harapan yang hilang tentang arti dalam sebuah persahabatan. Mereka memberiku teknologi tersebut sebagai hadiah ultahku yang ke-15. Aku berusaha menolaknya, namun mereka memaksaku untuk menerimanya. Itu hanya sebuah trik agar aku tidak malu menerimanya. Tentu saja hatiku senang dengan semua itu, terlebih mereka hadir sebagai keluarga baru yang memberikan kebahagiaan tersendiri. Pada zaman yang semakin gila, mereka masih tersisa sebagai makhluk aneh yang cerdas. Namun justru tak begitu mereka menyukainya, hanya sebatas aplikasi pengetahuan dan hobi.
Mereka datang satu detik lebih cepat. Aku segera menghampiri mereka. Tiket masuk rumahku cukup status mereka sebagai sahabat-sahabatku.“Pangeran telah datang, beri hormat padanya kawan.” Lelucon Fazat selalu membuat moodku menjadi jelek. Beberapa detik berlalu, aku berusaha tidak menanggapi apa yang Fazat katakan. Perhatian mereka teralih dengan kutanyakan apa rencana sebenarnya untuk pemberontakan ke sekretaris kepala sekolah. Fazat tak menjawab, hanya mengambil ponsel dari tanganku dan menuliskan sesuatu di dalamnya. Sedangkan Rizal hanya terkekeh.“Nih, gue balikin. jangan berfikir macam-macam, baca deh file yang aku kirim pelajari, hayati dan nikmati.” Celoteh Fazat.
Aku tidak menanggapinya, aku hanya fokus dengan file yang dikatakan Fazat. Semuanya tampak rumit juga berbahaya. Aku tidak mempunyai pilihan, ini. demi kodrat manusia sebagai makhluk sosial.“Aku ngerti, gak perlu dijelasin lagi. Walaupun aku gak segenius kalian, tapi please deh aku juga cerdas kali dan aku tahu kalian sudah merencanakan ini dengan persiapan matang.” Aku berlagak sok mengerti. “It’s okay, bagus kalau gitu. Kita gak perlu jelasin lagi. By the way, tumben hari ini kau ganteng.” Rizal si waras malah menggodaku. “Makasih, emang dari dulu aku ganteng.” Perkataanku sungguh menjijikkan.
Kini, suasana menjadi tegang. Kita telah sampai di istana kepala sekolah. Kami disambut dengan tatapan curiga sekretaris kepala sekolah. Lalu, membawa kami ke ruangannya. Ini sungguh persis dengan apa yang kami rencanakan. Sekretaris kepala sekolah menjelaskan bahwa kepala sekolah sedang ke luar kota. Tepat sekali, kita sudah mengetahuinya. 2 langkah lebih maju, kita telah mengetahui segalanya.
Kami berusaha untuk tidak bosan dengan penjelasan kuno Sekretaris kepala sekolah. “Apakah ada yang salah dengan semua yang saya katakan?” Wajah tanpa dosanya benar-benar tidak lucu.“Tentu saja, tidak! Dengan semua pemalsuan dokumen, pengajuan pendapat dari orang-orang penting. Kau kira ini omong kosong? berhentilah pura-pura tidak tahu. Kau membuat sistem sekolah seperti sekarang, karena kau berhasil menghasut kepala sekolah. Itu rencana awal kau, agar generasi muda terpecah karena saling egois. Dan saat kekuasaan kosong kau manfaatkannya untuk mengambil alih sekolah, menjadi penguasa yang haus akan kekuasaan. Dan entah apa yang kau rencanakan selanjutnya. Mungkin kau bisa mengelabui kepala sekolah, tapi tidak denganku!. Tentang teknologi pemalsuan, itu adalah hasil dari perampasan terhadap seseorang yang genius dan kau tahu mengapa aku mengetahuinya?” perkataanku berhenti, membiarkan Sekretaris kepala sekolah melakukan perlawanan.
Sedangkan Rizal dan Fazat telah berhasil memasang kamera penghubung ke siaran langsung tv juga rekaman CCTV. “Tentu saja tahu, kau fikir aku bodoh?. Apakah misi kau sama dengan ayahmu, nak? oh ya, tentu saja sama karena kau anaknya bukan?” Sekretaris kepala sekolah sudah terpancing emosinya. “Kau tak lebih dari kata bodoh, kau fikir dia anak si genius. Tentu saja, itu pemikiran terbodoh yang kau lihat. Aku hanya ingin tahu seberapa cerdasnya kau? Pada kenyataannya kau memang bodoh, apakah masih tidak mengerti? It’s okey, no problem! Akan ku katakan bahwa aku lah anaknya. Kau adalah sekretaris konyol yang hebat. Tentu saja tidak sehebat dengan apa yang kurencanakan. Jangan kau tanya apa yang aku inginkan, karena aku sudah mendapatkan semua yang aku inginkan.” Rizal terlihat begitu santai dengan semua ucapannya. “Sudah kawan, simpan tenaga kau untuk hal yang lebih berarti.” Fazat menepuk bahu Rizal. “Senangnya bisa menonton pertunjukkan secara live, beruntungnya aku. Dan satu lagi yang kau tidak tahu pak, semua orang di negeri ini telah menyaksikan semua hal yang kita lakukan saat ini.” Rizal terlihat sombong sekali, lelucon yang tak lucu memang. “Beraninya kalian! penjaga!” Penjaga datang dan meringkus Sekretaris kepala sekolah, tentu saja digiring ke dalam ruang 6×6 m. “selamat tinggal dan nikmatilah, pak!” Kami mengucapkannya serempak.
Kulihat rintik hujan lebat di balik jendela indahku. Masih dalam keadaan terbaring di atas ranjang favoritku, aku setengah menyadari apa yang sebenarnya terjadi itu hanyalah mimpi indahku yang membawa fantasiku ke dunia seorang mafia sekolah. Kuharap mimpiku menjadi kenyataan untuk menumpas kecurang dan kejahatan seseorang atau oknum tertentu agar kehidupan menjadi tentram.



Cinta, Musik, dan Dilema

Oleh : Fauzy Bima P ( 09 )

“Hai, apa kabar ?” begitu adalah kata kata yang terucap dari seorang wanita yang kukenal di bangku SMP.
Ceritaku ini berawal dari semenjak aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Aku adalah seseorang yang tidak begitu mahir dalam segala bidang mata pelajaran. Aku hanyalah murid biasa yang disekolahkan oleh orang tuaku untuk mengerti makna dari pentingnya pendidikan. Sehari-hari, sebagian waktuku kuhabiskan hanya untuk memahami pelajaran yang mereka katakan seolah-olah itu adalah semua dari kunci kesuksesan. Aku hanya berpikir, “Apakah salah bagiku untuk berpikir berbeda?”. Tidak seperti temanku yang lain, aku lebih senang terhadap seni, khususnya di bidang musik. Kesenanganku terhadap musik sudah berawal sejak aku duduk di bangku kelas 6 SD. Pada saat itu, aku merasa bahwa musik dapat menyalurkan rasa dan perasaan yang tidak bisa kita ungkapkan melalui kata kata.
Hari demi hari kulewati dengan menuntut ilmu di sekolah dan tidak lupa berlatih bermain musik juga karena itu adalah sesuatu yang sangat kunantikan pada saat hari sekolah telah usai. Bahkan, ketika jam pelajaran kosong aku sering bermain gitar sendiri di kelas. Aku merasa setelah lelah menghadapi semua pelajaran di sekolah, sesuatu yang dapat membuatku merasa segar kembali adalah bermain musik.
Pada kala itu, ada sebuah pengumuman bahwa akan diadakannya “Lomba Musik Pelajar Tingkat SMP”. Dalam hatiku, aku berangan bahwa aku dapat menjuarai lomba tersebut. Setiap hari, aku berlatih musik dengan band-ku. Posisiku sebagai pemegang Bass Gitar atau yang sering disebut dengan ‘Bassist’. Setiap hidup pasti ada rintangan, begitulah yang dialami oleh band yang sudah terbentuk saat aku masih di bangku SMP. Kita berlatih sangat keras hanya untuk mengubah suatu aransemen dari suatu lagu. Kadang, perselisihan tidak dapat dihindari. Namun, hal tersebut akhirnya bisa diselesaikan dengan adanya satu visi dan misi yang sama pada grup musik ini.
3 bulan telah berlalu, semua personil band dan aku sendiri sepertinya sudah siap menghadapi sesuatu yang kita takuti. Hal tersebut adalah hari dimana penampilanku akan dinilai oleh dewan juri yang sudah berpengalaman dalam bidang seni. Awalnya, aku sangat gugup. Namun, pada akhirnya hal itu hilang karena aku yakin bahwa kerja keras-ku akan membuahkan hasil yang sama. Sebelum menginjakkan kaki kita ke panggung, aku terus menerus memanjatkan doa kepada Allah SWT agar kami semua diberikan kemudahan ketika akan tampil nanti.
Aku menginjakkan kakiku ke panggung tersebut. Hatiku sangat berdebar sekali. Rasanya tidak karuan sekali ketika semua penonton melihat ke arah-ku. Dalam hatiku, aku berkata, “Apakah ini rasanya tampil di atas panggung dan dilihat oleh sekelompok orang?”. Aku juga berkata dalam hatiku, “Aku pasti bisa.”. Aku memainkan alat musik-ku dengan penuh keyakinan. Apa yang kupikirkan pada saat itu adalah dapat bermain dengan sempurna tanpa kesalahan sedikitpun.
Penampilan kami telah selesai, dan aku merasa sangat lega dapat mempersembahkan karya terbaik dari kami. Aku merasa puas karena apa yang kulakukan untuk mencapai kesempurnaan dalam penampilan akhirnya terbayarkan. Semua anggota band-ku juga tidak menyesal telah mengorbankan waktunya untuk berlatih bersama.
Pengumuman tentang siapa yang memenangkan kompetisi lomba sedang diumumkan. Aku hanya berpikir bahwa aku tidak mungkin memenangkan lomba itu karena kupikir banyak sekali peserta yang lebih baik penampilannya daripada aku. Tetapi, tuhan berkehendak lain. Nama dari band-ku dipanggil untuk menjadi juara ke-2. Kami semua tidak menyangka bahwa hal ini akan terjadi. Aku sangat senang karena prestasi ini. Meskipun tidak menjadi yang pertama, setidaknya kami masih mendapatkan nomor ke-2 sebagai peserta yang terbaik.
Keesokannya, teman-temanku menanyaiku tentang hasil dari lomba tersebut. Mereka berkata, “Bagaimana hasilnya?, kau menjuarainya?”. Aku membalas, “Ya, walaupun tidak menjadi juara 1, kita memperoleh juara ke-2.”. Teman-temanku mengucapkan selamat kepadaku atas prestasi yang kuraih. Saat itu aku sadar, bahwa teman-temanku adalah sosok yang peduli terhadap sesama. Semenjak kejadian itu, aku lebih akrab lagi bercanda dengan temanku. Kuhabiskan waktu bersama dengan bercanda ria ketika jam pelajaran kelas kosong.
Hari terus berlalu, aku semakin giat untuk melatih bakat bermusikku. Aku tau dan yakin bahwa suatu hari nanti, kerja kelasku akan terbalaskan oleh hasil yang sempurna. Karena tidak mungkin hasil dari suatu kerja keras menghianati hasilnya. Seperti kata pepatah, barangsiapa yang menanm, maka akan mengunduh. Itu adalah pedoman dalam hidupku untuk terus semangat dan tidak mudah menyerah ketika ada halangan dan rintangan yang datang kepadaku. Aku yakin bahwa suatu hari entah kapan, kebahagiaan itu akan datang.
Sudah 2 lomba yang kujuarai, aku merasa bersyukur sekali karena aku bisa menjadi orang yang terpilih. Tetapi, ketika aku naik ke kelas 9, personil band-ku telah lulus karena mereka 1 tahun lebih tua daripadaku. Aku merasa sedih, karena band perwakilan sekolah kami terpaksa harus bubar. Aku berusaha untuk membuat grup baru dengan anggota musik lainnya di ekstra kami. Namun, aku merasa ketidak cocokan antara aku dengan personil lainnya. Aku merindukan personil lamaku. Mereka cukup baik dalam bermain musik, namun ada 1 hal yang mengganjal pada hatiku. Aku tidak tahu itu apa, aku hanya merasa tidak begitu cocok dengan anggota band-ku yang baru ini.
Aku memutuskan untuk sementara vakum dari band-ku karena aku belum menemukan suatu hal tersebut. Ketika itu aku sadar, hubungan dengan teman-temanku mulai renggang. Hal itu disebabkan karena aku jarang sekali berada di kelas. Aku lebih sering menghabiskan waktu istirahatku untuk pergi ke ruang musik dan berlatih. Mataku terasa dibutakan oleh keinginanku dalam bermain instrumen musik layaknya profesional. Aku hampir kehilangan hal yang berharga di dalam hidupku. Saat itu juga, aku berusaha untuk lebih meluangkan waktuku untuk bersantai bersama teman-temanku.
Usahaku berhasil, hubunganku dengan teman-teman semakin hari semakin membaik. Waktu luang dikelas sering kuhabiskan untuk bernyanyi dan bermain bersama teman-temanku. Pada saat itu, aku mulai sadar bahwa suatu hal inilah yang sebetulnya kucari selama ini. Aku merasa senang. Sekarang, aku merasa hidupku lebih baik dari sebelumya. Mungkin, kemampuan dalam bermusik itu penting, namun hal yang lebih penting adalah menjaga kebersamaan dalam pertemanan tanpa adanya perselisihan. Akhinya, suatu pelajaran baru kudapatkan.
Hari-hari berikutnya kulalui tanpa masalah. Aku bahagia dengan apa yang kumiliki sekarang. Hingga pada suatu hari ketika aku sedang bermain dan bernyayi bersama teman-temanku, seorang wanita lewat didepanku. Aku tidak tahu siapa dia namun, bagiku dia sangat mempesona. Tiba-tiba temanku berkata, “Cieeeeee. Apa yang kamu lihat?”. Aku langsung membalas, “Tidak ada apa apa.”. Lalu, aku lanjutkan bernyanyi bersama teman-temanku.
Keeseokan harinya, aku pergi untuk mengembalikan buku yang kupinjam dari temanku. Saat mengembalikan buku itu, seorang wanita menyapaku, “Hai, apa kabar?.”. Itu adalah wanita yang kemarin kulihat saat aku bernyanyi bersama teman-temanku. Aku tak tahu mengapa hati ini berdebar. Aku takut sekali jika aku akan salah tingkah padanya. Aku berusaha menenangkan diri ketika waktu itu dan akhirnya berhasil
Temanku bilang kepadaku, “Hei, dia cantik kan?”. Aku hanya diam sambil tersenyum dan dia semakin mengansumsikan bahwa aku ada rasa padanya. Aku membalas, “Ayo kita balik ke kelas. Jam istirahat sudah hampir habis.”.Seakan mengalihkan perhatian, temanku menatapku dengan senyuman seakan-akan aku menyembunyikan sesuatu.
Semenjak kejadian itu, aku dan wanita itu jadi semakin dekat. Dan entah kenapa, aku merasa bahwa rasa ini bukanlah sekedar rasa terhadap teman. Rasa ini adalah cinta. Aku bukanlah seorang yang mahir terhadap cinta, maka aku lebih memilih untuk diam ketimbang mengungkapkan isi hatiku padanya. Rasanya sangat berat sekali untuk tidak menyatakannya, namun aku tetap tidak mengungkapkan perasaanku sebenarnya
Setiap hari, hatiku ini berkobar. Seakan-akan hatiku ingin menyatakan, tapi otakku tidak ingin. Aku sangat dilema pada waktu itu. Lalu, aku putuskan untuk bersantai sejenak dengan mengambil gitarku. Aku tulis sebuah lagu untuk mengungkapkan apa yang kurasakan. Aku sangat sedih mengetahui aku tidak bisa memilikinya, namun dengan situasi ini hati dan otakku menyatu untuk membuat apa yang sebenarnya aku rasakan saat ini.
Pada saat itu kutahu bahwa musik itu sendiri dapat meluapkan emosi, perasaan, dan pemikiran kita tentang suatu hal. Apa yang terjadi padaku ini merupakan takdir Allah SWT dimana jika aku kala itu baik baik saja denganku, maka hal ini tidak akan terjadi. Walaupun akhirnya aku memutuskan untuk mundur dan tidak mengejarnya. Namun aku yakin bahwa Allah SWT telah menetapkan jodoh yang terbaik untukku kelak.



Misteri Angkutan Umum Malam Hari

Oleh : ferdinand Faruck ( 10 )

Pengalaman ini merupakan pengalaman yang belum pernah kuduga sebelumnya. Kejadian ini tepat tejadi tiga tahun yang lalu, saat aku masih duduk di kelas dua SMP. Di pagi hari yang cerah, ayam berkokok dengan lantangnya. Aku pun terbangun seperti biasa untuk melakukan aktivitasku sehari hari, mulai dari membersihkan diri, sarapan, mempersiapkan peralatan sekolah dan berangkat ke sekolah. Aku yang terbiasa menggunakan angkutan umum pun berangkat menuju ke sekolah dengan penuh semangat. Jarak antara rumah dan sekolahku tidak terlalu jauh sekitar delapan kilo meter. Sesampainya di sekolah bel sekolah pun berbunyi menyambut kedatanganku.
Ku mulai hari dengan menimba ilmu dan tak terasa delapan jam pun sudah terlewati. Beberapa menit kemudian bel pulang pun berbunyi. Aku yang merupakan anggota aktif ekstrakurikuler Pramuka pergi menuju sanggar Pramuka yang ada di sekolahku. Di sini,  aku bisa bercakap cakap, bercanda tawa dan menyalurkan bakatku melalui latihan latihan yang ada di pramuka.
Petang hari pun tiba, aku mulai bergegas pulang ke rumah. Aku pun mengajak temanku Putri dan Cahya untuk menemaniku pulang menggunakan angkutan umum. "Put, yuk pulang" ujarku pada Putri. "Maaf, aku pulang sama Cahya naik motor" ucap Putri dengan nada mengejek. "Apakah kalian tega meninggalkanku pulang sendiri?" Tanyaku dengan memelas. "Tapi mau bagaimana lagi, kami minta maaf" ucap Cahya. Aku pun dengan wajah memelas memberanikan diri untuk pulang ke rumah sendiri. Aku raih telepon genggam yang ada di tas sekolahku. Ku lihat jam sudah menunjukkan pukul 17.30. Gerbang sekolah pun mulai kutinggalkan. Aku mulai melambaikan tangan seraya memanggil angkutan umum. Angkutan umum yang pertama sudah penuh desak orang – orang. Angkutan umum yang kedua sudah tidak mau mengambil penumpang dikarenakan sopir tersebut akan pulang ke rumah. Pada akhirnya saat aku melambaikan tangan untuk ketiga kalinya angkutan umum yang ketiga pun mau berhenti.
Langkah kakiku perlahan demi perlahan memasuki angkutan umum yang sudah berumur tua tersebut. Saat aku mulai duduk, kulihat di depan pandanganku terlihat sesosok pria yang misterius. Pria itu memakai pakaian serba hitam yang penuh dengan sobekan serta topi seperti penjahat. Aku beranggapan bahwa lelaki itu dingin, pendiam, dan penuh dengan misterius. Aku menatapnya dalam-dalam penuh keheranan.”Apakah pria ini akan menculik ku dan membawaku pergi ke suatu tempat” tanyaku dalam hati. Saat pria itu menatapku, aku pun bergegas memalingkan wajahku. Angkutan umum yang membawa ku melaju dengan kecepatan normal, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.
Tak terasa aku hampir tiba di rumah. Aku raih uang yang ada di dalam saku celanaku. Tak sengaja uang koin 500,- ku terjatuh. Kemudian aku pun melihat ke bawah mencari uang koin tersebut. Tetapi tidak dapat ku temukan. Aku hendak melihat ke bawah tempat duduk pria tersebut. Namun, aku tidak memiliki keberanian yang cukup untuk melakukannya.
Pada akhirnya kuberanikan diri untuk membayar 2.500,- saja. Aku pun tiba di tempat tujuan ku tepat di depan jalan masuk rumah ku. Saat aku melangkahkan kaki ku untuk turun dari angkutan umum sang pria itu pun menepuk bahuku. Sontak aku langsung kaget dan penuh tanya tanya. ”Apa yang mau diinginkan oleh pria ini” ujarku dalam hati. Saat aku memalingkan wajahku pria itu mengambil uang koin 500,- dari tempat duduk yang aku duduki tadi. Uang yang aku cari dari tadi ternyata aku duduki sendiri. “Terima kasih pak“ ucapku. Pria itu hanya menganggukan kepala tanda balasan ucapanku. Aku pun membayarkan ongkos angkot kepada sopir angkot tersebut. Setelah itu, aku berjalan menuju rumahku.
Di dalam perjalanan, aku merenungi apa yang telah aku pikirkan tentang pria. “Oh Tuhan apa yang aku pikirkan tentang pria itu salah. Seharusnya aku tidak menilai seseorang dari penampilannya saja” sesal ku dalam hati.



Ketidakberuntunganku


Oleh : Fidya Almira ( 11 )


Ini ceritaku dan kelima temanku ketika kami masih duduk di bangku 1 SMA. Pertemananku dan teman-temanku pun mulai terjalin. Banyak tugas dan PR datang silih berganti. Di saat pelajaran Bahasa Inggris Lintas Minat, kami kelas 10 IPA 7 diberi tugas untuk membuat iklan Bahasa Inggris. Tugas itu dikerjakan berdua oleh teman sebangku. Waktu itu aku duduk bersama Mega teman SMP-ku. Kami berniat untuk membuat plesetan iklan Mizone menjadi Finezone. Aku dan Mega pun membuat rancangan bagaimana caranya kami membuat iklan tersebut. Kami pun bingung akan melakukan syuting iklan dimana. Setelah memikirkan berbagai tempat yang memungkinkan untuk syuting iklan ini. Kami pun memutuskan untuk syuting di perumahan sebelah barat SMAN 1 KRIAN.
Hari Sabtu saat pulang sekolah, Aku dan Mega bersama keempat temanku Reza, Suci, Fadillah dan Erliana pergi ke tempat yang sudah kami tentukan. Kami memakai 3 sepeda motor. Kami melewati dua jalan yang berbeda arah. Fadillah dan Erliana sudah menemukan jalan sepi yang cocok untuk syuting iklan. Tetapi Aku, Mega, Reza dan Suci berada berlawanan arah dengan Fadillah dan Erliana. Untuk menyusul Fadillah dan Erliana, kami pun harus memutar arah untuk menyusul mereka. Suci dan Reja pun memutar arah untuk menyusul Fadillah dan Erliana. Tetapi jalan pikiranku berbeda, aku ingin meraih jalan pintas yang cepat untuk menyusul mereka dengan melewati rumput-rumputan yang menjadi batas jalan. Aku pun melindas rumput-rumput yang tidak berdosa itu dengan roda sepeda motor.
Setelah Aku sudah melewati rumput yang menjadi pembatas jalan itu, tiba-tiba dari arah samping ada seseorang yang meneriakiku. “Hai kamu, sini!!!” Seketika itu juga, bak disambar petir, Aku takut setakut-takutnya mendengar suara orang tersebut. Aku hanya dapat diam membisu di atas sepeda motor, begitu pun dengan Mega yang aku bonceng, dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Dengan mengambil jarak yang lebar, orang itu berjalan ke arahku langsung mematikan sepeda motor dan mengambil kunci motorku. Aku langsung kikuk melihatnya, tak tahu harus berkata apa. Kemudian orang itu yang ternyata adalah satpam di perumahan itu langsung berbicara kepadaku “Hai kamu kenapa melindas rumput-rumput ini, kamu tidak tahu ya kalau tidak boleh melewati rumput apalagi melindasnya dengan roda sepeda motormu itu!” “Oh....maaf pak maaf,” kataku. “Lihat itu roda sepeda motormu membuat rumputnya terlindas,” balasnya. “Iya maaf pak maaf,” balasku. Hanya kata itu yang dapat terlontar dari mulutku. “Saya tidak mau tahu bagaimana caranya rumput-rumput yang terlindas itu harus dapat berdiri kembali seperti semula, kalau tidak kamu akan saya laporkan ke polisi sekarang juga.” Seketika itu juga, hatiku pun mencelos mendengarnya. Rasa takut di dalam diriku pun semakin membuncah. Aku berpikir di dalam hatiku, kenapa masalah yang menurutku tidak terlalu besar ini harus dilaporkan ke polisi. “Jangan pak jangan, saya minta maaf. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi,” kataku. “Ya tidak bisa begitu saja, saya tidak mau tahu bagaimana caranya rumput-rumput yang terlindas ini harus dapat berdiri seperti semula.” Aku hanya bisa diam tak tahu harus berkata apa lagi, begitu pun dengan Mega. Pak satpam itu pun melanjutkan “Ya sudah begini saja, kamu harus mendirikan rumput-rumput yang terlindas ini dengan tangan sampai terlihat berdiri semua.” Aku pun menjawab “Iya pak iya, akan saya lakukan.”
Satpam itu pun mengawasi dari pos satpam dengan membawa kunci motorku bersamanya, dengan maksud agar aku tidak kabur. Aku mendirikan rumput-rumput yang terlindas itu dengan tangan kosong dan dibantu oleh teman-temanku. Tetapi ada satu temanku yang tidak membantuku, ia malah memfotoku saat mendirikan rumput. Aku geram melihatnya “Kenapa kamu tidak membantuku malah memfotoku?” Ia pun menjawab “Apa kamu tidak melihat jika ada banyak orang berlalu lalang lewat sini, aku memfotomu seolah-olah ini hanyalah guyonan bukan hukuman.” “Oh gitu....iya deh”, balasku.
Setelah sekiranya aku sudah mendirikan rumput itu seperti semula dengan berbagai adegan jatuh bangun, Pak satpam yang ku tak tahu namanya itu datang menghampiriku. Aku pun langsung berdiri dan berkata “Pak apakah sudah berdiri semua rumputnya?  Apa ada yang belum berdiri?” “Sudah-sudah, tapi lain kali jangan diulangi lagi ya..... Ini kunci motormu.” Aku pun menerimanya dan langsung meminta maaf lagi. “Sekali lagi saya minta maaf ya Pak,” kataku. “Iya”, balasnya. Aku pun langsung menyalaminya dan segera pergi dari tempat itu.
Kami pun mencoba mencari tempat lain yang masih di daerah perumahan itu. Kami pun menemukan tempat lain yang cocok untuk syuting iklan ini. Tetapi ketika kami ingin memulai syutingnya, tiba-tiba ada satpam yang berbeda dari satpam tadi datang menghampiri kami. “Maaf ya Dek mengganggu, ini ada acara apa ya kok ada kamera-kamera segala?”, ujarnya. “Oh iya, ini kami ada tugas Bahasa Inggris untuk syuting iklan, jadi pakai kamera,” ujarku. “Oh kalau disini tidak boleh pakai kamera, kalau sekedar jogging atau lari-lari saja tidak apa-apa,” balasnya. “Kenapa loh pak tidak boleh menggunakan kamera?” tanyaku. “Waduh, kalau itu saya tidak tahu Dek, itu sudah perintah dari atasan saya,” balasnya. “Oh begitu ya Pak, ya sudah kami minta maaf ya Pak,” ujarku. “Iya,” balasnya. Kami pun bingung akan syuting dimana lagi dan kami memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing karena hari mulai sore.
Satu minggu kemudian, kami mencoba untuk mencari tempat syuting lagi. Setelah kami memikirkan berbagai tempat yang cocok. Kami pun memutuskan untuk memilih Balai Desa Kraton sebagai tempat lokasi syuting iklan. Kami pun meminta izin kepada salah satu warga desa sekitar agar tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi. “Bu, kami ada tugas untuk syuting iklan, apa kami boleh syuting disini?” tanyaku. “Oh boleh-boleh, balai desanya tidak dipakai kok,” balasnya. “Terima kasih ya Bu,” kataku. “Iya,” balasnya. Kami pun melakukan syuting iklan dengan lancar. Tak terasa hari sudah sore dan kami pun juga sudah menyelesaikan syutingnya.  Kami pun memutuskan untuk sholat di musholla terdekat. Setelah kami menunaikan sholat Ashar, perut kami keroncongan minta diisi. Sebelum pulang, kami makan bakso di warung sekitar situ. Jam pun sudah menunjukkan pukul 5 dan kami pun memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing.




PENGGAPAI SEBUAH PUNCAK

Oleh : Inanda Aulia Rizqillah ( 12 )

Apakah kalian pernah mendaki sebuah bukit?
Bukit yang terlalu tinggi,
Pastilah sulit untuk didaki.
            Lelah, letih, lesu
            Akan kalian rasakan selalu.
            Akan tetapi,
            Kalian pasti akan lebih berusaha, bukan?
            Untuk sampai,
            Untuk meraih,
            Dan untuk tiba di puncak itu.
Sama seperti kalian,
Akulah pendaki itu.
Yang menginginkan sebuah puncak,
Dengan segala pemandangan
Yang bisa kulihat dengan leluasa.
~Penggapai sebuah puncak~
            Hai! Panggil saja aku dengan sebutan penggapai sebuah puncak. Setelah membaca puisi di atas, bagaimana perasaan kalian? Apakah kalian sama sepertiku yang menginginkan puncak itu? Saat kita kecil, pasti banyak diantara kita yang pernah mendapat sebuah pertanyaan “Apakah harapan dan mimpimu?”. Sebuah pertanyaan yang sangat sepele tetapi akan berdampak besar bagi masa depan kita. Kita sering menyebutnya “Cita-cita”.
            Aku mendapatkan pertanyaan itu untuk pertama kalinya saat aku duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Mungkin sebagian dari kalian berfikir bahwa saat itu terlalu dini untukku mendapatkannya. Ibulah yang memberikannya kepadaku. Aku yang masih polos pun menjawab, “Aku ingin menjadi ibu guru, bu!”. Seruku bersemangat. Ibuku kembali bertanya, “Kenapa kamu ingin menjadi ibu guru?”. “Aku ingin menjadi seperti ibu guru yang mengajarku di Taman Kanak-kanak bu”, ucapku dengan gaya khas anak kecil. “Ibu guru ketika mengajar terlihat keren sekali, mengajarku dan teman-teman dengan sabar. Aku ingin menjadi sepertinya bu!”, tambahku. Ibuku hanya tersenyum mendengarnya.
            Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun pun berganti sampai aku memasuki Sekolah Dasar. Ketika aku berada dikelas 2, aku kembali mendapatkan pertanyaan itu. Kali ini datang dari ayahku. Aku pun kembali menjawabnya persis seperti saat aku masih berada di Taman Kanak-kanak. Akan tetapi dengan sedikit tambahan “Guru Matematika” karena memang saat itu aku sangat menyukai Matematika. Sama seperti ibu, ayahku pun hanya tersenyum mendengarnya. Dahulu, aku berfikir bahwa untuk menjadi seorang guru matematika yang kuinginkan itu sangat mudah. Cukup dengan kita menyukai bidang studi itu maka kita dapat menggapainya. Akan tetapi pernyataan itu telah terbantahkan sekarang.
Pertanyaan “Apakah harapan dan mimpimu?” kembali menjumpaiku ketika aku duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama. Tepatnya saat aku berada dikelas 9 dan umurku telah mencapai 14 tahun. Umur di mana aku mulai menemukan kedewasaanku sendiri. Saat itu seorang guru menanyakannya melalui sebuah kertas konseling. Kertas yang mampu mengubah anggapan tentang harapan dan mimpiku. Kertas yang menyadarkanku bahwa puncak itu tidak digapai dengan mudah. Akan tetapi membutuhkan banyak perjuangan di dalamnya.
Disaat aku mulai berfikir bahwa puncak itu sangatlah susah untuk digapai, salah satu sahabatku, Arum kembali mendorongku untuk bangkit. Ia mengingatkanku bahwa untuk menggapai puncak tersebut memang membutuhkan perjuangan yang banyak. Arum adalah sosok yang berharga dihidupku. Ia juga lah yang selalu memotivasiku dalam menjalani kehidupan. Kadang aku iri dengannya yang selalu bisa menghadapi segalanya dengan ceria. Arum lebih tua dariku 6 bulan. Ia adalah sosok yang sangat dewasa. Arum selalu mengingatkanku apabila aku berada pada jalan yang salah sehingga aku selalu merasa terjaga apabila bersamanya dan aku sangat mensyukuri bahwa Tuhan memberikanku sosok sahabat yang sangat berharga seperti dirinya.
Aku semakin menyadari bahwa perjuangan itu sangatlah banyak dan berat ketika aku akan memasuki SMA. Belajar sepanjang malam demi mendapatkan hasil yang terbaik, mempersiapkan berkas-berkas untuk daftar ulang, persiapan mental memasuki lingkungan baru, dan banyak hal lainnya. Hal-hal seperti itu terkadang sering membuatku merasa tertekan dan terkadang pula justru membuatku termotivasi untuk lebih berusaha dengan keras.
Melihat para siswa atau dapat disebut dengan pesaing ku pada saat tes masuk Sekolah Menengah Atas benar-benar membuatku semakin merasa tertekan dan semakin ingin mengalahkan mereka. Aku berhasil masuk di SMA pilihan keduaku. Yah walaupun bukan yang pertama, setidaknya itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Aku berbeda SMA dengan Arum. Memang sedikit kecewa saat kami tidak dapat lagi melakukan banyak hal bersama. Walaupun begitu kami masih sering berkomunikasi untuk sekedar bertatap muka lewat video call, curhat-curhat tentang keseharian kami saat di sekolah, atau terkadang kami juga bertemu ketika ada suatu event dan aku mengajaknya. Kami pun berjanji saat dewasa nanti kami akan bertemu kembali saat kami telah meraih puncak itu.
Sampai sekarang, ketika aku telah menjelma menjadi seorang remaja berumur 16 tahun, aku semakin merasakan beban perjuangan itu. Bersanding dengan teman-teman baru yang sangat kritis, tuntutan untuk selalu mendapatkan nilai terbaik, dan pemikiran tentang fakultas untuk masuk perguruan tinggi sangatlah membebaniku. Tetapi ucapan Arum kembali terngiang dalam pikiranku, “Akan ada banyak perjuangan untuk mencapai puncak itu, tetap semangat dan selalu berdoa kepada Tuhan untuk memberikan yang terbaik kepada kita”. Selain itu, sebuah kalimat yang berasal dari novelku pun kembali menamparku untuk kembali ke dunia nyata bahwa, “Kita tidak pernah tahu kapan perjuangan itu akan berakhir. Oleh karena itu, gunakan kesempatan tersebut dengan baik selagi Tuhan masih memberikannya kepada kita”.
Sama seperti apa yang telah Arum ucapkan dan apa yang telah aku baca, aku akan selalu semangat dalam mencapai puncak itu karena aku yakin aku akan melihat banyak keindahan setelahnya. Bagaimana dengan kalian? Perjuangan itu masih belum berakhir, justru perjuangan itu masih sangatlah panjang walaupun kita tidak pernah tahu kapan itu akan berakhir. Oleh karenanya, apakah kalian mau berjanji bersama denganku dan Arum untuk tidak kenal lelah dalam meraih puncak kita masing-masing? Karena kitalah pendaki itu, kitalah Penggapai Sebuah Puncak.



Sudahkah Kamu Menghargai Teman Mu ?

Oleh : Karina Novi S. ( 13 )

Apakah kamu punya teman? Pasti punya kan, lalu menurutmu apakah definisi dari teman itu? Apakah hanya sekedar orang yang kan menemanimu untuk jalan- jalan? Atau lebih berharga dari itu? Apakah kamu sudah menghargai teman-temanmu? Aku rasa sebagian besar belum, jadi untuk kalian yang belum mengerti pentingnya seorang teman, aku punya secuil cerita untukmu.
Aku ingat cerita ini terjadi ketika aku duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar. Mungkin bagimu sudah waktunya aku untuk fokus belajar, tetapi aku dan teman-temanku tidak serajin itu untuk melakukannya. Kami lebih memilih bermain sepulang sekolah, apabila bel pulang telah berbunyi pada pukul satu siang jangan salahkan kami kalau baru sampai rumah pukul tiga sore. Kebetulan hari itu adalah hari Jumat jadi aku pulang ketika jam menunjukkan pukul setengah sebelas. Sudah cukup lama aku tidak pulang bersama teman-teman karena aku dijemput ketika bel pulang berbunyi, entah kenapa hari itu aku lebih memilih untuk berjalan kaki dengan teman-temanku.
Seperti biasa, sepulang sekolah kami akan berhenti di pos kampung untuk sekedar duduk santai atau memanjat pohon mangga. Kami rasa pohon itu adalah pohon tak bertuan, jadi tak apa kan kalau mengambil mangganya. Hari itu kami sangat gembira duduk di pos itu, berbagi minuman, permen, bahkan aku ingat kalau teman laki-lakiku, Adit dan Reyhan menakut-nakuti Icha dengan seekor siput. Hal yang sangat membahagiakan.
Tidak sampai di  situ, karena merasa waktu masuk sholat Jumat masih lama kami berjalan lagi ke arah rumah kemudian memanjat pohon jambu air. Kami sangat senang memanjat di sana karena pohonnya yang tinggi jadi tidak kelihatan orang yang lewat. Kami juga sering makan jambu air di situ dan baru berlari terbirit-birit ketika sang pemilik pohon datang atau ketika ada ibu-ibu yang lewat sambil berteriak ‘he nduk, le! Muliho! Wes sore ikulo’ barulah kami pulang ke rumah masing-masing. Berhubung hari itu hari Jumat, jadi kami baru pulang ketika speaker masjid mulai mengumandangkan puji-pujian.
Hari itu masih terasa menyenangkan, hingga prahara terjadi. Sore hari itu aku sedang bersiap diri untuk berangkat les, tiba-tiba terdapat sebuah masuk di ponselku. Awalnya aku bingung, tumben sekali ada pesan tapi ketika kubuka pesan itu aku terkejut. Pesan itu berisi ‘he Reyhan gaono’, aku mengernyit bingung, maksudnya apa? Setelah aku membalas masuk.lagi sebuah pesan ‘Reyhan meninggal’. Loh, ini maksudnya apalagi? Aku sadar memamg biasanya teman-temanku suka bercanda, tapi biasanya bercandanya tidak sedramatis ini. Aku masih keras kepala, tidak percaya atas pesan itu. Kubalas lagi pesan itu dan balasan datang ‘Nek gak percoyo deloken dewe nang ngarep omahe lak onok ambulan’. Karena tempat lesku melewati rumah Reyhan jadilah aku benar-benar ingin membuktikannya.
Dan pikiranku kosong seketika, ketika aku tahu di depan rumah Reyhan terdapat sebuah mobil polisi dan ambulan serta banyak orang disekitarnya. Jadi semua ini benar? Jadi teman-temanku tidak berbohong? Itulah pikirku saat itu. Ketika les pun aku tidak bisa berpikir apa -apa, yaang kupikirkan adalah bagaimana bisa Reyhan pergi secepat ini? Bukankah tadi kita masih bermain bersama? Bukankah tadi kita masih bergurau bersama? Bagaimana bisa?
Aku sedih karena  tidak bisa melakukan apa-apa. Aku sudah berencana untuk melayat ke rumahnya sebelum dia dikebumikan, tapi orang tuaku melarang keras. Aku hanya bisa menangis karena tak bisa memberikan penghormatan terakhir untuknya. Tetapi ada yang membuatku lebih sedih lagi, kau tahu apa? Tak ada satu pun orang yang mengerti penyebab kematiannya. Saksi pertama yang menemukannya berkata bahwa ia menemukan Reyhan dalam keadaan terbujur kaku di depan sebuah SMK. Polisi yang melakukan olah TKP pun tak bisa menyajikan kebenaran, mereka menduga bahwa Reyhan jatuh ketika memanjat atap pos satpam SMK kemudian jatuh dan dadanya menghantam batu.
Aku sedih. Aku sangat sedih. Mengapa hari-hari sebelumnya aku tidak pulang dengan berjalan kkaki dengan mereka? Mengapa aku lebih memilih dijemput. Mengapa aku tidak bisa membuat kenangan yang lebih banyak lagi dengannya. Aku menyesal. Aku sangat menyesal. Mengapa aku lebih mementingkan pergi les daripada ke rumahnya? Mengapa aku tidak bisa memberikan penghormatan terakhir untuknya?
Aku rasa ceritaku cukup sampai di sini. Jadi untuk kamu yang merasa belum menghargai temanmu, hargailah. Janganlah kamu hanya mau berteman ketika ia dalam keadaan senang. Bantulah ia ketika ia dalam kesulitan, jadilah pelindung ketika ia mendapat masalah. Relakan dirimu untuk menampung semua keluh kesahnya, karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Untuk kamu yang belum memiliki banyak memori tentang teman-temanmu, lekaslah membuat cerita dengan mereka. Selagi sempat marilah kita membuat kenangan-kenangan indah yang tak akan pernah terlupakan, kenangan yang akan kita rindukan di masa kelak.
Sekian cerita dariku, jangan sampai kalian menyesal sepertiku. Aku pamit dulu, sampai jumpa!









Komentar