Kumpulan Cerpen (Part 1)


CINTA YANG TERPENDAM

Oleh: Acevaldo Rinto Gevara ( 01 )

Dipagi hari, Adi ditemani oleh secangkir kopi mocacino. Pandangannya terpaku pada sudut jendela kamarnya yang terlihat oleh cahaya matahari pagi, dan diselimuti hawa dingin yang terasa sampai dalam hati. Memang tak bisa dipungkiri, kini Adi sedang memikirkan pada sosok gadis yang bernama Juliet, sahabat yang selalu menghantuinya dalam mimpi.
Mimpi yang sama seperti hari-hari kemarin. Mimpi yang mengingatkan Adi pada Juliet satu bulan yang lalu. Awalnya Adi menganggap seperti bunga tidur saja, tapi setelah dipikir-pikir Adi sadar dengan perasaannya pada Juliet ternyata masih tertinggal di sini di hatinya dan kini mulai menampakkan diri lagi dalam ingatan dan rasanya. Tak disangka dan tak dikira, entah perasaan apa yang datang menghampiri Adi setelah mengenalinya. Memikirkan Juliet, sahabat yang Adi cintai dan disayangi. Mungkin Adi takkan bisa menuliskan karya-karyanya, tanpa kehadiran Juliet di sisinya, iya bisa disebut Juliet adalah inspirasi Adi.
Rasa ini dimulai dari pertama kali Adi mengenal ketika Juliet bergabung di Media Tabloid Pelita. Juliet adalah mahasiswi baru di Universitas Tribhuwana Tunggaadewi. Sejak dia bergabung di Media Tabloid Pelita. Adi jatuh cinta padanya saat pandangan pertama, Adi hanya mengaguminya. Adi hanya mampu melihat senyumnya. Wanita yang Adi suka terlihat cantik dengan gaya khasnya. Matanya sangat indah, Adi sangat menyukainya. Semakin hari persahabatannya merasa semakin dekat bahkan Adi merasakan sesuatu yang aneh terhadapnya seperti perasaan sayang lebih dari sahabat, Adi mencoba untuk memungkiri perasaannya tapi dia tidak bisa. Setiap Juliet bersamanya, Adi merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Adi tidak tau kenapa ini bisa terjadi. Sejujurnya Adi takut jatuh cinta pada Juliet, karena Juliet adalah sahabatnya Adi.
Jatuh cinta, berjuta rasanya! Benarkah? Orang yang tengah dilanda asmara mungkin akan dilalai bersyair “Cintaku padanya seluas angkasa yang biru, rinduku padanya sedalam lautan Atlantik, kasih suci seputih melati. Atau jangankan ke Ethopia, ke kutub utara sekalipun aku ikut padanya!!” Sebuah kata-kata yang hiperbola. Seorang penyair berkata, “Demi Tuhan tidaklah cinta menawan orang yang dimabuk cinta melainkan ia akan membelah jiwanya”.
Cinta itu unik. Kita tidak akan pernah tau kapan kita akan jatuh cinta. Tidak akan tau siapa yang akan meluluhkan hati kita. Dan tidak akan pernah tau apakah cinta itu akan berbalas ataukah hanya tersimpan rapi di dalam hati. Cinta itu misteri. Penuh teka teki yang membuat kita harus berusaha memecahkannya sendiri. Cinta, lima huruf satu kata penuh makna. Begitulah orang-orang mendefinisikannya. Tak ada yang tahu secara pasti definisi cinta yang hakiki. Meskipun kata cinta sering terdengar di telinga, namun sampai detik ini Adi masih belum bisa menafsirkan apa itu cinta.
Jika diibaratkan larutan, Juliet adalah larutan elektrolit kuat. Daya hantar listriknya sangat baik. Jika diuji pakai alat uji larutan, dia menghasilkan nyala lampu terang. Seterang kulit tubuhnya, secerah pipi chubbynya. Semerah bibir tipisnya. Seindah jari-jemarinya, membuatku terkesima. Sorot cahaya matanya berkilau, puncak hidungnya memukau. Dia menyimpan daya tarik yang luar biasa. Siapa yang tak terpana oleh gemerlap lenggak-lenggok gemulainya, halus tutur katanya, dan lemah lembut budi bahasanya. Dan jika dia satelit, dia adalah bulan paling memukau di malam hari. Saat menatapnya aku selalu melihat saat purnama paling sempurna. Selalu bercahaya di awal, di tengah dan di ujung malam yang gelap. Dia lebih cantik dari bintang di langit. Dia lebih indah dari bunga yang sedang mekar. Dia lebih cepat mengalir dari air di sungai. Dia lebih manis dari madu. Aku terpikat kepadanya.
Jujur, di dalam benaknya Adi, dia ingin bisa mendapatkan Juliet dan memiliki dirinya seutuhnya, bukan milik orang lain. Tapi kenyataannya? Haha!
Memang Adi tak pernah jujur pada Juliet untuk hal ini. Entah kenapa bibirnya Adi kaku mengatakannya kalau Adi mencintai Juliet. Belajar mengungkapkan memang sulit dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ternyata praktek tidak semudah teori. Mungkin Adi adalah orang yang paling frustasi di dunia ini, atau Adi adalah orang paling bahagia, mungkin juga Adi adalah orang yang paling menyedihkan ketika Adi sedang jatuh cinta. Tapi kini Adi sadar dia hanyalah insan biasa yang tak mungkin bisa memiliki Juliet. Jikalau mungkin, itu hanya sebuah mimpi karena Adi sadar Juliet tidak pernah mengharapkan Adi. Adi bukan lelaki yang populer di kampus, Adi hanya lelaki kutu buku yang sehari-hari hanya berkutat dengan buku di perpustakaan maupun di kos-kosan. Memang sulit untuk mengakui ini semua, Adi hanya takut, jika dia jujur pada Juliet, Adi takut Juliet berubah terhadapnya, Adi takut kehilangan sosok Juliet disisiku.
Adi sering terluka, bila Juliet curhat pada Adi tentang pasangannya yang mengecewakannya, hati Adi seperti terpotong menjadi partikel atom-atom, dan dipotong kembali menjadi sebuah bom nuklir, yang akan meledak dan menghancurkan jagad raya dengan kekuatan tiada taranya. Di dalam hatinya Adi menggerutu, “hey kamu, sadarkah kamu? Lelaki yang tidak akan pernah mengecewakanmu justru berada di dekatmu selama ini yaitu aku sahabatmu”. Yah itulah, kata-kata gerutu Adi jika mendapatkan cerita saat Juliet jatuh cinta dengan lelaki-lelaki lain di luar sana. Lelaki yang selalu berakhir dan membuat Juliet kecewa.
Sekarang Adi hanya dapat sandarkan semua ini kepada Tuhan, karena Tuhan lebih mengetahui apa yang terbaik untuk Adi dan juga Juliet. Saat ini Adi hanya dapat berusaha dan berdoa, agar Adi bisa mengikhlaskan semua kenyataan ini, dan Adi harus terus kuat serta Adi meminta pada Tuhan agar dia selalu ada untuk Juliet. Cinta ini untuk Juliet seorang.



Bocah Pemulung

Oleh : Adela Nanda Octavia A. ( 02 )

Setiap hari, aku selalu membantu ayahku bekerja di sawah Ayahku adalah pekerja serabutan. Biasanya, ayahku akan pergi ke sawah di pagi hari dan mencari sampah plastik untuk dijual . Walaupun untungnya tak seberapa tapi,  lumayan untuk memenuhi kebutuhan kami. Para remaja biasanya menjalani hari dengan bersekolah dan bergaul dengan teman seusianya. Tetapi, tidak denganku. Aku terpaksa putus sekolah karena keadaan ekonomi keluargaku yang tak memungkinkan.
            Walaupun, aku tak bersekolah tetapi, aku tetap belajar dari buku-buku bekas yang aku temukan saat memungut sampah. Aku selalu memungut buku pelajaran yang aku temukan. Kadang,  tetanggaku juga sering memberikanku buku-buku pelajaran yang sudah tak terpakai.
            Hari ini, aku tidak membantu ayah bekerja. Aku ingin mengabiskan waktuku untuk belajar. Aku ingin membaca buku-buku yang telah ku dapatkan.
 “Amir, ayo, kita berangkat!” kulihat ayahku sudah berdiri di depan rumah.
 “maaf, Ayah. aku tidak ikut ayah hari ini. Tak apa kan, Ayah?” kataku dengan hati-hati takut membuat ayah kecewa atau marah.
“Mir, sudah berapa kali ayah katakan tak ada gunanya kau belajar. Toh, belajar tidak menghasilkan uang.” Ayah memegang pundakku.
 “Ayah, mungkin aku tak mendapat uang. Tapi, aku bisa mendapatkan ilmu.” jawabku mencoba untuk meyakinkan ayah. Sungguh aku ingin menjadi orang yang pandai seperti teman-temanku yang lain.
 Lalu untuk apa ilmu itu? Kita ini orang miskin. Harusnya kau sadar akan hal itu. Kita itu hanya harus bekerja untuk bertahan hidup.” jawab ayah. Aku tak berani menatapnya sekarang.
 “Ayah, suatu saat nanti aku akan membuktikan pada ayah dan semua orang bahwa aku bisa menjadi sukses.” Jelasku tak mau kalah.
 Baiklah. Ayah mengerti maksudmu. Ayah hanya tidak ingin  kau kecewa. Itu saja.” Ia tersenyum sambil mengelus kepalaku.
            Sebenarnya aku merasa bersalah pada ayah karena membantahnya. Tetapi, aku juga tak bisa pasrah pada nasib. Aku selalu yakin jika suatu saat nanti aku akan menjadi orang yang sukses dan membuat ayah bangga. Sekarang yang perlu aku lakukan adalah belajar dan berusaha.
            Kemarin, aku tidak sengaja melihat selebaran di jalan. Di selebaran itu tertuliskan olimpiade sains yang dimana hadiahnya ialah beasiswa sepenuhnya untuk bersekolah di salah satu SMA swasta favorit di Bandung. Aku akan mengikuti olimpiade itu dan memenangkannya. Tapi, jika aku yang menang otomatis aku akan sekolah. Lalu bagaimana dengan Ayah? Aku juga tidak mau melihatnya bekerja keras sendirian. Ayahku terlalu tua untuk bekerja seharian. Tapi, suatu saat nanti ayah tidak perlu lagi bekerja sendirian karena, aku yang akan bekerja untuk ayah.
            Sekarang aku selalu membawa buku sains kemanapun aku pergi. Aku membacanya setiap aku beristirahat.
“Mir, kenapa kau membawa buku itu?” rupanya ayah sudah melihat buku yang sedang ku sembunyikan.
 Tapi, Ayah janji tak akan marah jika aku mengataknnya.” Ayah mengangguk dan memegang pundakku. Itulah kebiasaan ayahku jika sedang meyakinkanku.
Begini, Ayah. Aku ingin mengikuti olimpiade sains bulan depan, maka dari itu aku selalu membawa buku ini kemanapun aku pergi.” Jelasku.
 “Baiklah Ayah mengijinkanmu untuk mengikuti olimpiade itu. Asalkan kau harus pulang sebagai juara. Bagaimana? Kau setuju?” Kulihat ayahku tersenyum dengan memperlihatkan giginya yang besar.
 Terimakasih ,ayah!” Kataku sambil memeluk ayahku dengan erat. Sungguh persetujuan ayahku sangat membuatku bahagia. Sepertinya ayahku sudah tidak memaksaku untuk berhenti membaca.
            Sepanjang hari, aku tak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku. Aku belajar dengan sangat giat demi olimpiade itu. Walaupun, aku tak pernah mempunyai guru pembimbing seperti yang lain tapi, aku juga bisa seperti mereka.  
            Olimpiade sains telah dimulai. Aku sangat gugup. bagaimana tidak, semua peserta yang mengikuti olimpade adalah pelajar yang mewakili sekolah masing-masing. Tapi, aku tak mau menyerah begitu saja karena, aku sudah berjanji akan pulang sebagai juara.
            Kini, hasil olimpiade akan di umumkan. Peserta yang dipanggil akan maju ke babak final. Satu persatu nama peserta dipanggil. Namun, aku tak kunjung dipanggil juga. Namun, saat aku akan meninggalkan tempat untuk pergi. Aku mendengarkan namaku disebut. aku sangat terkejut dan tak percaya jika aku akan masuk ke babak final. Aku maju ke depan dan menerima ucapan selamat dari para juri. Rasa bahagia serta tak percaya bercampur menjadi satu. Kemudian aku berlari menuju ayahku dan memeluknya.
            Kami pun pulang ke rumah bersama. Saat kami berjalan ke arah pintu keluar, tiba-tiba ada seseorang yang memanggil kami. Orang tersebut mengajakku untuk menikuti bimbel gratis di rumahnya. Orang tersebut bernama Pak Hasyim. Beliau mengajakku karena beliau tertarik dengan kemampuan yang kumiliki.
            Di rumah Pak Hasyim, aku diajari begitu banyak hal yang selama ini tidak ku dapatkan. Beliau tida hanya mengajariku tentang sains tetapi juga hal-hal lain. Aku merasa sangat senang karena baru kali ini aku bisa mempunyai guru. Selama ini aku hanya belajar sendiri di rumah. Pak Hasyim begitu baik padaku, beliau membelikanku tas, buku, dan alat-alat tulis. Sekarang adalah hari finalku. Aku diantar oleh Pak Hasyim ke tempat olimpiade berlangsung.
            Final telah dimulai. Aku masih ingat dengan kata-kata ayah bahwa aku harus pulang sebagai juara dan itu membuatku semakin semangat untuk memenangkan olimpiade ini. aku tak akan mengecewakan ayah yang sudah mendukungku.
            Kini pengumuman pemenang akan diumumkan. Pak Hasyim menggenggam tanganku.
“Mir, kalah atau menang itu bukanlah masalah yang penting kamu telah berusaha.” Aku mengangguk mendengarnya.
Saat salah satu juri membacakan nama pemenang.
“Jadi pemenang juara pertama diraih oleh Amir. Selamat kepada Amir dan dipersilahkan untuk maju ke depan.” Ternyata sang juri menyebut namaku. Aku sangat bahagia. Pak Hasyim memberikanku ucapan selamat. Aku maju ke depan dan menerima penghargaan dan ucapan selamat dari para juri. Setelah itu aku berlari ke ayah dan memeluknya.
            Sekarang aku telah kembali bersekolah dan tak lupa sepulangnya membantu ayah bekerja. Aku terus menciptakan prestasi-prestasi untuk membuat ayah bangga padaku.


PULANG SEKOLAH TIDAK TEPAT WAKTU

Oleh : Akhmad Muzakki ( 03 )

Saat itu, aku masih duduk di bangku smp. Sekolahku pulang pukul satu siang. Tetapi pada suatu hari, aku tidak langsung pulang, aku pergi bermain ke rumah temanku. Karena terlalu senang bermain aku sampai lupa waktu, dan hari sudah sore, dan aku lupa belum mengabari orang tuaku.
Kemudian aku bergegas untuk langsung pulang. Saat sampai di rumah ternyata ibuku sudah menunggu di teras. Dan ibu langsung memarahiku.
“Dari mana saja jam segini baru pulang?” Ibuku bertanya dengan nada tinggi
“Tadi aku main kerumah temanku bu” Jawabku.
“Kenapa tidak mengabari dulu tadi?” Tanya ibuku lagi
“lupa” jawabku singkat
“Terus apa gunanya HP itu kalau bukan untuk berkomunikasi!?” Bentak Ibu.
Aku hanya terdiam membisu.
“Kalau sudah tidak ingin pulang, lebih baik tidak usah balik lagi kerumah!” lanjut ibu. Lagi lagi aku hanya terdiam tidak bisa menjawab apapun.
“Lain kali kalau mau kemana mana, setidaknya kabari orang rumah supaya ibu tidak khawatir. Kalau seandainya ada apa apa di luar bagaimana? Bisa kamu selesaikan masalah itu sendiri?” Tutur ibu.
“Iya bu, aku tidak akan mengulanginya lagi” Jawabku.
“Yasudah sekarang masuk ganti baju terus makan!” suruh ibu
“Iya bu”
Kemudian aku masuk ke kamar dan ganti baju. Setelah itu aku menuju ke dapur untuk mengambil makan, dan sesudah itu aku pergi belajar.
Saat jam delapan malam, terdengar suara motor dan ternyata kakakku sudah pulang dari kerjanya dan langsung masuk ke kamarku dan langsung memarahiku habis habisan. Aku pun meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Kakakku pun keluar dari kamarku.

Selanjutnya aku tidak lupa untuk memberi kabar kepada orang rumah jika aku pergi bermain ke rumah teman setelah pulang sekolah. Dengan begitu aku tidak akan dimarahi orang tuaku dan mereka tidak akan menungguku untuk pulang atau pun mengkhawatirkanku.



Seseorang di Sebelah Kanan

Oleh : Azzahroh Auliya Safira ( 04 )

                Aku adalah seorang anak manusia yang tengah menghadapi fase remaja dalam kehidupannya. Jangan samakan masa remajaku dengan anak-anak lain yang menganggap ini adalah masa terindah. Akan ku katakan bahwa hidupku tak berwarna. Semua yang ku lihat adalah abu-abu. Hingga aku sempat berpikir, mungkin abu-abu adalah satu-satunya warna yang ada, dan semua teori tentang warna dan cahaya itu dusta.
            Perkenalkan, namaku Kazuha Tomoya, usiaku 15 tahun, aku adalah seorang anime lover yang belum pantas disebut otaku, dari puluhan anime dan ribuan episode yang pernah aku lihat, anime yang paling aku suka adalah “Naruto” karya mangaka hebat, Masashi Kishimoto. Mungkin semua orang pernah melihatnya, tapi belum tentu semua orang tahu bahwa dari anime ini kita bisa belajar tentang apa itu persahabatan, apa itu kerja keras, apa itu usaha, apa itu takdir, apa itu pantang menyerah, apa itu keluarga, apa itu tolong menolong , apa itu kerja sama, dan apa itu cinta. Dan anime ini jugalah yang nanti akan mengantarkanku padanya, seseorang di sebelah kanan.
            Hari ini adalah hari yang cukup penting, akan ada pengumuman penerimaan peserta didik baru di sekolah-sekolah yang mengadakan tes tulis sebagai syarat masuk dan diterima di sana. Dan aku adalah satu dari ribuan peserta yang telah mendaftar. Antara pesimis dan optimis aku berangkat ke sekolah dimana aku mendaftar. Berdesak-desakan aku melihat daftar ratusan nama itu, hampir putus asa, hingga ujung mataku melihat nama yang tak asing lagi, “Kazuha Tomoya”. Alhamdulillah, aku bersyukur, aku diterima. Beberapa minggu setelahnya para wali murid menghadiri sebuah rapat, dan dari rapat itu ibuku memberitahu bahwa aku diterima di kelas X-MIPA 1. Kurang beruntungnya aku, tidak ada teman yang aku kenal di kelas itu. Setelah melalui beberapa proses melelahkan, saat-saat yang di tunggu tiba. Seperti sekolah pada umumnya, semua siswa baru harus melewati masa orientasi, masa pengenalan dimana bayang-bayang senior yang kejam menghantui.
            Pukul 06.00 kurang telah banyak siswa yang berdatangan, tidak ada yang ingin terlambat di hari pertamanya. Saat pra masa orientasi, kami dibagi menjadi beberapa gugus sesuai kelas, dan kelasku mendapat julukan gugus edelweiss. Kami diperintahkan berbaris untuk melakukan apel pagi, karena memang tidak ada yang aku kenal, aku sedikit kesulitan mencari teman-teman satu gugusku. Sambutan yang panjang, lebar, dan membosankan itu akhirnya selesai juga. Setelah berpanas-panas apel pagi di lapangan, kami digiring masuk ke aula sekolah, semua gugus berbaris rapi dengan perempuan di depan dan laki-laki di belakang. Karena aku masuk kelas X-MIPA 1, jadilah kelasku masuk kedua setelah kelas X-Bahasa. Ketika menunggu kelas lain memasuki aula, aku menoleh ke belakang, dan..
“Dialah yang selama ini kau cari, Kazuha”, Suara hati kecilku seakan terdengar jelas.
Untuk sejenak, waktu seakan berhenti, jarum jam tak lagi bergerak, bumi berhenti berputar, perlahan tapi pasti, warna-warna dunia bermunculan, semua yang aku lihat tak lagi abu-abu. Aku salah, semua teori tentang cahaya dan warna itu nyata. Semua berubah lebih indah saat aku melihatnya, barisan laki-laki paling depan dan diapit dua temannya, dia tersenyum, manis. Itulah awal pertemuanku dengannya, seseorang berkulit hitam manis dan beralis tebal. Seseorang yang membuatku percaya bahwa pandangan pertama itu ada.
            Setelah menjalani masa orintasi selama tiga hari, kami di izinkan untuk memasuki kelas. Aku memilih bangku paling depan. Teman sebangkuku adalah Miwako Sato, dia duduk di sebelah kiriku, aku berkenalan dengannya saat hari kedua masa orientasi, aku menjadi dekat dengannya karena kami memiliki sebuah kesamaan, sama-sama tidak ada yang kami kenal di gugus ini.  Awalnya kukira dia adalah gadis pendiam, namun setelah berkenalan lebih jauh, ternyata dia adalah gadis yang ceria dan menyenangkan. Hampir semua bangku telah terisi, kecuali bangku di sebelah kananku dan satu bangku paling belakang. Dua puluh menit sebelum bel masuk berbunyi, seseorang berkulit hitam manis itu datang. Dia terlihat bingung ingin duduk di sebelah mana, aku bisa melihat kebingungan itu dari sorot matanya, antara duduk di bangku paling belakang atau duduk di bangku paling depan, akhirnya dia memutuskan untuk duduk di sebelah kananku. Hatiku berteriak senang, tapi aku diam.
            Bel masuk pun berbunyi. Guru pertama kami memasuki ruang kelas, ternyata beliau adalah guru Bahasa Jepang. Beliau mengabsen kami satu-persatu, dan akhirnya ku ketahui bahwa namanya adalah Hattori Heiji.
“Ketika kalian mendengar kata Jepang, apa yang pertama kali kalian pikirkan?”, guruku bertanya kepada kami satu-persatu
“Anime” dia menjawab.
“Teknologi maju”
“Bunga sakura”
“Gunung Fuji”
“Sushi” jawab teman-temanku bersahutan.
“Uzumaki Naruto” jawabku asal, karena memang itu yang pertama kali terlintas.
Sejak saat itu aku tahu bahwa dia juga seseorang yang tertarik dengan dunia anime. 90 menit dan pelajaran Bahasa Jepang kami selesai. Cukup mengesankan, setidaknya sedikit demi sedikit aku mengetahui apa yang nanti Naruto bicarakan. Pelajaran selanjutnya adalah matematika, kami dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai banjar untuk mempresentasikan tiap-tiap subbab yang ada, mungkin ini hari keberuntunganku, karena dia duduk di sebelahku, otomatis aku satu kelompok dengannya. Kami bertukar kontak untuk mempermudah komunikasi. Pulang sekolah, kami chating membahas pembagian tugas-tugas kelompok yang diberikan. Percakapan kami pun berlanjut merambah tentang anime, lebih spesifiknya tentang “Naruto”.
“Perempuan kok suka Naruto”, dia mengejek.
“Emansipasi dikit kenapa”,jawabku sedikit kesal.
“Ngga wajar aja”
“Banyak pelajaran yang bisa diambil”
“Bener juga sih”
“Suka Naruto juga?”
“Iya”
“Punya berapa episode?”
“Episode 300 ke atas”
“Boleh minta ngga?”
“Download sendiri sana”
“Hemat kuota”
“Dasar ga modal, tapi flashdisk ku rusak”
“Pake FD ku”
“OK, bawa aja besok”
Hingga tak terasa jam telah menunjukkan angka 22.52,
“Kenapa belum tidur?” dia bertanya
“Insomnia”
“Yang bener?”
“Iya, emang kenapa?”
“Kirain nunggu balasan chatku”
“PD banget, udah ya, jadi ngantuk, ga jadi insomnia”
Oyasuminasai”, ucapan selamat tidur yang cukup berkesan.
Ku pejamkan mataku perlahan, berharap akan bertemu dengannya lagi di alam mimpi.
            Esok hari, seluruh kelas X jurusan MIPA menjalani tes IQ untuk menentukan siapa yang akan masuk ke kelas SCI, yang hanya belajar 2 tahun dan lulus mendahului teman satu angkatannya. Kami diperintah menggambar figur seseorang. Karena penasaran, aku mengintip gambar-gambar temanku, dia melihatku sedang mengintip gambarnya, di tutupilah gambar itu dengan kedua tangannya, lalu tersenyum kepadaku.
“manis sekali” hatiku berbisik.
Saat istirahat, ku berikan FD ku padanya, dan dikembalikannya keesokan hari.
“FDnya ngga cukup, Cuma bisa lima puluh episode”
“Yaudah, gapapa besok-besok minta lagi”
            Dua hari setelah itu pengumuman tes IQ telah keluar, seharusnya aku bersedih, tapi aku bersyukur. Aku dan Hattori tidak lolos. Aku bisa memandanginya lebih lama. Dari awal aku sadar bahwa kelas kami hanya sementara. Namun tetap saja aku merasakan sedikit luka. Sejak saat itu kelas kami terpisah. Perlahan kami mulai menjauh. Tidak berlanjut seperti lima puluh episode yang menggantung. Begitu cepat kami didekatkan, begitu cepat pula kami dijauhkan. Walaupun kita sering bertemu, mulutku bisu, lidahku kelu, tak ada keberanian untuk sekedar menyapa. Karena hanya dengan melihatnya saja tubuhku membatu. Ku pikir ini semua akan segera pergi dan berlalu, tapi lagi-lagi aku salah, aku tak bisa melupakan bayang-bayangnya.
Delapan belas bulan telah berlalu, dan di sinilah aku. Yang hanya bisa memandanginya dari jauh. Terkadang warna-warna indah bermunculan, namun terkadang semua kembali berubah menjadi abu-abu. Dan disinilah aku. Yang hanya bisa mengaguminya dalam diam. Bagaimana akhirnya nanti, biarlah menjadi rahasia Tuhan. Aku masih mengenangmu, seseorang di sebelah kananku.


160 CM

Oleh : Dhea Dwi A. ( 05 )

          Cermin di dalam kamar itu memantulkan wajah seorang gadis dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya yang bulat itu. Dia adalah Keira. Seorang gadis enam belas tahun yang tak sabar menunggu kakaknya datang. Kemarin kakak sepupunya yaitu Mbak Sarah mengajaknya pergi berenang ke Trawas. Mbak Sarah telah meminta izin kepada ibu Keira dan Keira diizinkan untuk pergi. Bahkan ibu Keira menyiapkan banyak makanan untuk dibawa. Entah mengapa Keira merasa sangat senang, padahal ia hanya akan pergi berenang. Mungkin saja karena ia sudah lama tidak liburan karena tugas sekolahnya yang memang sangatlah banyak sehingga ia tidak bisa pergi saat akhir pekan.
          Suara motor Mbak Sarah yang terdengar membuat Keira bergegas keluar rumah untuk menemui kakaknya itu. Ternyata Mbak Sarah tak datang sendirian. Mas Juna, sahabat Mbak Sarah juga ikut. Tak masalah bagi Keira karena ia dan ibunya sudah mengenal Mas Juna sejak lama. Akhirnya setelah berpamitan dengan ibu Keira, mereka semua berangkat ke Trawas. Keira dibonceng Mbak Sarah, sedangkan Mas Juna membawa motor sendiri.
          Setelah hampir dua jam berkendara, akhirnya mereka sampai di tujuan walaupun sempat tersesat karena mereka belum pernah ke tempat itu. Di pintu masuk kolam renang, mereka dihadang oleh seorang pria paruh baya penjaga tempat itu.                                                                         "Maaf kalian tidak boleh masuk. Tempat ini sangat ramai karena sedang disewa oleh seseorang." kata bapak penjaga gerbang itu. Maklum saja kolam renang itu berada dalam salah satu kompleks perumahan elite di Trawas dengan pemandangan yang sangat indah. "Pak, tolong izinkan kami masuk. Kami sudah datang jauh-jauh ke tempat ini." ujar Mas Juna dengan nada sedikit memelas.
"Maaf Mas tidak bisa. Saya hanya menjalankan perintah. Tempat ini sudah disewa."
"Kami mohon Pak izinkan kami masuk. Kami hanya bertiga."
          Setelah setengah jam berusaha, akhirnya mereka bertiga diizinkan masuk setelah membayar tiket masuknya. Mereka berterima kasih pada bapak tadi dan langsung masuk.
          Keira merasa sangat kagum setelah melihat pemandangan yang ada di sana. Ada dua kolam renang di tepi tebing yang tidaklah ramai dengan latar belakang Gunung Penanggungan. Ada juga kafetaria, taman, dan juga kamar-kamar yang disewakan. Akan tetapi, tempat itu tidaklah seramai yang Keira pikirkan. Hanya ada beberapa orang di kolam renang dan yang lainnya berada di kafetaria ataupun di taman.
          Karena tujuan Keira adalah untuk berenang, maka ia, Mbak Sarah, dan Mas juna segera berganti pakaian. Setelah itu, mereka memasukkan pakaian mereka ke dalam tas, lalu tas itu diletakkan di bangku yang berada di tepi kolam. Mas Juna langsung lompat ke kolam, sedangkan Keira dan Mbak Sarah justru sibuk berfoto ria. Tak lama, mereka berdua memutuskan untuk masuk ke kolam. Tanpa pikir panjang, Keira langsung melompat ke dalam kolam, sedangkan Mbak Sarah hanya memasukkan kakinya ke kolam untuk memastikan suhu airnya. Keira yang sudah berada di dalam kolam berusaha mencari dasar kolam dengan kakinya. Namun, bak samudera yang sangat dalam, kaki Keira tak juga mencapai dasar kolam. Hal itu membuat Keira sangat panik. Ia teringat saat ia tenggelam di waktu kecil. Keira merasa benar-benar takut. Tangannya melambai-lambai mencoba agar seseorang melihat dan menolongnya. Sungguh Keira benar-benar putus asa karena ia tak bisa menahan napasnya lebih lama. "Apa aku akan mati di sini sekarang?" tanya Keira dalam hati. Keira terus berdoa agar Tuhan mengirimkan seseorang untuk menolongnya. Memang tidak banyak orang dalam kolam itu, sehingga Keira paham betul jika mungkin tidak akan ada orang yang menolongnya. Perlahan tubuh Keira mulai tenggelam, namun ia tetap membuka matanya. Di saat itu, Keira melihat seseorang mendekatinya.
          Ternyata orang itu adalah Mas Juna. Mas Juna mengangkat tubuh Keira dan Keira memegang erat baju yang digunakan Mas Juna saat itu. Keira mencoba mengatur kembali napasnya. Saat ia sudah berada di tepi kolam bersama Mbak Sarah dan Mas Juna, Mbak Sarah justru mentertawakannya.
"Apa yang kau lakukan dasar bodoh." ujar Mas Juna.
"Untung saja aku melihatmu. Jika kubiarkan lebih lama lagi, kau pasti akan mati dan ibumu pasti akan membunuh kita." kata Mbak Sarah.
"Maaf aku memang benar-benar bodoh." ujar Keira sambil menundukkan kepalanya dan tersenyum tipis. Ia merasa benar-benar bodoh dan malu atas apa yang terjadi. Bagaimana bisa ia tidak melihat tulisan "160 cm" yang terpampang jelas di tepi kolam tempatnya duduk saat ini. Mbak Sarah dan Mas Juna terus meledek dan mentertawakan Keira. Saat Keira sudah merasa lebih baik, ia memutuskan untuk berenang lagi tapi di kolam yang lebih dangkal bersama Mbak Sarah. Kali ini Keira lebih berhati-hati agar kejadian tadi tidak terulang lagi. Ia bisa menikmati berenangnya dan sempat berfoto-foto bersama Mbak Sarah dan Mas Juna. Keira merasa benar-benar bersyukur bisa selamat dan merasakan segala nikmat yang diberikan Tuhan. Apa yang terjadi dijadikannya pelajaran agar lebih berhati-hati dan tidak ceroboh dalam melakukan segala sesuatu.



Gegabah

Penulis : Erliana Safitri ( 06 )

Siang itu keadaan di kelas sangat ramai. Semua siswa sibuk dengan kegiatannya masing-masing, ada yang bermain hp, nonton film, dengerin musik, gosip, dan tidur. Banyaknya tugas, dan pulang sekolah yang seperti melihat sunset di pantai, membuat siswa-siswi itu hampir tidak memiliki waktu bahkan hanya sekadar untuk bersantai. Tiba-tiba pintu kelas terbuka dan memunculkan guru bahasa indonesia yang terkenal sangat sabar seantero SMAN 1 Krian.
"Anak-anak kalian buat cerpen ya sebagai tugas terakhir di semester ini" kata bu Nisa, guru bahasa Indonesia kami.
Kalimat itu sedikit merusak mood ku, pasalnya, aku sudah membuat jadwal untuk weekend  nanti sebelum benar-benar menghadapi penilaian akhir semester yang diadakan dua minggu lagi. Tak ingin menumpuk tugas lebih banyak lagi, aku mulai mencari ide untuk menulis cerpen ini, lalu tiba-tiba ingatanku jatuh pada kejadian tahun lalu.
"Akhirnya kelar juga nih tugas, waktunya istirahat deh" aku beranjak dari meja belajar dan mengambil handphone yang tergeletak di atas nakas lalu berjalan menuju kasur untuk merebahkan diri di sana. Dengan posisi terlentang, aku mulai membuka aplikasi instagram, melihat beberapa story teman-temanku, mengecek direct massage, dan menscroll beranda barangkali ada foto atau video lucu. Setelah merasa tidak ada lagi yang menarik, aku menutup aplikasi instagram dan beralih membuka aplikasi chat yaitu line. Tiba-tiba aku membulatkan mata kaget karena grup kelas yang biasanya ramai kini menjadi ruang obrolan kosong. Kulihat di sana terdapat tulisan "Lala menghapus liana dari grup"
"Hah! Aku salah apa si kok dihapus, perasaan aku ngga pernah ada masalah deh" batinku bingung. Dengan pikiran yang kemana mana dan perasaan yang bercampur aduk aku menatap langit-langit kamarku, merenung dan berpikir kira-kira kesalahan apa yang sudah kuperbuat. Sungguh hal ini membuatku tak bisa tenang karena baru beberapa bulan yang lalu aku mengenakan baju putih abu-abu. Aku ingin kehidupan SMA ku tenang tanpa adanya musuh dan memang seingatku aku dan lala sebelumnya baik-baik saja. Capek berasumsi sendiri, aku mulai menghubungi lala untuk menanyakan yang sebenarnya terjadi.
Liana : La, aku salah apa? Kok aku dihapus dari grup?
Lala: Ngga tau, pikir aja sendiri
Liana: Loh la kalau kamu ngga kasih tau, aku ngga tau salahku apa
Lala:Ngga sadar?
Liana: Iyaa aku minta maaf kalau ada salah tapi aku benar-benar ngga tau salahku dimana
Lala: Kamu itu ngga mau bantu-bantu waktu ada event kelas. Tadi contohnya, semua kerja, kamu cuma duduk, ngga ngerjain apa-apa. Kamu pikir kamu itu siapa?
Liana: Maaf, tapi emang aku baru sembuh, kamu juga tau kan aku kemarin ngga masuk gara-gara sakit
Lala: Iya, tapi kamu kan masih bisa bantu, ngegunting kertas kek atau apapun itu pokoknya yang ringan-ringan
Liana: Iya maaf La, maaf.
Lala meninggalkan obrolan
Seketika tangisku pecah. Aku benar-benar tidak menyangka ternyata apa yang sudah aku lakukan tadi siang akan berdampak seperti ini. Aku berpikir bagaimana untuk mengembalikkan semuanya seperti semula, bagaimana agar hubunganku dengan Lala kembali baik-baik saja. Aku menangis dan teringat masa-masa yang sangat menyakitkan untukku dulu, sungguh aku tak ingin itu terulang lagi, kemudian mataku tertutup dan semua menjadi gelap.
"Liana bangun!" teriak mamaku sampai 5 kali.
"Iya ma" jawabku
Tak melakukan apa yang disuruh, aku malah melanjutkan tidurku lagi.
"Liana cepat bangun!" teriak mama lagi yang tidak melihatku segera keluar dari kamar
"Iya ma, iyaa, astaga, lagi otw nih"
Dengan malas aku beranjak dari kasur dan bergegas ke kamar mandi lalu bersiap ke sekolah.
Setelah berpamitan kepada ayah yang mengantarku ke sekolah, aku masuk pintu gerbang dengan mata sedikit sembap dan tanpa semangat, lalu berjalan menuju kelas. Sesampainya di kelas, aku melihat Lala yang sedang asik mengobrol seperti tidak ada sesuatu yang terjadi. Aku sedikit kesal melihatnya, dia bisa tertawa bahagia sedangkan aku tidak bisa tenang karena pikiranku yang berasumsi macam-macam. Setelah berdiam diri, aku berpikir jika aku bercerita mungkin rasanya akan lebih baik. Akhirnya aku mulai menceritakan apa yang terjadi semalam kepada teman sebangkuku yang kebetulan adalah sahabatku sendiri.
Bel pulang sekolah berbunyi, aku melirik ke arah Lala yang sedang membereskan alat tulis dan bukunya. Dia terlihat baik-baik saja tanpa beban tapi kenapa aku sangat takut dan khawatir, batinku dalam hati.
"Li, ayo pulang" ajak sahabatku
"Oke"
"Assalammualaikum ma, aku sudah pulang"
Setelah bersalaman kepada mamaku yang ada di dapur, aku langsung menaiki tangga dan menuju kamar. Pikiran dan perasaanku masih belum tenang. Kejadian ini mengingatkanku pada masa itu dan membuatku menangis lagi. Aku tak menyadari bahwa mamaku ada di depan pintu kamarku dan mendengar suara tangisku karena memang pintu kamarku yang sedikit terbuka. Mamaku langsung menghampiriku dengan khawatir dan duduk di bibir kasur.
"Kamu kenapa nak?" tanya mama dengan suara yang lembut dan tatapan teduh
"Aku baik-baik aja kok ma"
"Sayang mama ngga pernah ngajarin kamu bohong, jawab yang jujus sayang!"
Karena terdesak, akhirnya aku menceritakan apa yang terjadi
"Emang Lala itu dulu smp mana?" tanya mamaku dengan nada berpikir
"SMP Pelita Jaya ma" jawabku
"Bukanya itu juga SMP nya Illa ?" tanya mamaku lagi
"Iya ma"
"Coba kamu tanya ke Illa, Lala itu orangnya gimana"
"Iya ma"
"Sudah ya sayang jangan nangis, anak mama itu kuat, masa gini aja nangis"
"Huwaa mama"
Aku memeluk mama dan menangis disana. Setelah cukup tenang, mama menyuruhku tidur lalu keluar dari kamarku karena harus memasak lagi di dapur. Aku mengambil handphone ku yang masih berada di tas dan langsung mencari kontak sepupuku itu. Setelah menemukan nama Illa, aku langsung menyentuh lambang telpon dan nada sambung seketika terdengar di telingaku.
"Halloo li" terdengar suara dari sana
"Hallo Illa" jawabku dengan suara serak
"Kamu kenapa ? Sakit? Kok suaranya gitu" tanya Illa dengan sedikit khawatir
"Aku ngga pa-pa kok, oh iyaa kamu lagi sibuk?"
"Ngga si, cuma lagi chatting aja, ada apa li?"
"Aku cuma mau tanya ajasi, kamu kenal Lala?"
"Lala? Lala teman kelasmu itu?"
"Iyaa"
"Kenal kok, kenapa?"
"Anaknya gimana si?"
"Eh, ada apa li? Kamu diapain sama dia?"
"Ngga kok aku ngga diapa-apain"
"Apasi? Kasih tau dong, sudah telfon juga" tanya Illa memaksa
Duh, salah nih aku telfon Illa, dia kan kepoan, batinku. Karena terpaksa akhirnya aku pun bercerita
"Hah, bener dia kayak gitu? Hmm, aku yang ngomong sama dia deh besok" jawab Illa sedikit kaget
"Eh ngga, ngga usah Illa, ngga pa-pa"
"Sudah deh beneran ngga pa-pa aku yang ngomong, btw sudah dulu ya, aku disuruh ayah nih"
"Eh, jangan yaa, pokoknya jangan" ucapku melarang
"Iyaa-iyaa, aku matiin ya, dah"
"Iya, dah"
Karena sahabatku, mama, dan Illa, perasaanku jauh lebih tenang, dan aku bisa tidur lebih nyenyak malam ini.
Sinar matahari menembus jendela kamarku dan membuat mataku terbuka. Kulirik jam di dinding yang menunjukkan pukul enam kurang 15 menit. Telattt!!!!! Dengan tergesa-gesa aku mengambil handuk dan pergi ke kemar mandi. Setelah selesai bersiap-siap dan berpamitan, aku segera pergi ke sekolah diantar oleh ayah, seperti biasanya.
Dengan senyuman yang terpampang di wajahku, aku berjalan menuju kelas. Sesampainya di kelas, aku sangat kaget karena Lala duduk dibangkuku dan sepertinya dia memang menungguku.
"Aku mau ngomong" ucap Lala langsung
"Oke, ngomong di depan aja, aku naruh tas dulu" balasku
Jantungku berdetak jauh lebih cepat dari biasanya setelah aku dan Lala duduk berdua
Ini canggung, batinku.
"Kamu cerita apa ke Illa?" tanya Lala seperti ingin menginterogasiku
"Hah? Aku cerita masalah kemarin" jawabku
"Illa ngechat aku"
Duh si Illa ini sudah dibilangi ngga usah juga, batinku sedikit menyesal
"Iyaa maaf"
"Kalau ada event-event itu, kamu ngerjain apa yang bisa, bantu-bantu lah, jangan diam aja"
"Iyaa La, iyaa, maaf"
Lala langsung berdiri dan pergi begitu saja.
Hari itu aku benar-benar kehilangan semangat. Aku mendengarkan penjelasan guru yang sedang menerangkan di depan, namun rasanya percuma saja karena semuanya tidak ada yang masuk ke otak. Aku hanya ingin langsung tidur dan meringkuk di atas kasur. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya bel pulang berbunyi. Dengan cepat aku memasukkan barang-barangku ke dalam tas lalu mengajak sahabatku pulang. Namun sahabatku itu meminta untuk tinggal sebentar di dalam kelas. Aku merasa ada yang sedikit mengganjal karena biasanya sahabatku itu langsung mengajak pulang ketika bel berbunyi berhubung kita memang tidak ikut ekstrakulikuler jadi tidak ada jam tambahan.
Tiba-tiba Lala datang membawa kue besar dan bernyanyi "happy birthday" diikuti oleh teman-teman yang lain.
"Maaf yaa lii, Ini bukan ideku, ini ide anak sekelas"
Aku benar-benar speechless karena ini untuk pertama kalinya ulang tahunku dirayakan oleh semua teman sekelas.
"Aku juga maaf yaa La sudah salah paham"
Lalu aku dan Lala berpelukan
"Jadi kamu kemarin akting?" tanyaku
"Iyaa, bagus kan?" balasnya
"Yayaya, bagus sampai aku nangis"
"Hahaha maaf yaa"
"Okee"
"Bilangin ke mamamu ya biar ngga ada salah paham lagi"
Dengan sedikit malu dan canggung, aku manjawab "Iyaa La, hahaha"
Pasti della deh yang kasih tau, dasar comberan tuh anak, batinku sedikit kesal
"Potong dong kuenya" rengek salah satu temanku
Kebetulan di hari itu, tanggal 8 September 2016, dikelasku, ada 2 anak yang berulang tahun, aku dan tanti. Kami bersama-sama memotong kue, lalu tiba-tiba teman-teman yang lain menoletkan krim ke wajah kami. Tak terima, aku mengejar teman-teman ku itu untuk membalas.
Aku tersenyum mengingat kejadian itu dan aku sadar ternyata banyak orang yang sayang kepadaku. Tak mau berlama-lama, aku mulai menuliskan cerpenku ini. Terima kasih buat kalian teman-temanku di kelas X ipa 7 yang sudah mengukir kenangan indah di kehidupan SMA ku ini.









Komentar